Tak Ada Riuh Riang Idul Fitri bagi Muslim Uighur di China
Font: Ukuran: - +
Masyarakat Muslim di Xianjiang hanya bisa beribadah di masjid yang sudah ditentukan oleh pemerintah. (Reuters/China Daily)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sebuah sudut kota Hotan, Xinjiang, China, kini berisi tumpukan puing-puing bangunan. Sudut itu, dulu adalah lokasi Masjid Heyitkah yang kemudian dirobohkan dan jadi puing di tempatnya pernah berdiri.
Suasana akhir Ramadan dan Idul Fitri bagi masyarakat Muslim di kota ini tak semeriah saudara seiman mereka yang lain di dunia. Masyarakat Muslim yang kebanyakan adalah bagian dari suku Uighur dan minoritas lainnya merayakan Idul Fitri kali ini dengan tekanan, setelah puluhan masjid dihancurkan.
Di sudut lain kota, slogan "Didik Rakyat untuk Partai" terpasang dengan warna merah menyala di dinding sebuah sekolah dasar. Para murid pun haru memindai wajah mereka sebelum masuk gerbang yang dililit kawat berduri
Masyarakat mengenang Masjid Heyitkah sebagai bangunan yang indah. "Banyak orang dulu [salat] di sana," kata seorang penduduk Hotan.
Sejumlah gambar satelit dan analisis visual oleh Earthrise Alliance kepada AFP menunjukkan ada 36 masjid dan bangunan keagamaan lainnya yang diruntuhkan atau dihapus oleh pemerintah setempat sejak 2017.
Sedangkan pada masjid yang masih berdiri, para jemaat harus melewati metal detector untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Yang Maha Kuasa, atau sekadar menjalankan keyakinan mereka.
"Situasi di sini amat ketat, membuat saya deg-degan," kata seorang Muslim yang meminta disamarkan demi alasan keamanan. "Saya tidak pergi ke masjid lagi. Saya takut,"
Berbeda dengan di Indonesia, masyarakat Muslim setempat merayakan Idul Fitri pada Rabu (5/6) lalu dengan sunyi. Sebagian dari mereka berjalan menuju Masjid Idkah untuk melaksanakan salat sunah Id dalam diam.
Tak ada pula gema takbir dan tahlil yang biasa didengar umat sebagai tanda 1 Syawal.
Masjid yang tergolong salah satu terbesar di China itu jadi lokasi yang disetujui pemerintah setempat sebagai tempat pelaksanaan ibadah salat hari raya bagi umat Muslim di kawasan tersebut.
Menemani jemaat berjalan menuju masjid, pagar petugas keamanan dan pemerintah memantau dari sekeliling masjid.
Selama sebulan sebelumnya, sejumlah kota di China memiliki nuansa Ramadan yang berbeda-beda. Di Xinjiang, begitu petang tiba, beragam restoran sibuk meladeni pelanggan yang membatalkan puasa.
Sedangkan di Hotan, pada Jumat yang merupakan hari suci bagi Muslim, satu-satunya masjid di kota tersebut justru kosong pada malam tiba.
James Leibold, pakar hubungan etnis dan kebijakan China di La Trobe University menilai Partai Komunis sebagai penguasa negara tersebut memandang agama sebagai ancaman yang nyata.
"Dalam jangka panjang, Pemerintah China ingin mencapai masyarakat yang sekuler," kata Leibold.
Pemerintah Xinjiang mengatakan kepada AFP bahwa pihaknya "melindungi kebebasan berkeyakinan dan masyarakat dapat merayakan Ramadan dalam ruang lingkup yang diizinkan oleh hukum", tanpa merinci lebih lanjut.
Pemerintah setempat juga diketahui telah menempatkan jaringan berteknologi tinggi di sepanjang negeri, memasang kamera, pos polisi mobil, dan pos pemeriksaan tampak di setiap jalan sebagai respons serangan mematikan yang dituduhkan kepada ekstremis dan separatis Islam dalam beberapa tahun terakhir.
Diperkirakan, satu juta masyarakat Uighur dan etnis minoritas berbahasa Turki lainnya ditahan di jaringan kamp pengasingan. (CNNIndonesia)