Juanda Djamal: Aceh Pusat Pembelajaran Perdamaian Dunia
Font: Ukuran: - +
Reporter : arniv
DIALEKSIS.COM - Juanda Djamal bersama teman-temannya memperjuangkan perdamaian menjadi catatan sejarah di berbagai informasi dan literatur tentangnya. Dedikasi Bang Joe, sapaan akrabnya itu tidak diragu lagi. Sekilas pandang siapa Juanda Djamal publik Aceh sudah mengenalnya.
Tercatat sebagai pendiri Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), pernah menjabat direktur komunikasi di Badan Rehabilitas dan Rekonstruksi (BRR)Aceh, saat ini dipercaya menjadi konsultan perdamaian skala regional yang mengurusi perdamaian di Pattani, Moro, dan lain-lain.
Meski aktivitasnya sangat padat, Juanda menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Dialeksis terkait bagaimana pembelajaran positif perdamaian yang telah diraihnya. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Aceh berkontribusi bagi dunia luar dan menjadikan pusat lesson learned sehubungan keberhasil membangun perdamaian?
Perdamaian Aceh masih penuh tantangan, jangan diartikan bahwa MoU diteken dan UUPA disahkan, serta sudah 12 tahun bahwa damai Aceh sudah berhasil. Memang, 12 tahun terakhir tidak ada lagi kontak senjata, kita memang berhasil menghentikannya, tetapi tantangan berat adalah memastikan keadilan bagi korban, memulihkan psikologis dari konflik, sosial-ekonomi, dan membangun agenda strategis pembangunan yang berkelanjutan.
Kalau bicara memperkuat perdamaian, bagaimana langkah konkretnya?
Salah satu upaya kita memperkuat perdamaian, penting bagi kita untuk mengelola berbagai proses itu menjadi pengalaman dan pembelajaran. Harus dipahami, bahwa penting bagi kita dalam memperkuat proses, juga pengetahuan bagi generasi masa depan, kita pastikan konflik tidak berulang.
Maksudnya bagaimana?
Pembelajaran ini juga menjadi pengetahuan bagi masyarakat di wilayah-wilayah konflik lainnya yang sedang berusaha untuk menyelesaikan konflik bersenjata di daerahnya. Jadi, kita berbagi pengalaman secara otomatis mendapatkan feedback bagi penguatan perdamaian kita sendiri. Harapan kita, interaksi Aceh melalui pembelajaran perdamaian maupun rehabilitasi-rekonstruksi paska tsunami dapat merekonstruksi peradaban baru Aceh dengan sendirinya menjadi lebih baik ke depannya.
Apa yang dapat dipetik pembelajaran perdamaian di Aceh untuk diterapkan di negara lain yang masih berkonflik, seperti di Pattani, moro, dan lain-lain?
Sejauh ini ada banyak negara yang didera wilayah konflik yang berkunjung ke Aceh, antara lain Bangsa Moro, Patani, Sudan, dan juga Papua. Semuanya tertarik dengan pengalaman Aceh, akan tetapi mereka memiliki karakter konflik dan proses yang berbeda-beda, momentum politik pun berbeda pula, terutama political will Pemerintah Pusat.
Pengalaman Aceh, pemerintah mengakui keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), makanya mau berunding. Hal ini masih jauh dengan proses antara pemerintah Thailand dengan pejuang barisan Revolusi Nasional (BRN) ataupun Papua. Mungkin hanya Bangsa Moro dengan pemerintah Filipina yang prosesnya berlangsung hampir sama dengan Aceh. MILF dengan pemerintah Filipina bersepakat menandatangani MoU dan merumuskan Bangsa Moro Basic Law, atau sama dengan UUPA jika di Aceh. Banyak isi dan substansi diadopsi dari UUPA misalnya lembaga Wali Nanggroe. Menurut mereka lembaga wali ini dapat menjadi lembaga dalam menjaga identitas, harkat dan martabat, adat dan budaya, dan sebagainya.
Kelemahan apa yang dirasakan terkait kondisi perdamaian Aceh saat ini?
Pengalaman kita berbagi pembelajaran selama ini, sepatutnya kita dapat mempersiapkan diri lebih baik lagi, hanya saja kita terutama pemerintah tidak serius dalam membangun ini. Padahal dalam jangka panjang, Aceh dapat menjadi pusat pembelajaran perdamaian dunia. Untuk menjawab segala kelemahan perdamaian Aceh, maka kita perlu mengevaluasikan implementasi UUPA setiap tahunnya melalui momentum peringatan perdamaian.
Apa yang Anda lihat dari perdamaian Aceh selama ini?
Perdamaian Aceh telah berhasil mentransformasi gerakan perlawanan bersenjata ke politik, transformasi secara institusi berhasil, akan tetapi tantangan kita melakukan transformasi kepemimpinan politik. Langkah ini masih berproses seiring dengan konstruksi politik Aceh yang semakin dewasa.
Sebenarnya dapat kita percepat melalui penguatan institusi demokrasi, seperti penguatan partai politik lokal melalui aktifnya pendidikan politik dan rekrutmen kader kader muda. Jadi 12 tahun keberadaan parlok (partai politik lokal) telah memberikan dinamika baru dalam perjalanan politik Aceh, tinggal lagi kita perkuat orientasi politik-ekonomi sehingga menjawab persoalan-persoalan dasar masyarakat.
Bagaimana seharusnya dukungan pemerintah agar Aceh menjadi pusat membangun perdamaian skala global?
Kita harus membangun pusat pembelajaran perdamaian Aceh, semua dokumen terutama dinamika perundingan Aceh kita kumpulkan. Selanjutnya kita tuliskan, semua lokus ada dengan kita, kita tampilkan, termasuk hasil-hasil riset dan lainnya. Centre (Pusat) ini boleh dalam bentuk pusat studi, museum, dan tentunya pengelolaan harus serius. Bayangkan, hari ini pemerintah hanya ada ruang memorial, begitu rendahnya cara berpikir kita, masa tidak bisa kita bangun kebijakan yang berperadaban, anggaran besar dan dunia mengenal baik Aceh.
Bukankah sudah ada lembaga-lembaga yang punya kepedulian terhadap hal tersebut?
Kalau mengandalkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mempersiapkan ini, tidak cukup energi. Kita sayangkan lagi, kita punya dua universitas besar, Unsyiah dan UIN, masa’ tidak responsif dengan membangun pusat studi resolusi konflik dan perdamaian yang kuat? Banyak peluang diambil oleh universitas lainnya seperti UGM. Bahkan, jika kita lihat pengalaman Aceh, kita sudah dapat berperan untuk memfasilitasi upaya menciptakan perdamaian di kawasan lainnya, karena banyak pihak terlibat selama proses perundingan perdamaian.
Hal-hal apa saja yang perlu dibenahi dalam internal Aceh sendiri, sehubungan implementasi perdamaian yang sudah berjalan satu dekade ini?
Kita sudah melampaui fase pertama, ini modal besar untuk memperkuat peace building, terutama mengoptimalkan implementasi UUPA. Selanjutnya tantangan kita membangun masyarakat yang demokratis supaya stabilitas keamanan dapat kita jaga. Juga, memulihkan sosial-ekonomi karena kepentingan kita menciptakan sentra-sentra produksi guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan bahkan memastikan nilai tambah atas produksi.
Hal lainnya?
Hal lainnya adalah mengembalikan trust (kepercayaan) rakyat pada pemerintah, tantangan kita adalah memperbaiki hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Makanya kepemimpinan Aceh hari ini memiliki pekerjaan rumah besar untuk mewujudkan ini. Oleh karena itu, periode kepemimpinan Aceh hari, sepatutnya terus membangun kepedulian bersama, saling berkoordinasi, evaluasi kelemahan supaya pergerakan pembangunan Aceh dapat memastikan konflik tidak berulang.
Bagaimana seharusnya peran civil society mewujudkan aceh sebagai pusat perdamaian skala global?
Masyarakat sipil berperan besar dalam mendorong proses perdamaian, tarik ulur perundingan banyak memberikan pembelajaran kita, tentunya tidak terlepas dari kuatnya jaringan yang terbangun di masa itu, baik tingkat nasional, regional dan internasional. Sepatutnya pendukung-pendukung kita dulu, kita berikan apresiasi, kita jaga relasi melalui peran-peran baru yang bisa kita bawa pembelajaran Aceh ke wilayah-wilayah konflik. Misalnya, teman-teman di Manila, Bangkok, Jepang, Malaysia, mereka dulu banyak membantu kita.
Terakhir, apa harapan Anda untuk perdamaian Aceh ini?
Hari ini, Aceh sudah damai, maka sepatutnya balik membantu mereka, negara lain yang sedang berkonflik untuk menyelesaikan konflik di negerinya. Jadi, CSO Aceh sepatutnya dapat berkiprah untuk kepentingan perdamaian regional dan global. Tentunya juga terus memperkuat perdamaian Aceh yang saat ini masih berjuang menuju masyarakat yang demokratis, berbudaya dan berperadaban global. []