Penyelidik PBB: Bahwa Genosida Myanmar Terhadap Rohingya Sedang Berlangsung
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Amerika - Dewan Keamanan PBB mendesak untuk mengambil tindakan karena penindasan 'yang paling parah' terhadap minoritas Rohingya yang tersisa terus berlanjut.
Genosida terus berlangsung terhadap Muslim Rohingya di Myanmar dan pemerintah semakin menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk membangun demokrasi yang berfungsi penuh, kata seorang penyelidik PBB.
Marzuki Darusman, ketua misi pencarian fakta PBB di Myanmar, mengatakan sekitar 250.000 hingga 400.000 orang Rohingya yang tetap tinggal di negara mayoritas Buddha itu setelah penindasan brutal tahun lalu, masih "terus menderita" akibat larangan dan penindasan yang paling parah.
"Kekejaman terus terjadi hari ini," kata Darusman kepada wartawan ketika dia bersiap untuk memberi penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB mengenai situasi pada hari Rabu. "Ini adalah genosida yang sedang berlangsung terus."
Ada tekanan global yang meningkat pada Myanmar untuk bertindak menyusul tindakan keras militer di negara bagian barat Rakhine yang mendorong sekitar 700.000 Rohingya menyeberangi perbatasan ke Bangladesh, di tengah tuduhan pemerkosaan massal, pembunuhan dan penyiksaan.
Pemerintah Myanmar menolak laporan PBB setebal 440 halaman mengenai tindakan keras itu, yang menyimpulkan bahwa para pemimpin militer harus dituntut atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida untuk peran mereka dalam penumpasan. Penyelidikan PBB "cacat, bias dan bermotif politik", perwakilan dewan Myanmar mengatakan.
Pengarahan Darusman kepada Dewan Keamanan mengundang keberatan enam dari 15 anggotanya termasuk Cina, yang merupakan tetangga dan sekutu Myanmar, dan Rusia.
"Kedaulatan nasional bukanlah izin untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida," kata Darusman. "Orang Rohingya dan semua orang Myanmar, kenyataannya seluruh dunia, sedang melihat dan menanti kalian untuk mengambil tindakan."
Yanghee Lee, penyelidik khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan kepada wartawan bahwa pemimpin Aung San Suu Kyi "menyangkal" adanya tindakan keras itu, dan pemerintahannya tampaknya tidak berbeda dengan kediktatoran militer di masa lalu.
"Pemerintah semakin menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki minat dan kapasitas dalam membangun demokrasi di mana semua rakyatnya menikmati semua hak dan kebebasan mereka," kata Lee.
"Tidak ada penegakkan keadilan dan supremasi hukum", yang mana Aung San Suu Kyi "berulang kali dikatakan adalah standar di mana semua orang di Myanmar akui," tambahnya.
Kondisinya tidak tepat bagi setiap Rohingya untuk kembali ke Myanmar, katanya.
Lee mengatakan sementara ada kemajuan dalam hal pembangunan ekonomi dan infrastruktur, tapi "tidak ada kemajuan" dalam hal "ruang demokrasi" atau hak atas tanah.
"Repatriasi tidak memungkinkan sekarang," dia menekankan. "Saya tidak akan mendorong pemulangan. Saat ini, seperti situasi apartheid dimana Rohingya masih tinggal di Myanmar ... tidak memiliki kebebasan bergerak.
"Kamp-kamp, tempat penampungan, desa-desa model yang sedang dibangun, itu lebih merupakan penyemenan segregasi total atau pemisahan dari komunitas etnis Rakhine." Al Jazeera