kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Polemik Pelaksanaan Pemilu 2024, Sesuai UU atau?

Polemik Pelaksanaan Pemilu 2024, Sesuai UU atau?

Rabu, 13 Oktober 2021 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi Pemilu. [Foto: Ist]

Hingar Bingar Pelaksanaan Pilkada

Kapan kepastian dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak masih belum ada kepastian. Hingar bingar soal pemimpin daerah ini masih menjadi pembahasan hangat. Beragam wacana, pendapat mengemuka.

Pemerintah akan menetapkan Pemilihan umum (Pemilu) dan Pilpres pada bulan Mei 2024. Bila pemerintah tetap melaksanakan agenda pesta rakayat ini pada Mei 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan opsi jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak di Februari 2025.

Jika itu terjadi, maka Penjabat (Pj) Kepala Daerah akan lebih lama memegang tampuk kekuasaan di daerah. Presiden nantinya akan menunjuk pejabat (Pj) kepala daerah yang masa jabatannya habis di tahun 2022 dan 2023.

Berdasarkan penelusuran data yang dilakukan Litbang Dialeksis.com, paska absennya perhelatan Pilkada Serentak 2022 dan 2023, akan ada 272 daerah dari 548 daerah dipimpin oleh Pj Kepala Daerah.

Pilkada 2022 diikuti 101 daerah yakni 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Sementara pilkada 2023 diikuti 171 daerah ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

Berbeda dengan masa jabatan PJ kepala daerah Pilkada 2020, saat itu petahana hanya cuti kurang dari setahun (lebih kurang 71 hari). Sudah pasti ekses dari tidak adanya Pilkada 2022, 2023, akan terjadi kekosongan pemimpin lokal definitif yang akan berlangsung cukup lama.

Bagi kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pelaksanaan Pilkada serentak 2024 yang berbuntut hadirnya ratusan Pj kepala daerah itu sebagai bagian konsistensi dalam menjalankan amanat UU Pilkada.

Konsekuensi dari lamanya Pj Kepala Daerah memangku masa jabatan tersebut diprediksi nantinya Pj akan menghadapi beragam dinamika problematika di tataran lokal. Tidak tertutup kemungkinan kebijakan yang diambil Pj Kepala Daerah berseberangan dengan petahana sebelumnya.

Ujungnya keadaan ini dikhawatirkan akan memicu instabilitas politik dan keamanan. Keadaan ini akan riskan, terutama di wilayah paska konflik yang rentan dengan gejolak stabilitas keamanan.

Seperti konteks lokal Aceh misalnya. Untuk konteks provinsi dan sejumlah Kabupaten/Kota di wilayah Aceh, Pj Kepala daerah akan menduduki masa jabatan panjang, hampir dua tahun lebih.

Bagaimana hingar bingarnya penilaian terhadap Pilkada serentak, apa pendapat sejumlah pihak, Dialeksis.com mencoba merangkumnya. Bagaimana pula adanya wacana bila ditunjuk perwira tinggi TNI dan Polri memegang kekuasaan tentatif di daerah.

Usulan Komisi Pemilihan Umum mengajukan opsi jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak di Februari 2025, Jika pemerintah tetap bersikeras pelaksanaan Pemilu dan Pilpres dilaksanakan Mei 2024, mendapat tanggapan.

Menurut Ketua Bidang Advokasi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram), Harli Muin mengatakan, opsi penundaan Pilkada serentak ke 2025 telah mengebiri kewajiban Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memilih dan dipilih sesuai konstitusi.

“Penundaan terhadap right to be vote (hak memilih) dalam konstitusi telah membuat negara mencegah warganya untuk menikmati hak dipilih dan hak memilih, Sejak pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” ujar Harli Muin kepada Dialeksis.com.

Oleh karenanya pelaksanaan jadwal Pilkada serentak tidak lagi ditunda-tunda. Dalam kacamata HAM, Harli Muin menegaskan jika penundaan Pilkada serentak ini sama halnya dengan seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak menghirup udara yang notabenenya menjadi hak semua orang.

“Misalnya jika saya bilang hak bung menghirup udara dikurangi, berarti kan bung akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Jadi penundaan Pilkada serentak itu juga berpengaruh sekali,” kata dia.

“Karena Pilkada ini momen kenegaraan, sifatnya tidak bisa ditunda-tunda. Di konstitusi jelas disebutkan jadwal pemilihan, tidak bisa ditunda. Itu konstitusi yang bicara,” sambungnya.

Penundaan Pilkada serentak telah memincangkan konstitusi. Apalagi jika perbandingan sistim negara parlementer dengan sistim negara presidensial sangat lah jauh berbeda.Jika pemilihan di sistim negara parlementer, yang pertama kali dipilih ialah legislatif. Pemenangnya nanti akan mengangkat perdana menteri, baru setelah itu eksekutif dipilih.

Sedangkan di sistim negara presidensial, kata dia, pemilihan legislatif dan eksekutif dilakukan secara bersamaan. Karena kebijakan dalam negara presidensial dibuat bersama antara legislatif dan eksekutif.

Oleh karenanya, opsi penundaan Pilkada serentak ke 2025 merupakan langkah sesat lagi menyesatkan.Kalau penundaan Pilkada bagi saya sesat,” pungkasnya.

Selanjutnya »     Kekurangan Anggaran Komisi Pemilihan Um...
Halaman: 1 2 3 4
Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda