Kisah Sup Susu yang Menghentikan Perang Saudara di Swiss
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ada saja cerita menarik dari setiap peristiwa dunia di masa lalu. Dari arena perang pun, sebuah peristiwa dapat menginspirasi generasi yang ditingggalkannya. Layaknya kisah sup susu di Swiss, Eropa, ini.
Perang Kappel, salah satu peristiwa penting dalam sejarah Swiss. Pada Perang Kappel pertama, yang dipicu perbedaan keyakinan beragama, telah membelah pedesaan di Swiss yang indah.
Namun, tidak seperti perang kebanyakan, perang itu berakhir bahkan sebelum dimulai. Semuanya berkat Kappeler Milchsuppe (milk soup) atau sup susu.
Selama Reformasi Swiss di awal abad ke-16, Milchsuppestein menandai perbatasan yang bergejolak dan membagi garis antara wilayah-wilayah yang menentang antara Protestan dan Katolik.
Di sebelah utara adalah wilayah yang beragama Protestan di Zürich, yang dipimpin oleh reformer seperti Martin Luther, Ulrich Zwingli, seorang pengawas paroki yang menyebarkan reformasi.
Sedangkan bagian selatan adalah Zug dan kanton-kanton Katolik sekutu Konfederasi Swiss Lama, yang merasa bahwa serikat pedesaan mereka harus tetap selaras dengan Vatikan dan Roma.
Pada 10 Juni 1529, pasukan Protestan dari Zurich dan pasukan Katolik dari Zug bertemu di lapangan di Kappel am Albis yang sekarang dikenal sebagai Milchsuppestein, atau "padang rumput sup susu," untuk bertempur.
Sementara pasukan infanteri bersiap-siap, Hans Aebli, seorang hakim lokal, menengahi para pemimpin pasukan untuk menegosiasikan kesepakatan damai. Lelah dan lapar karena perjalanan panjang, kedua pasukan sepakat untuk melucuti senjata dan berunding.
Menurut legenda, kedua tentara meletakkan panci sup raksasa di perundingan perang. Perwakilan Katolik membawa susu, sementara perwakilan Protestan membawa roti.
Sup susu dan roti makanan perundingan pada masa perang yang kini jadi hidangan khas di Swiss. [FOTO: BBC]"Negosiasi terus berlanjut, tetapi mengagetkan semua orang karena infanteri melakukan gencatan senjata karena urusan makanan saat berada di medan perang," kata Wey-Korthals, pensiunan pendeta Swiss dari Kappel Abbey dan sejarawan paruh waktu.
"Tentu saja, mereka lapar setelah long march, dan Zürich punya banyak roti dan garam, sementara Zug memiliki kelebihan susu dari peternakannya. Dari situlah legenda itu lahir," tambahnya.
Ketegangan masih ada antar dua kelompok, meletuskan Perang Kedua Kappel dua tahun kemudian.
Namun mitologi sup sudah mulai melekat, dan telah terbukti menjadi katalisator diplomasi Swiss sejak saat itu.
"Saat ini ketika para politisi atau anggota dewan memiliki perselisihan, sup itu masih disajikan," kata Wey-Korthals, seperti dilansir Okezone, Minggu (25/8/2019), yang mengutip BBC.
Seniman Swiss Albert Anker menggambarkan pertemuan dua tentara dalam lukisannya, Die Kappeler Milchsuppe. [FOTO: BBC]Dia menambahkan, "Itu bahkan telah direklamasi oleh partai politik SVP sayap kanan, yang menggunakannya sebagai simbol Swiss yang mereka jagokan. Semua negara sedikit memoles sejarah mereka sedikit, dan kami telah melakukan hal yang sama—kami telah mengubah sup menjadi ikon nasional."
Saat ini, lokasi perundingan diabadikan dengan dibangunnya monumen Kappeler Michsuppenstein. Itu berdiri di samping biara kota, di atas bukit yang menghadap Danau Zug.
Sebuah lukisan terkenal tahun 1869 oleh pelukis nasional Swiss, Albert Anker yang terpajang di Museum Kunsthaus di Zurich menggambarkan pemandangan perundingan tersebut.
Terlihat dalam lukisan dua pasukan dengan baju perang berbeda bermalas-malasan di sekitar mangkuk sup yang besar, senjata-senjata berserakan di sekeliling mereka sambil menyantap sup perdamaian mereka.
Milchsuppe sendiri tertanam dalam jiwa nasional Swiss, simbol yang cocok untuk negara dengan reputasi netralitas dan kompromi.(me/dbs)