DIALEKSIS.COM | Dialog- Aksi mahasiswa pada 1 September 2025 mengguncang ruang publik Aceh. Tujuh tuntutan yang mereka suarakan dinilai sebagai refleksi kegelisahan rakyat terhadap kinerja legislatif. Namun, narasi pemisahan Aceh dari Indonesia yang muncul di tengah aksi justru memantik kontroversi. Dialeksis berbincang dengan pemerhati sosial politik, Risman Rachman, yang menyoroti dinamika ini dengan tajam dan jernih.
Dialeksis: Apa yang Anda lihat dari aksi mahasiswa 1 September lalu?
Risman Rachman: Saya melihat itu sebagai ekspresi politik yang jernih dan berani. Tujuh tuntutan mereka sangat substansial--menyentuh fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR serta DPRA. Tapi sayangnya, suara mereka dibajak oleh isu politik sesaat.
Dialeksis: Anda menyebut “dibajak”. Bisa dijelaskan lebih lanjut?
Risman Rachman: Tiba-tiba muncul pernyataan soal Aceh pisah dari pusat. Kalimat itu menyita perhatian media dan publik, membuat tuntutan utama mahasiswa tenggelam. Saya bertanya: kalau itu memang aspirasi rakyat, kenapa harus dititipkan di panggung mahasiswa? Kenapa tidak disampaikan secara terbuka oleh DPRA?
Dialeksis: Tapi, kan apa yang disampaikan Ketua DPRA, meski ada yang menyebut gimmick, strategi, juga cukup mewakili aspirasi rakyat Aceh. Apa komentar Anda?
Risman Rachman: Jika memang begitu, silahkan DPRA menyuarakan langsung. Saya hanya ingatkan soal komitmen, tekad dan keyakinan pada pihak yang sudah dituang secara sadar dalam preambule MoU Helsinki. Jangan main-main dengan sejarah dan harapan rakyat.
Dialeksis: Tapi kan di demo itu ada dibawa bendera bintang bulan. Apa itu bukan ekspresi yang bisa dibaca sebagai tuntutan pisah?
Risman Rachman: Sejauh yang saya cermati di banyak demo mahasiswa Aceh, kehadiran bendera tidak dimaknai sebagai ekspresi pisah melainkan sebagai penegasan identitas keacehan semata, yang di dalamnya terkandung kehendak menegakkan kembali marwah dan harga diri, yang pada demo 1 September lalu ingin diwujudkan melalui 7 tuntutan. Bukankah kita semua memang mau hadirnya Pemerintahan Rakyat Aceh yang kredibel, bebas dari praktek-praktek yang menciderai agama, aturan, dan etika serta akal sehat?
Dialeksis: Apakah menurut Anda itu manuver politik?
Risman Rachman: Sangat mungkin. Justru itu kontraproduktif. Bukannya memperkuat posisi mahasiswa, malah menggeser arah perjuangan. Saya curiga, apakah tujuh tuntutan itu sebegitu “berbahaya” hingga perlu ditutupi dengan isu pemisahan?
Dialeksis: Anda juga mengusulkan reformasi model kepemimpinan parlemen. Bisa dijelaskan?
Risman Rachman: Reformasi total harus dimulai dari struktur internal. Saya usulkan empat model:
1. Kolektif tanpa ketua tunggal - keputusan diambil bersama, bukan oleh satu orang.
2. Presidium terbuka - pimpinan bergilir lintas fraksi dan dapil sesuai isu.
3. Berbasis kinerja - evaluasi triwulan oleh badan independen.
4. Tanpa pimpinan formal - semua anggota setara, moderator dipilih ad hoc.
Tujuannya jelas: demokrasi yang terbuka, transparan, dan bebas dari dominasi elite.
Dialeksis: Jadi menurut Anda, demo itu bukan soal pemisahan Aceh?
Risman Rachman: Sama sekali bukan. Demo itu adalah seruan agar DPR dan DPRA tidak memisahkan diri dari rakyat. Tuntutan mahasiswa adalah manifesto rakyat Aceh yang muak dengan elit yang bicara besar tapi bekerja kecil.
Dialeksis: Terakhir, apa pesan Anda untuk mahasiswa?
Risman Rachman: Jangan biarkan suara kalian direduksi. Kalian sedang membuka pintu reformasi. Jangan biarkan pintu itu ditutup oleh isu yang bukan milik kalian. [arn]