DIALEKSIS.COM | Aceh - Tgk. Umar Rafsanjani, Pembina Laskar Aswaja Aceh, sebuah organisasi yang aktif dalam menjaga nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah, mengkritik keras film Bida’ah yang tayang di Malaysia. Menurutnya, film tersebut tidak hanya mengandung penyimpangan pemahaman keagamaan, tetapi juga berpotensi memicu stigmatisasi terhadap ulama dan dijadikan alat propaganda oleh kelompok anti - slam.
“Film ini menggambarkan ajaran Islam secara keliru. Alih-alih mendidik, justru menyesatkan pemahaman umat tentang akidah dan merusak citra ulama. Konten semacam ini tidak boleh dibiarkan menjadi alat untuk menyerang Islam,” tegas Umar Rafsanjani kepada Dialeksis.com (08/05/2025).
Rafsanjani menjelaskan, istilah bid’ah dalam Islam merujuk pada inovasi dalam praktik agama yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan konsensus ulama (ijma’).
Namun, ia menekankan bahwa istilah ini kerap disalahpahami oleh sebagian kelompok yang memperluas maknanya secara serampangan tanpa merujuk pada dalil sahih.
“Bid’ah adalah lawan dari syariah. Jika seseorang melakukan bid’ah dalam akidah, itu sama saja menolak syariah. Menentang syariah adalah bentuk kesesatan, bahkan bisa mengarah pada kekufuran. Karena itu, isu akidah tidak boleh dijadikan bahan permainan, apalagi diekspos secara keliru di media,” paparnya.
Penjelasan ini penting untuk mengklarifikasi bahwa tidak semua hal baru (bid’ah) dianggap sesat. Dalam fikih, bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah (inovasi positif yang sejalan dengan prinsip agama) dan bid’ah sayyi’ah (inovasi negatif). Namun, Rafsanjani menegaskan bahwa film Bida’ah justru mengaburkan batasan ini dan mengarahkan penonton pada pemahaman ekstrem.
Rafsanjani mempertanyakan keabsahan proses produksi dan pengawasan film tersebut. Menurutnya, sutradara seharusnya berkonsultasi dengan ulama atau mufti sebelum mengangkat tema sensitif seperti bid’ah.
“Ini adalah kelalaian serius. Bagaimana mungkin film dengan konten kontroversial bisa lolos sensor tanpa kajian mendalam dari ahli agama?” ujarnya.
Ia juga mendesak lembaga sensor film Malaysia untuk mengevaluasi mekanisme pengawasannya.
“Apa fungsi lembaga sensor jika film semacam ini bisa tayang? Mereka harus bertanggung jawab dan melakukan revisi kebijakan agar kejadian serupa tidak terulang,” tambahnya.
Sebagai solusi, Rafsanjani mendesak pemerintah Malaysia dan pihak produksi untuk menghentikan penayangan film Bida’ah atau merevisi kontennya dengan melibatkan ulama kompeten. “Jika tidak ditarik, film ini akan terus menjadi sumber fitnah dan meracuni pemikiran umat, khususnya generasi muda,” tegasnya.
Ia juga mengajak umat Islam secara luas untuk bersikap kritis terhadap konten media yang berpotensi merusak akidah. “Kita harus bersatu melawan upaya-upaya pelemahan Islam melalui media,” serunya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak produksi film atau Lembaga Penapisan Film Malaysia (LPF). Namun, desakan dari sejumlah tokoh Islam di Malaysia dan Indonesia diharapkan mendorong dialog konstruktif antara sineas, ulama, dan pemerintah untuk memastikan karya seni tidak bertentangan dengan nilai agama.