Dua puluh lima wartawan internasional Ikut Jurnalisme Perang
Font: Ukuran: - +
Wartawan dari berbagai negara ikut kursus jurnalisme perang'
(foto:aa.com)
DIALEKSIS.COM, Ankara - Dua puluh lima wartawan internasional memulai program pelatihan Jurnalisme Perang ke-13 Anadolu Agency. Program intensif berbasis Ankara didukung oleh pasukan polisi Turki, militer, layanan darurat, Badan Koordinasi dan Kerjasama Turki (TIKA) dan badan-badan ketertiban umum.
Jurnalis dari Afghanistan, Albania, Azerbaijan, Bosnia-Herzegovina, Kenya, Kosovo, Ethiopia, Pakistan, Filipina dan Serbia akan mengambil bagian dalam program 12-hari yang berkaitan dengan keamanan pribadi, mengajarkan pertolongan pertama dan juga bagaimana bertahan hidup kimia dan biologis serangan di lapangan.
Berbicara pada upacara pembukaan di Akademi Polisi Turki, Senin (26/3). Wakil Koordinator Akademi Wartawan Anadolu Agency, Hayri Cetinkus mengatakan wartawan menghadapi kondisi yang mengancam jiwa ketika meliput perang dan bencana alam. "Sebagai prinsip, Anadolu Agency tidak mengirim jurnalis yang tidak memiliki sertifikat jurnalisme perang ke zona panas," kata Cetinkus.
Para jurnalis diberikan pembelakalan dalam menghadapi kesulitan namun tetap memenuhi seluruh asas-asas jurnalistik, terutama dalam melaporkan fakta mengenai wilayah konflik, misalnya di Timur Tengah. Sejumlah jurnalis di wilayah konflik Palestina-Israel tidak dapat melaporkan fakta secara lengkap karena terhalang alasan politis mengenai dari mana media itu berasal.
Sebagaimana digambarkan Muammar Orabi, Direktur Umum stasiun televisi Palestina WATAN-TV, para jurnalis kesulitan dalam memberitakan secara lengkap hal yang terjadi di wilayah otonomi Palestina dan Israel.
"Banyak batu sandungannya, seperti pos pemeriksaan dan kami menghadapi masalah dalam pengumpulan berita. Selain itu saya pikir jurnalis Palestina tidak dapat bergerak bebas dari kota ke kota lain. Rekan saya misalnya, dia tidak dapat bepergian ke Yerusalem, Nablus atau Gaza. Kami selalu berusaha mengumpulkan fakta dan berkoordinasi, namun sayangnya situasi di lapangan tidak memungkinkan," jelasnya.
Tidak hanya kondisi kerja yang buruk yang mengakibatkan sulitnya mencari fakta otentik dan obyektif, terdapat perbedaan dalam cara penyampaian pemberitaan antara satu media dengan media lainnyam terutama dari negara barat.
Salameh B. Nematt, bekas pemimpin harian Arab Al Hayat mengkritik persepsi selektif yang digunakan beberapa media Arab, "Di wilayah kami terdapat busur konflik yang terbentang dari Afghanistan, Irak hingga Israel, Palestina, Libanon dan Suriah. Dan konflik ini tentu saja mengandung banyak kebohongan. Misalnya ketika sebuah serangan yang diarahkan ke warga sipil disebut sebagai perjuangan. Dalam pemberitaan media Arab, jenis-jenis serangan kedua pihak tidak begitu diperhatikan. Misalnya di pihak Arab, serangan Hamas terhadap warga sipil disebut sebagai perjuangan. Sementara pihak Israel tentu saja menyebutnya sebagai aksi kriminal dan terorisme. Tinggal bagaimana dunia memandang dan menyikapi hal tersebut." (sumber: aa.com.tr, dw.com)