Revisi UUPA Tersemat Harapan Rakyat Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM | Usianya sudah terbilang remaja, memasuki 18 tahun. Namun upaya untuk memperbaiki Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) agar semakin sempurna, sampai saat ini masih menjadi PR yang belum diselesaikan rakyat Aceh.
Penyusunan draft revisi UUPA kini sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), direncanakan bulan depan akan akan diserahkan ke pemerintah pusat. Upaya perbaikan UU nomor 11 Tahun 2006 Pemerintah Aceh kini kembali hangat diperbincangkan.
Mantan Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI (Purn) Teuku Abdul Hafil Fuddin menyarankan, saat ini UUPA tidak perlu dilakukan revisi, namun yang harus dilakukan adalah mempertegas implementasi dari setiap pasal dalam UUPA yang belum dibuat.
Namun banyak pihak lainya turut memberikan pandangan yang berbeda seputar revisi UUPA. Ada yang mengkritik, memberikan masukan. Bagaimana hingar bingarnya persoalan yang belum diselesaikan rakyat Aceh ini, Dialeksis.com merangkumnya.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, SH, mengungkapkan keprihatinannya terkait masalah frasa yang tercantum dalam revisi Pasal 3 UUPA tentang batas wilayah Aceh.
Menurut Safaruddin, frasa tersebut merujuk pada ketentuan 1 Juli 1956 yang tidak memiliki peta batas Aceh yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Sudah kami kirimkan surat ke Lembaga Wali Nanggroe, DPRA melalui Partai Aceh, BPN, Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara. Kami mempertanyakan dimana peta 1 Juli 1956, Jika tidak ada,bagaimana kita bisa menyetujui batas Aceh. Tidak ada petanya," kata Safaruddin melalui akun Instagramnya yang dikutip Dialeksis.com, Jumat (24/3/2023).
Safaruddin menyarankan agar DPRA tidak memasukkan kalimat-kalimat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di masa depan.
Dia menambahkan meskipun batas wilayah Aceh tercantum dalam MoU Helsinki pada angka 1.1.4 melalui ketentuan 1 Juli 1956, tetapi perlu ditelesuri kembali dan ditemukan landasan historis dan yuridisnya.
Menurutnya, saat ini peta Aceh pada tanggal 1 Juli 1956 tidak tersedia dan harus dicari dengan pendekatan yang tepat untuk memastikan batas wilayah Aceh.
Safaruddin berharap agar para pihak yang terlibat dalam proses penyusunan draft revisi UUPA ini fokus pada penguatan kewenangan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh dan kemaslahatan umat.
Bagaimana menurut inisiator sekaligus perancang UUPA, Ahmad Farhan Hamid? Sepengetahuanya Gubernur Aceh sudah pernah membentuk tim untuk perubahan UUPA berdasarkan usulan dari pihak eksekutif dan mereka sudah membuat drafnya.
“Pihak Forum Bersama (Forbes) DPR RI dan DPD RI asal Aceh juga sudah punya draft, anggota DPD juga punya pemikiran untuk perubahan,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Senin (27/3/2023).
Tim yang dibentuk untuk mengadvokasi perubahan ini melakukan sosialisasi ke 23 kabupaten dan kota. Mereka mengundang orang dalam jumlah terbatas, seperti dari kalangan pimpinan partai politik, ormas, dan tokoh masyarakat.
Mereka menyampaikan apa yang dirumuskan dan materi apa yang sudah dirumuskan. Jadi jika ada hal-hal yang tidak biasa itu harus diberi masukan kepada DPRA,” ucap Mantan anggota DPR RI ini.
“Saya gembira banyak yang memberikan komentar yang sifatnya sangat kontruktif memberikan masukan kepada DPRA. Ada reaksi positif dari teman-teman yang tidak terlibat dalam proses perubahan terutama aktivis,” sebutnya.
Ia berharap DPRA tidak reaktif, sebaiknya menampung, masih ada waktu bila perlu mereka diundang untuk menyampaikan isi pikirannya.
Di samping itu, ia mengingatkan kepada siapapun yang mengusulkan perubahan, baru dikatakan perubahan kalau materinya tidak lebih 30 persen. Kalau sudah lebih dari 30 persen bukan lagi perubahan tapi pembentukan UU baru dan itu mesti berhati-hati sekali.
“Juga perlu dalam waktu dekat mengkonsolidasi draft revisi UUPA itu, jadi semua pihak DPRA, DPD, DPR RI lalu pemerintah Aceh sebaiknya ikut dilibatkan perguruan tinggi (USK, UIN Ar Raniry, UTU, Unimal, dan Unsam,” jelasnya.
Kemudian, menurutnya, dalam perumusan nanti lebih maksimal lagi jika ada sesi dengan lembaga yang dihasilkan dengan UUPA, seperti MPU, MAA, dan lainnya. Agar mereka memahami posisi lembaga tersebut mengalami perubahan atau tidak.
“Nanti tim kecil DPRA memformulasikan dengan baik untuk mengukur secara kuantitatif apakah sudah melebih 30 persen atau tidak,” terangnya.
Kemudian, lanjutnya, dititipkan secara khusus kepada Forbes sekalian pihak DPRA datang ke DPR RI untuk menyerahkan rancangan itu. Kemudian dipertimbangkan dengan baik oleh pimpinan fraksi dan DPR.
“Jadi harus dikerjakan dan terlihat semua komponen masyarakat Aceh bersatu padu dan bersepakat tentang materi perubahan,” jelasnya.
Bagaimana pandangan Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Syiah Kuala (USK), Saddam Rafsanjani? Menurutnya ada dua hal pokok yang perlu diperjuangkan dalam UUPA.
Pertama, perlu adanya penambahan periode tambahan alokasi dana otonomi khusus (Otsus) dengan persentase tertentu.
Kedua, perlu dibuat aturan-aturan turunan hukum agar kewenangan yang telah diberikan dalam UUPA dapat diimplementasi.
“Inilah yang sebenarnya dihadapi Aceh selama hampir 18 tahun UU tersebut dijalankan, terutama kewenangan dalam bidang ekonomi. Ada kewenangan, tapi tidak bisa diimplementasi,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Kamis (30/3/2023).
Padahal, menurutnya, jika kewenangan di bidang ekonomi bisa dijalankan, Aceh ini akan hebat bisa membuat cemburu daerah-daerah lain. Namun sayangnya, kita tidak pernah upayakan agar kewenangan tersebut bisa dijalankan.
Di sisi lain, Saddam khawatir jika proses revisi tidak terkawal dengan baik, terutama di parlemen. Dikhawatirkan revisi tersebut bukan memperkuat tapi justru bisa terancam makin lemah.
“Padahal ketiadaan aturan hukum turunan itulah yang buat kewenangan dalam UUPA itu tidak bisa kita jalankan seperti yang tertuang dalam Pasal 156 dan seterusnya,” jelasnya.
Di samping itu, ia juga khawatir jika revisi itu justru akan mendistorsi kewenangan-kewenangan yang telah ada. Apalagi menurutnya, posisi tawar menawar Aceh dengan pusat rada melemah.
Menurutnya, sangat naif kewenangan dapat dijalankan tanpa dibuat aturan turunan. Misal PP, Perpres, atau Permen. Tidak mungkin kita turun dari UU ke Qanun-Qanun, sampai kiamat tidak bisa kita jalankan kewenangan itu,” jelasnya.
Ia menyebutkan, salah satu PP No 23/2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas Aceh merupakan contoh nyata yang sangat bagus, perlu diperlebar ke sektor ekonomi lain agar kewenangan tersebut dapat berjalan.
Tidak Perlu Direvisi
Lain lagi yang disampaikan Mantan Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Teuku Abdul Hafil Fuddin. Menurutnya, UUPA tidak perlu dilakukan revisi, namun yang harus dilakukan adalah mempertegas implementasi dari setiap pasal dalam UUPA yang belum dibuat.
"Ada beberapa qanun dan Peraturan Pemerintah (PP) yang masih belum selesai," kata jenderal bintang dua kelahiran Aceh itu kepada Dialeksis.com, Selasa (28/3/2023).
Menurut Mayjend Hafil Fuddin, melakukan revisi UUPA tersebut tidak mudah, harus ada kekuatan yang mengamankan di parlemen/DPR RI. Kalau tidak, bisa-bisa nantinya ada pasal yang akan hilang, karena pada saat itu UUPA lahir dalam perjuangan dan ada tekanan dari masyarakat Aceh, namun sekarang dinamika perjuangan tentu akan berbeda.
"Siapa yang mampu mengamankan revisi UUPA agar sesuai dengan harapan rakyat Aceh dan amanah MoU Helsinki?" tanya Hafil Puddin.
Dia juga mengatakan pengalamannya ketika bertugas di Kemenkopolhukam, dimana merevisi sebuah UU tidaklah mudah karena melibatkan seluruh kementerian dan lembaga dalam penyusunannya, bukan hanya DPR RI saja.
"Saat ini yang harus dilakukan dilakukan sebenarnya buat tim adhoc pengamanan implementasi UUPA, banyak pasal yang belum ada turunannya baik Qanun maupun PP," tegasnya.
Menurut putra asal Aceh Selatan itu, UUPA saat ini sudah sangat kuat untuk Pemerintah Aceh. Jadi, yang harus dilakukan tim yang dibentuk harus mampu mendorong pemerintah pusat, mempertegas kekhususkan Aceh dalam UUPA yang sudah ada.
“Perlu diingat UUPA tersebut bukan hanya untuk DPRA tetapi untuk pemerintah Aceh. UUPA yang sekarang ini sudah lumayan baik, kalaupun ada kekurangan tinggal dipertegas dalam qanun atau peraturan pemerintah(PP),” jelasnya.
"Ingat, lahirnya UUPA merupakan penjabaran dari MOU helsinki. Jadi ada nilai-nilai perjuangan rakyat Aceh yang tidak boleh dilupakan, dan harus dipertahankan. Bahaya kalau kita tidak bisa mengamankan, kekuatan kita hanya 13 orang di DPR RI," lanjutnya.
Menurutnya, Aceh harus belajar dari revisi UU Nomor 21 tentang otsus Papua. Belajar dari papua UU Otsus Papua tidak direvisi. Tetapi dana otsusnya yang perlu diperpanjang. Hal itu sah-sah saja dapat dilakukan melalui inpres perubahan UU Otsus Papua karena adanya pembentukan provinsi baru," jelasnya.
Menurutnya, UUPA tidak perlu direvisi tapi perpanjangan dana otsus dapat dilakukan dengan Inpres, makanya perlu tim yang kuat untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat.
Lain lagi yang disampaikan Teuku Kamaruzzaman Mantan Juru Runding GAM yang mempersoalkan masalah Bendera Aceh. Menurutnya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Bendera Aceh kembali menjadi sorotan publik, pasalnya sudah 10 tahun Qanun Bendera itu masih belum ada kepastian. Menurutnya, Bendera Aceh sebagai bendera resmi daerah telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan Bendera Aceh tersebut masih belum diimplementasikan secara maksimal, kerena bentuk dan desain belum disetujui oleh Pemerintah Pusat.
“Ada keberatan, belum boleh dikibarkan, dan alasan sosiologis dan psikologis yang ada dikomponen Pemerintah Pusat,” tambah Ampon Man panggilan akrabnya.
" Bendera sepenuhnya menjadi soal yang ada di komponen Pemerintah Pusat, memang jadi aneh dan unik dan karena hal ini sudah bertahun tahun tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Pusat kecuali melarang pengibaran, melakukan razia razia, pelarangan pelarangan tanpa solusi hukum secara permanen," katanya.
Menurut Teuku Kamaruzzaman, perlu dilakukan sosialisasi kepada seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat luas, bahwa persoalan Bendera Aceh ini bukanlah persoalan kedaulatan atau politik semata.
Melainkan, merupakan persoalan identitas suatu wilayah atau daerah, karena itu telah dijanjikan untuk dipenuhi.Diharapkan seluruh pihak dapat memahami pentingnya penggunaan bendera Aceh sebagai simbol identitas Aceh yang kuat dan juga sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak otonomi daerah yang telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, jelasnya.
Revisi UUPA Merupakan Momentum
Menanggapi adanya revisi UUPA, Juanda Djamal inisiator sekaligus pemimpin lembaga Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) yang fokus memperjuangkan perdamaian di Aceh, menyampaikan gagasanya.
Dalam bincangnya dengan Dialeksis.com, dia menyampaikan pandanganya soal UUPA yang kini hangat diperbincangkan. Menurutnya, revisi ini merupakan momentum untuk mengefektifkan pelaksanaan UUPA kedepan.
Selama ini memang memiliki kendala terutama kesepahaman menjalankan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Aceh. Pasal 7 poin (2) dengan ditambahkannya urusan pemerintahan yang bersifat nasional, maka segala kewenangan di Aceh, sebagaimana juga berlaku di provinsi yang lain.
Untuk itu, peluang revisi sebaiknya pasal ini menjadi persoalan utama untuk diubah agar sesuai dengan perjanjian perdamaian 15 Agustus 2005.
Dimana kewenangan pemerintah pusat hanya meliputi hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Jadi, kalau pasal ini berubah maka kewenangan pemerintah Aceh dapat lebih efektif dijalankan.
Menurutnya, langkah DPR Aceh membentuk Tim Advokasi revisi UUPA sudah tepat, dan melakukan langkah sosialisasi dan menyerap aspirasi di 23 Kabupaten/Kota merupakan langkah untuk membuat proses ini menjadi inklusif.
Selain itu, semangat 17 tahun yang lalu, prosesnya sangat partisipatif maka momentum ini juga dapat membangun kembali imajinasi politik rakyat Aceh dalam membangun masa depan Aceh.
“Memang kalau kita sedikit review, dulu nuansa dan semangat membangun struktur dan sistem politik lebih kuat, karena UU ini dapat mengakomodir langkah politik GAM dalam membangun Aceh yang berkeadilan dan sejahtera,” jelasnya.
Maka kedepan, jelasnya, ada baiknya nuansa dan semangat baru juga harus terus diperkuat. Misalnya, kita memiliki struktur politik Aceh yang berbeda dengan provinsi lain yaitu adanya partai politik lokal dan calon perorangan.
Namun kedepan, semangat kita mesti kita arahkan juga pada sistem ekonomi dan sistem budaya kita. Regulasi yang mengatur tentang pengelolaan Sumber Daya Alam kita harus lebih kuat, misalnya pengelolaan migas, pertambangan, SDA kelautan kita yang jangan dibatasi pada 12 mil namun sampai 200 mil.
“Sistem ekonomi yang lebih jelas maka memberikan jalan keluar untuk menurunkan angka kemiskinan kita karena sistem dan struktur ekonomi membuka akses pada rakyat Aceh untuk mengembangkan perdagangannya secara lebih mandiri,” jelasnya.
Begitu pula dalam konteks budaya, maka harus diperhatikan, politik dan ekonomi tanpa didukung oleh budaya maka kering, karena kita terlalu lama dalam keadaan konflik maka pemulihan ekonomi dan politik harus juga didukung oleh langkah kebudayaan yang menyeluruh.
Juanda Djamal menilai, selama ini carut marut tata kelola pemerintahan dan birokrasi dirasakan oleh eksekutif. Pemerintah Aceh dalam hal ini Pj Gubernur melalui perangkatnya juga harus membangun kepentingan yang sama dengan DPRA Aceh.
Harus difahami oleh kalangan eksekutif, dimana selama ini yang dirasakan langsung keterbatasan kewenangannya eksekutif, mereka yang menghadapinya ketika peraturan menteri mendegradasi aturan yang sudah diatur dalam isi UU No.11/2006.
Semestinya, eksekutif harus membentuk tim,sehingga terbangun semangat yang sama, jadi semestinya langkah tersebut kita tumbuhkan kembali. Termasuk OMS Aceh, mari kita harus jadikan momentum revisi ini untuk merefleksikan dan membangun kembali langkah-langkah politik pembangunan Aceh yang berdaulat, berkeadilan dan sejahtera, katanya.
Kini draf revisi UUPA sedang digodok DPRA. Apa nanti yang akan diajukan wakil rakyat Aceh ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang belum terselesaikan demi peyempurnaan UUPA? Publik menantinya.
Apakah yang dikerjakan DPRA akan menjawab keinginan rakyat Aceh dimana UUPA sudah berjalan 18 tahun, namun masih banyak PR yang belum terselesaikan. Kemampuan wakil rakyat ini sedang dipertaruhkan demi martabat sebuah negeri di ujung barat Pulau Sumatera. [Bahtiar Gayo]