Rencana Donald Trump untuk menguasai Gaza berpotensi memicu konflik besar di Timur Tengah. (Foto: X/@AdameMedia)

DIALEKSIS.COM | Washington - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan agar negaranya mengambil alih Jalur Gaza, dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington. Pernyataan Trump itu langsung menuai kritik luas dari berbagai pihak.

"Amerika Serikat akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami akan bertanggung jawab atas semua bom dan senjata yang belum meledak di sana," kata Trump dalam konferensi pers bersama Netanyahu. 

Ia mengklaim bahwa langkah ini akan menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. "Kami akan menciptakan ribuan lapangan kerja, dan ini akan menjadi sesuatu yang membanggakan bagi seluruh Timur Tengah," ujarnya, merujuk pada latar belakangnya di industri real estat.

Trump menilai pengambilalihan Gaza akan membawa stabilitas bagi kawasan. Namun, usulannya mencakup pemindahan massal lebih dari dua juta warga Gaza ke Mesir dan Yordania, yang para pemimpinnya dijadwalkan mengunjungi Washington akhir bulan ini. Saat ditanya wartawan, Trump tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk melaksanakan rencananya.

Rencana ini menuai kecaman luas. James Zogby, presiden Arab American Institute, menyebutnya sebagai tindakan menjijikkan dan berbahaya. 

"Ini jelas melanggar hak asasi manusia. Palestina bukan pion dalam permainan politik," kata Zogby kepada The New Arab. Ia juga menegaskan bahwa warga Gaza tidak akan begitu saja meninggalkan tanah mereka.

Sejumlah tokoh politik Amerika juga menyuarakan keprihatinan. Senator Republik Lindsey Graham menyebut usulan Trump bermasalah. 

"Kita lihat bagaimana reaksi dunia Arab, tapi ini jelas berpotensi menimbulkan masalah besar di berbagai tingkat," ujarnya.

Di sisi lain, kalangan Demokrat juga menuding partainya gagal menawarkan alternatif yang lebih baik dalam kebijakan luar negeri.

"Seruan Trump untuk pembersihan etnis mengerikan, tetapi Demokrat juga menyia-nyiakan peluang untuk menunjukkan posisi yang lebih tegas dalam membela hak asasi manusia Palestina," kata juru bicara Layla Elabed.

Sementara itu, kunjungan Netanyahu ke Washington dianggap sebagai bagian dari pergeseran politik yang lebih luas di Amerika Serikat. Beberapa pengamat menyoroti kedekatannya dengan kelompok nasionalis sayap kanan, termasuk pertemuannya dengan Elon Musk. 

"Kebijakan Israel bukan hanya ancaman bagi Palestina, tetapi juga bagi demokrasi global," kata Beth Miller, direktur politik Jewish Voice for Peace.

Demonstrasi besar pun terjadi di Washington menentang kunjungan Netanyahu dan kebijakan Trump. Sekitar seribu orang turun ke jalan, meskipun Trump mengancam akan menindak demonstrasi pro-Palestina. 

"Trump berbicara tentang Gaza seperti proyek real estat. Ia secara terbuka membahas rencana pemindahan paksa penduduk dan membuat Gaza tidak layak huni," kata Anyssa Dhaouadi dari Gerakan Pemuda Palestina.

Pernyataan Trump ini menandai babak baru yang mengkhawatirkan dalam konflik Israel-Palestina. 

"Dampaknya akan berkepanjangan. Palestina tetap menjadi luka di hati dunia Arab, dan tindakan ini hanya akan memperburuk situasi," kata Zogby. "Jika Biden memungkinkan genosida, maka Trump akan menjadi arsiteknya." [Sindonews]