Minggu, 08 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Diaspora / Transformasi atau Revolusi Mental: Jalan Keluar dari Kegelapan Politik

Transformasi atau Revolusi Mental: Jalan Keluar dari Kegelapan Politik

Jum`at, 18 April 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Adnan Daud

Penulis: Adnan Daud, berdomisili di Denmark. Email: teukunamuda@gmail.com. Foto: DIaleksis



DIALEKSIS.COM | Diaspora - Tidak mengherankan, setelah rezim fufufafa terpilih, Indonesia seolah memasuki masa kegelapan. Bukan ramalan mistis, melainkan kenyataan yang bisa kita lihat dengan akal sehat. Deretan kasus korupsi yang terus terkuak, bencana banjir akibat kebijakan keliru, dan berbagai keputusan rezim fufufafa telah membakar amarah rakyat.

Militer kini mulai menapakkan kaki di panggung politik, mengulang sejarah Orde Baru. Mereka tak lagi berperan sebagai penjaga profesional atau prajurit yang mempertahankan kedaulatan bangsa, melainkan tergoda memegang kekuasaan sipil dan menikmati buahnya.

Hari demi hari, publik diprovokasi: berita kesalahan pemerintah, kerakusan, dan kebodohan pejabat digelorakan. Lalu, apa yang dapat kita lakukan?

Sebagai warga yang hidup di tengah situasi salah kaprah, yang perlu kita lakukan adalah transformasi mental. Lewat perubahan cara berpikir dan sikap, kita menjaga kewarasan di tengah politik dan ekonomi yang membusuk. Dunia boleh berubah, tapi ketenangan batin harus dipertahankan.

Apa itu "Mental"?

Secara umum, "mental" merujuk pada pikiran, perasaan, dan proses psikologis. Kita terdiri dari dua aspek: badan (material) dan pikiran (immaterial). Keduanya bukan diri kita sejati, melainkan akumulasi selama hidup.

Saat lahir, tubuh kita belum sebesar sekarang itulah hasil akumulasi makanan dari tanah, dan akhirnya tubuh kembali ke asalnya. Demikian pula pikiran: kumpulan informasi dari pancaindra sejak kita kecil. Meski milik kita, keduanya hanyalah wadah.

Uniknya, baik badan maupun pikiran memiliki wujud. Dalam fisika, wujud materi terdiri dari padat, cair, dan gas; begitu pula mental, yang terbagi menjadi eksklusif, inklusif, dan unitive.

Jika kita mencermati ternyata tipologi mental meliputi, mental eksklusif (padat). Ciri utama tertutup terhadap perbedaan: Hanya berdiskusi dengan yang sepemikiran, merasa paling benar: menghakimi dan merendahkan pihak lain, distingtif dualistik: memisahkan dunia menjadi “kami vs. mereka”, enggan menerima masukan: sulit terima kritik, menolak kolaborasi: hanya percaya kelompok sendiri, dan terakhir kurang empati: sulit menghargai sudut pandang lain.

Rezim fufufafa dipenuhi mental eksklusif, sehingga KKN dan praktik tidak bermoral menjadi lumrah.

Selanjutnya karakter mental Inklusif (cair), ciri utama terbuka terhadap perbedaan: Mau mendengar meski berbeda pandangan, menghargai keberagaman: menilai perbedaan sebagai kekayaan, berpikiran terbuka: siap belajar hal baru, menciptakan ruang aman: membuat orang nyaman jadi diri sendiri, suka kolaborasi: fokus pada tujuan bersama, dan toleran: bahasa dan sikap merangkul.

Ada lagi ketiga karakter seseorang bermental unitive (gas), ciri utama melihat kesatuan: tidak membeda - bedakan “aku” dan “kamu”, cinta kasih tanpa syarat: memberi tanpa berharap balasan, kesadaran spiritual tinggi: kontemplatif dan tenang, mendamaikan: mencari titik temu, bukan konflik, membawa ketenangan: suasana damai dan harmonis, dan melampaui dualitas: menyadari spektrum peran setiap hal.

Kesimpulan

Kita lahir dengan mental eksklusif. Hanya mereka yang terus mengembangkan kesadaran dapat mengubahnya menjadi inklusif, dan lebih jauh menjadi unitive. Untuk mencapai kehidupan tenang dan bahagia, kita harus merevolusi mental dari eksklusif ke inklusif, bahkan unitive.

Tanpa perubahan ini, jabatan apa pun rentan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, tanpa peduli penderitaan sesama.

Revolusi mental bukan jargon kosong ini fondasi bagi demokrasi sehat dan pemerintahan bersih. Tanpa memelihara mental inklusif hingga unitive, setiap institusi akan rapuh terhadap pengkhianatan nilai. Seperti dikatakan Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail, negara merdeka bisa kembali “terjajah” oleh mental eksklusif warganya sendiri. Mari kita pecahkan rantai itu, satu pikiran dan satu hati pada satu waktu.

Penulis: Adnan Daud, berdomisili di Denmark. Email: teukunamuda@gmail.com


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI