Jum`at, 09 Mei 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / UU BUMN 2025: BOM WAKTU KORUPSI ATAU DILEMA KPK?

UU BUMN 2025: BOM WAKTU KORUPSI ATAU DILEMA KPK?

Kamis, 08 Mei 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ilustrasi BUMN. Foto: Umsu


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Dunia politik dan hukum Indonesia kembali diguncang kontroversi pascapengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Dua pasal krusial dalam regulasi ini Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G menghapus status direksi, komisaris, dan pegawai BUMN sebagai “penyelenggara negara”. Perubahan ini memicu perdebatan sengit antara pemerintah, partai politik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pegiat antikorupsi.

Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa UU ini memperkuat otonomi korporasi BUMN. Di sisi lain, kritikus menilai langkah ini membuka celah kekebalan hukum bagi pejabat BUMN sekaligus melemahkan kewenangan KPK. Bagaimana UU BUMN mengubah lanskap pemberantasan korupsi? Apa implikasinya bagi akuntabilitas pengelolaan uang negara?

Inti polemik UU BUMN terletak pada perubahan status hukum pengurus BUMN. Sebelumnya, direksi dan komisaris BUMN masuk dalam kategori “penyelenggara negara” berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Status ini menjadi fondasi bagi KPK untuk mengusut korupsi di BUMN, mengingat UU KPK membatasi kewenangan lembaga ini hanya pada tindak pidana yang melibatkan penyelenggara negara atau mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Dengan dihapusnya status tersebut melalui Pasal 9G (“Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara”), KPK secara teori kehilangan dasar hukum untuk menyelidiki dugaan korupsi di tubuh BUMN. Padahal, selama dua dekade terakhir, puluhan kasus korupsi BUMN dari PT Garuda Indonesia hingga PT PLN telah ditangani KPK dengan mengacu pada status “penyelenggara negara” ini.

Pemerintah beralasan bahwa perubahan status ini diperlukan agar BUMN dapat beroperasi layaknya korporasi komersial, lepas dari birokrasi yang menghambat inovasi. “BUMN harus dikelola secara profesional, bukan sebagai perpanjangan birokrasi. Analoginya seperti perusahaan swasta,” tegas Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN, dalam wawancara dengan media.

Namun, analogi ini dibantah keras oleh pegiat antikorupsi. “BUMN bukan swasta. Mereka mengelola uang rakyat, mendapat subsidi negara, dan bertugas melayani kepentingan publik. Menghapus status penyelenggara negara sama saja mencabut kewajiban transparansi,” tukas Alfian dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).

Partai Demokrat muncul sebagai salah satu pendukung UU BUMN. Sekjen Partai Demokrat, Herman Khaeron, menegaskan bahwa penghapusan status penyelenggara negara tidak serta-merta memberi kekebalan hukum.

“Jika direksi korupsi, tetap bisa dipidana. KPK masih bisa bertindak karena objeknya adalah aset negara,” ujarnya di Jakarta (7/5/2025).

Argumen ini diamini oleh Fraksi PDIP di DPR yang menyatakan bahwa UU KUHP dan UU Tipikor tetap berlaku untuk menjerat pelaku korupsi di BUMN.

Namun, KPK menilai argumen tersebut mengabaikan kompleksitas hukum. Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa UU KPK secara eksplisit membatasi kewenangan lembaganya hanya pada kasus yang melibatkan “penyelenggara negara” atau “kerugian keuangan negara”. Dengan dihapusnya status pertama, KPK harus membuktikan unsur kerugian negara secara spesifik proses yang sering memakan waktu tahunan.

“Ini kontradiktif dengan UU 28/1999. Pejabat BUMN tetap wajib lapor LHKPN karena mengelola aset negara,” tegas Setyo.

Kekhawatiran serupa diungkapkan MaTA. Alfian menyoroti bahwa 70% BUMN selama 5 tahun terakhir tidak pernah mempublikasikan laporan keuangan secara utuh.

“Dengan dihapusnya kewajiban LHKPN, kita kehilangan alat deteksi dini korupsi. Pejabat bisa mengakumulasi kekayaan tanpa bisa dipantau,” katanya.

UU BUMN memperkenalkan konsep Business Judgment Rule (BJR) dalam Pasal 3Y dan 9F. Prinsip ini membebaskan direksi dari tuntutan hukum selama keputusan bisnis diambil secara profesional, beriktikad baik, dan tanpa konflik kepentingan. Pemerintah berargumen bahwa BJR diperlukan agar direksi BUMN tidak takut mengambil risiko dalam bisnis.

Namun, KPK memperingatkan bahwa BJR berpotensi disalahgunakan untuk melindungi kebijakan merugikan. “Kasus seperti pembelian pesawat fiktif di Garuda atau proyek LNG yang gagal di Pertamina bisa lolos dengan dalih BJR,” ujar Setyo.

MK sebelumnya telah menegaskan dalam Putusan No. 62/PUU - XVII/2019 bahwa kerugian BUMN tetap dianggap sebagai kerugian negara jika disebabkan oleh kecurangan atau penyimpangan wewenang.

Di sinilah letak ambiguitas UU BUMN. Pasal 4B menyatakan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara kecuali ada unsur pidana. Namun, tanpa status penyelenggara negara, KPK kesulitan membuktikan unsur pidana tersebut.

“Ini lingkaran setan. Untuk menyelidiki korupsi, KPK perlu status penyelenggara negara, tapi status itu sudah dihapus,” papar Alfian.

Sorotan lain tertuju pada pembentukan Danantara Badan Pengelola Investasi yang modalnya berasal dari penyertaan negara di BUMN. UU BUMN mengatur bahwa Danantara hanya diaudit oleh lembaga yang ditunjuk sendiri, bukan BPK atau BPKP.

“Ini anomali. Bagaimana mungkin badan yang mengelola Rp1.000 triliun aset negara bebas dari audit publik?” kritik Alfian.

Keterkaitan waktu antara pengesahan UU BUMN dan pendirian Danantara memperkuat kecurigaan adanya “skenario besar” untuk mengamankan aset strategis dari pengawasan. Apalagi, Menteri BUMN sebelumnya telah menyatakan bahwa Danantara akan menjadi “lengan investasi global” Indonesia.

Pemerintah konsisten pada narasi bahwa UU BUMN bertujuan modernisasi tata kelola BUMN. “Kita perlu efisiensi. Selama ini, BUMN terlalu diintervensi politik,” kata Arya Sinulingga. Namun, data Kompas (2024) menunjukkan bahwa 60% kerugian BUMN justru berasal dari korupsi, bukan kesalahan bisnis.

Di tengah tarik-ulur ini, KPK bersikukuh tetap berwenang mengusut korupsi BUMN dengan berpegang pada putusan MK dan UU 28/1999. “Selama ada kerugian negara akibat tindak pidana, kami akan bertindak,” tegas Setyo. Namun, tanpa dukungan politis, upaya KPK bisa mentah.

UU BUMN 2025 menempatkan Indonesia pada persimpangan antara otonomi korporasi dan akuntabilitas publik. Meski semangat modernisasi BUMN patut diapresiasi, penghapusan status penyelenggara negara tanpa sistem pengawasan pengganti berisiko mengubur agenda antikorupsi.

Solusinya mungkin terletak pada amendemen UU KPK untuk memperluas definisi “penyelenggara negara” atau pembentukan pengawasan khusus untuk BUMN. Tanpa langkah itu, BUMN sebagai “tulang punggung ekonomi” versi pemerintah bisa berubah menjadi “kandang sapi perah” baru bagi koruptor.

Debat UU BUMN mencerminkan pertarungan paradigma: apakah BUMN harus menjadi entitas komersial murni atau tetap sebagai alat negara untuk mensejahterakan rakyat? Jawabannya mungkin ada di tengah BUMN perlu otonomi bisnis, namun dengan sistem checks and balances yang ketat. Jika tidak, kita hanya mengulangi sejarah: reformasi yang diidealkan, tetapi korupsi yang direproduksi.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas