DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh merilis data terbaru terkait perkembangan inflasi di Tanah Rencong.
Pada Agustus 2025, Aceh mencatat inflasi year-on-year (y-on-y) sebesar 3,70 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 110,81.
Ketua Tim Humas Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Dina Nirmala Sari menyebutkan bahwa dari lima kabupaten/kota yang menjadi cakupan perhitungan IHK, seluruhnya mengalami inflasi.
"Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Aceh Tengah yang mencapai 5,20 persen dengan IHK 113,81, sedangkan inflasi terendah terjadi di Kota Banda Aceh sebesar 2,34 persen dengan IHK 109,30,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Rabu (3/9/2025).
Dina menjelaskan, selain Aceh Tengah dan Banda Aceh, sejumlah daerah lain juga mengalami inflasi cukup signifikan. Kabupaten Aceh Barat (Meulaboh) mencatat inflasi 4,52 persen, Kota Lhokseumawe sebesar 4,32 persen, dan Kabupaten Aceh Tamiang sebesar 3,98 persen.
“Jika kita lihat perbandingan ini, daerah penghasil kopi seperti Aceh Tengah menanggung tekanan harga lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan seperti Banda Aceh. Hal ini menunjukkan perbedaan pola konsumsi dan dinamika pasar antarwilayah,” jelasnya.
BPS Aceh mencatat bahwa inflasi y-on-y Agustus 2025 dipicu oleh kenaikan harga di sejumlah kelompok pengeluaran. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan inflasi 8,05 persen. Diikuti oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya yang melonjak 9,38 persen.
“Kelompok pakaian dan alas kaki naik 2,86 persen, kesehatan 2,37 persen, transportasi 0,38 persen, rekreasi, olahraga dan budaya 2,04 persen, serta penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 1,40 persen,” papar Dina.
Namun demikian, ada beberapa kelompok pengeluaran yang justru mengalami deflasi. Antara lain kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga turun 1,03 persen, kelompok perlengkapan rumah tangga turun 0,21 persen, kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan turun 0,30 persen, serta kelompok pendidikan turun 0,38 persen.
“Dengan kata lain, tekanan inflasi di Aceh lebih banyak bersumber dari kebutuhan pangan dan jasa yang terkait langsung dengan gaya hidup masyarakat,” tambahnya.
Selain inflasi tahunan, BPS juga mencatat inflasi month-to-month (m-to-m) Aceh pada Agustus 2025 sebesar 0,78 persen, sedangkan inflasi year-to-date (y-to-d) atau sejak Januari hingga Agustus 2025 mencapai 3,36 persen.
Dina menilai angka ini masih dalam kendali, meski tetap menjadi perhatian. “Tren inflasi Aceh sejalan dengan pola nasional, namun Aceh tetap masuk dalam sepuluh besar provinsi dengan inflasi tertinggi pada bulan ini. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah untuk menjaga ketersediaan pasokan dan stabilitas harga,” tegasnya.
Menurut Dina, pengendalian inflasi membutuhkan kerja sama lintas sektor. “Ketersediaan bahan pokok, terutama pangan, harus dijaga melalui koordinasi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Apalagi menjelang akhir tahun, biasanya ada tekanan harga yang lebih tinggi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa BPS akan terus memantau pergerakan harga di lapangan untuk memberikan data yang akurat bagi pengambilan kebijakan.
“Inflasi bukan hanya soal angka, tapi juga mencerminkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengendaliannya menjadi sangat strategis,” tutupnya. [nh]