DIALEKSIS.COM | Saravalle, Italia - Razami Dek Cut, melalui unggahan di laman Facebook - nya pada Jumat, 18 April 2025, membagikan pengalamannya menelusuri budaya ngopi masyarakat Milan selama kunjungannya ke Saravalle, Italia. Dalam refleksinya, ia membandingkan kebiasaan minum kopi di Italia dengan Aceh, menyoroti perbedaan konteks sosial dan topik obrolan yang mewarnai ritual harian tersebut.
Menurut Razami, budaya ngopi di Milan mencerminkan gaya hidup yang efisien namun tetap sarat interaksi.
"Orang Milan biasa minum espresso sambil berdiri di bar, hanya beberapa menit, lalu melanjutkan aktivitas. Mereka ngopi hingga 4 - 5 kali sehari: pagi sebelum kerja, coffee break pukul 9 - 10, setelah makan siang, dan pukul 3 sore. Kopi terakhir biasanya sebelum magrib karena mereka menghindari kafein di malam hari," tulisnya.
Ia menambahkan, kebiasaan ini didukung oleh tingkat pendapatan yang tinggi, memungkinkan mereka menikmati kopi berkualitas tanpa mengganggu produktivitas.
Yang menarik perhatian Razami adalah topik obrolan yang dibahas saat coffee break. "Mereka kerap mendiskusikan pengembangan industri mode, pariwisata, atau strategi sepak bola klub seperti AC Milan dan Inter Milan. Obrolan terarah, progresif, dan berorientasi pada solusi," ujarnya.
Hal ini ia kontraskan dengan kebiasaan di Aceh, di mana ngopi bisa berlangsung dari subuh hingga tengah malam, namun topiknya cenderung berkutat pada isu politik lokal seperti SK Sekjen Partai, pergantian Plt. Sekda, atau isu remeh seperti jabatan ketua organisasi.
Razami mengutip perkataan seorang sahabat yang pernah lama tinggal di luar negeri: "Orang kecil berbicara tentang orang lain, orang sedang berbicara kejadian, dan orang besar berbicara tentang ide."
Ia menduga, perbedaan tema obrolan ini mungkin berkorelasi dengan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. "Di Milan, diskusi produktif mungkin jadi salah satu motor penggerak industri kreatif mereka. Sementara di Aceh, kita masih sering terjebak dalam obrolan yang tidak berdampak langsung pada kemajuan kolektif," tulisnya.
Tak lupa, ia menyelipkan satire khas Aceh: "Bisa jadi ini terkait tabiat kita yang suka ‘berperang’ sepanjang masa. Jak ta jep kupi bek pungo (biar kita minum kopi tak jadi gila)."
Melalui catatannya, Razami mengajak masyarakat Aceh merefleksikan budaya ngopi sebagai ruang untuk bertukar ide konstruktif.
"Mari jadikan warung kopi sebagai inkubator inovasi, bukan sekadar tempat menggerutu. Jika Milan bisa membangun ekonomi dari obrolan di bar kopi, mengapa Aceh tidak?" pungkasnya.