Rabu, 16 April 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Wacana Kolaborasi Film Indonesia - Turki Angkat Hubungan Aceh – Ottoman, Akankah Terwujud?

Wacana Kolaborasi Film Indonesia - Turki Angkat Hubungan Aceh – Ottoman, Akankah Terwujud?

Selasa, 15 April 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi hubungan Aceh Darussalam dengan Turky Ottoman. Foto: chanel yotube HABA ASA News


DIALEKSIS | Dialektika - Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, menggagas film kolaborasi dengan Turki yang mengangkat sejarah persekutuan Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman pada abad ke - 16. Proyek ambisius ini dinilai bukan sekadar medium hiburan, melainkan instrumen strategis diplomasi budaya dan rekonstruksi narasi sejarah Asia Tenggara yang kerap terpinggirkan.

Dalam pertemuan dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Mehmet Nuri Ersoy, di Ankara (9/4/2025), Fadli Zon menegaskan komitmen Indonesia untuk memperdalam kerja sama budaya kedua negara. 

“Film ini akan menjadi jembatan yang menghidupkan kembali persahabatan lintas benua yang telah terjalin sejak era Kesultanan Aceh Darussalam,” ujarnya melalui akun X.

Proyek ini dirancang sebagai bagian dari strategi besar Kementerian Kebudayaan untuk memposisikan film sebagai alat promosi budaya, literasi sejarah, dan soft diplomacy. Selain produksi film, rencana tersebut mencakup pameran seni bersama dan pembangunan rumah budaya Indonesia di Turki.

Fadli menyitir bukti historis yang menguatkan kolaborasi ini, seperti koin emas era Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar (Aceh) dan Sultan Suleiman I (Ottoman) di Gampong Pande, serta makam tokoh Ottoman di Bitay, Banda Aceh.

“Ini bukan mitos, tapi fakta yang perlu diwariskan ke generasi muda,” tegasnya.

Dr. M. Adli Abdullah, sejarawan Aceh, menyambut antusias gagasan ini. Menurutnya, hubungan Aceh-Ottoman yang dimulai sejak abad ke-13 adalah contoh nyata solidaritas Islam melawan kolonialisme Barat.

“Dukungan militer Ottoman membantu Aceh bertahan dari Portugis, Belanda, dan Inggris selama tiga abad,” paparnya kepada Dialeksis.com (13/4/2025).

Adli menjelaskan, kerja sama tersebut meliputi pengiriman ahli persenjataan Ottoman ke Aceh, pendirian Akademi Militer Makhad Baital Makdis tempat Laksamana Keumalahayati belajar strategi perang, serta pembukaan jalur dagang rempah Aceh ke Eropa.

“Gelar Turki seperti Efendi dan Bey di Aceh adalah warisan era itu,” tambahnya.

Ia menekankan, film ini berpotensi melahirkan dampak multidimensi: dari pelestarian budaya, pertukaran akademik, hingga kolaborasi seni kontemporer.

“Yang terpenting, film harus menggali arsip Istanbul, seperti surat Sultan Aceh ke Ottoman, agar tidak terjebak romantisisme,” ujarnya.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, melalui Kepala Biro Administrasi Setda Aceh, Akkar Arafat, menyatakan kesiapan memfasilitasi akses ke situs sejarah dan manuskrip kuno. “Kami ingin film ini menjadi tuntunan sejarah, bukan sekadar tontonan,” tegas Akkar (12/4/2025).

Dukungan serupa datang dari Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, yang berjanji mengerahkan sejarawan lokal dan membuka lokasi syuting di situs bersejarah. “Ini momentum mengangkat Aceh sebagai pusat peradaban Islam global,” ujarnya.

Namun, penyair dan budayawan Aceh, Din Saja (Ade Soekma), mengingatkan agar proyek ini tidak menjadi “fetisisme sejarah ala kolonial”.

“Jangan sampai film hanya jadi alat politik Jakarta - Ankara. Aceh harus dilibatkan penuh dalam proses kreatif,” kritiknya. Ia menekankan pentingnya menonjolkan pertukaran intelektual dan spiritual, bukan sekadar narasi militer.

Nab Bahany As, penulis buku Laksamana Keumalahayati, mengapresiasi inisiatif Fadli Zon tetapi mengingatkan perlunya riset mendalam. “Serial Abad Kejayaan Turki sudah jadi standar tinggi. Film kita harus setara, dengan visual detail dan akurasi istilah,” ujarnya (15/4/2025).

Ia menyarankan penggunaan istilah “kesultanan” alih-alih “kekaisaran” untuk menjaga kesetaraan historis. “Soroti juga peristiwa seperti Lada Sicupak, di mana delegasi Aceh membawa enam kapal lada ke Ottoman sebagai simbol persahabatan,” tambah Nab.

Fakta lain yang ia soroti adalah rencana Aceh bergabung dengan kekhalifahan Ottoman di abad ke-17 yang gagal akibat melemahnya pengaruh Turki. “Ini bisa jadi konflik dramatis yang memperkaya narasi,” ujarnya.

Untuk memastikan akurasi, Kementerian Kebudayaan dan Pemda Aceh berencana membentuk tim riset gabungan Indonesia-Turki. Tim akan menggali arsip di Istanbul, termasuk surat Sultan Alauddin Riayat Syah yang meminta bantuan militer ke Ottoman pasca-pembantaian jamaah haji Aceh oleh Portugis (1528).

Fadli Zon menargetkan film ini tidak hanya tayang di bioskop nasional, tetapi juga di festival internasional. “Kami ingin dunia melihat bahwa hubungan Indonesia-Turki bukan sekadar politik, tapi persaudaraan yang berakar dari sejarah,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dora
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar