DIALEKSIS.COM | Jakarta - Washington menghentikan dua program bantuan vital di Kamboja pada akhir Februari silam: satu berfokus pada peningkatan literasi anak, sementara lainnya mendukung perbaikan gizi dan tumbuh kembang balita. Hanya berselang seminggu, otoritas China mengumumkan pendanaan baru untuk inisiatif serupa, menggarisbawahi persaingan geopolitik di negara berkembang tersebut.
Dalam acara peluncuran bantuan di Phnom Penh, Duta Besar China untuk Kamboja, Wang Wenbin, menegaskan komitmen Beijing: "Kami harus bersama-sama memastikan anak-anak tumbuh sehat, karena merekalah tulang punggung kemajuan bangsa." Wang hadir bersama Menteri Kesehatan Kamboja dan perwakilan UNICEF, menandakan kolaborasi multilateral. Meski nilai dana tidak diungkap, sumber dekat proyek AS mengklaim alokasi China mengisi celah yang ditinggalkan USAID.
Dua program AS yang dihentikan bernilai total US40 juta relatif kecil dibanding penghematan US27,7 miliar dari pemangkasan bantuan luar negeri era Trump. Namun, bagi Kamboja, dana ini krusial untuk menyokong pendidikan inklusif, perlengkapan sekolah, sanitasi, serta dukungan bagi keluarga miskin dan anak disabilitas.
Keputusan AS memicu kritik dari dalam negeri. Legislator dan ahli kebijakan luar negeri memperingatkan bahwa langkah ini membuka jalan bagi China memperkuat soft power-nya.
"Ini hadiah diplomatik untuk Beijing," ujar Charles Kenny dari Center for Global Development. "Dengan anggaran minimal, China bisa klaim sebagai penyelamat, meraih simpati sekaligus pengaruh."
Kamboja menjadi medan persaingan strategis. Sejak 1990-an, AS telah menyalurkan US$1 miliar untuk pembangunan di sana, sementara China membangun pangkalan militer di Ream. Meski Biden berupaya memperbaiki hubungan dengan meningkatkan kerja sama pertahanan, Phnom Penh tetap pragmatis. "Kami tak bergantung pada satu mitra," tegas juru bicara pemerintah Pen Bona.
Pembubaran USAID oleh Trump tidak hanya berdampak di Kamboja. Di Rwanda, China mengambil alih proyek pengembangan anak usia dini setelah pemotongan dana AS. Nepal juga dikabarkan menjadi target bantuan Beijing. "Setiap pemotongan USAID adalah peluang bagi China," tambah Kenny.
Sementara itu, pejabat AS seperti Pete Marocco yang ditugaskan Trump membubarkan USAID dikritik karena mengabaikan risiko geopolitik. "Bantuan luar negeri adalah alat diplomasi," kata Diana Putman, mantan pejabat USAID. "Tanpa dana, pengaruh AS di negara berkembang akan terkikis."
Departemen Luar Negeri AS menyatakan tetap berkomitmen pada program yang "menguntungkan rakyat Kamboja," sambil membanggakan capaian 30 tahun kerja sama. Namun, langkah Trump membatalkan ribuan kontrak bantuan termasuk proyek penjinakan ranjau di Kamboja yang kini diambil alih China menunjukkan kompleksitas persaingan AS-China.
Dengan China terus menawarkan bantuan tanpa syarat melalui skema South-South Cooperation, tekanan pada AS untuk merevisi kebijakan bantuan luar negerinya semakin mendesak. Seperti diingatkan UNICEF: "Pemotongan dana lebih lanjut bisa menghapus pencapaian puluhan tahun dalam sekejap."