BMKG Jelaskan Penyebab Kekeringan September-Oktober 2024
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Nasional - Periode kekeringan 2023 di Indonesia diprakirakan mencapai puncaknya pada September hingga Oktober. Itu terkait dengan efek fenomena El Nino dan siklus Matahari.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko menuturkan puncak periode kering itu terkait dengan dampak El Nino, anomali suhu di Samudera Pasifik yang memicu penurunan curah hujan.
"Jika puncak yang dimaksud adalah periode kering sebagai dampak El Nino di Indonesia, maka akan dirasakan pada bulan bulan September - Oktober," ujar dia, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/5).
"Karena periode tersebut merupakan puncaknya musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia," lanjut dia.
Menurut prediksi pihaknya, fase El Nino punya peluang 80 persen untuk berkembang pada Juni ini. Meskipun, intensitasnya masih lemah hingga moderat.
Puncak El Nino, yang berarti puncak anomali suhu di Samudera Pasifik, akan terjadi pada November - Desember.
"Dampak fenomena El Nino umumnya akan mengakibatkan curah hujan yang turun lebih rendah dibanding dengan rata-ratanya, terutama pada periode JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September-Oktober-Nopember)," tutur Urip.
Kedua, lanjut dia, efek posisi Matahari yang akan berada di sekitar ekuator atau khatulistiwa jelang akhir tahun. Hal itu bersamaan dengan prediksi dampak El Nino pada curah hujan.
"Pada saat yang bersamaan, bulan September-Oktober juga Matahari secara siklusnya akan kembali berada di sekitar ekuator, pada periode tersebut radiasi matahari yang diterima oleh Indonesia akan maksimum," ujar Urip.
"Maka tidak heran nanti pada bulan Oktober kita akan mendapatkan laporan suhu udara panas," jelasnya.
Dikutip dari akun Instagram Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), siklus Matahari saat melintasi ekuator disebut sebagai ekuinoks (equinox).
Lawannya adalah solstis (solstice), yakni fenomena ketika Matahari melintasi garis balik utara maupun selatan.
Kedua fenomena itu disebabkan oleh Bumi yang berotasi secara miring terhadap ekliptika sekaligus mengorbit Matahari. Dampaknya di antaranya adalah pergantian musim di negara-negara subtropis dan lintang tinggi.
Untuk tahun ini, BRIN menyebut Solstis terjadi pada 21 Juni pukul 21.57 WIB, dan ekuinoks pada 23 September pukul 08.03 WIB.
Saat ekuinoks, kata peneliti di Pusat Riset dan Antariksa BRIN Andi Pangerang, "intensitas radiasi Matahari yang diterima di ekuator Bumi bernilai maksimum."
Efek lainnya adalah kemunculan aurora yang paling berwarna sepanjang tahun di wilayah kutub.
Jawa amat kering
Urip mengungkap daerah yang diprediksi mengalami periode puncak musim kemarau akan mengalami curah hujan yang rendah.
"Untuk bulan Juli, Agustus dan September (JAS) 2023 yang diprediksi sebagai periode puncak musim kemarau, curah hujan bawah normal diprediksi akan terjadi pada wilayah yang lebih luas," kata dia.
Daerah-daerah itu meliputi sebagian besar Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali, NTB, sebagian NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.
"Bahkan beberapa daerah akan mengalami curah hujan yang sangat rendah yaitu kurang dari 20 mm/bulan meliputi Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT," sambungnya.
Selain itu, BMKG juga mengungkap daerah yang bulan ini diprediksi mengalami sedikit hujan alias di bawah normal.
Yakni, sebagian Aceh, sebagian Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan;
Sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, Sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, dan sebagian Papua.
Sebelumnya, peneliti klimatologi di BRIN Erma Yulihastin memprediksi Jawa mengalami puncak kekeringan pada Juli setelah El Nino meluas di bagian selatan RI pada Juni. [cnnindonesia]