Senin, 22 September 2025
Beranda / Ekonomi / BPD Sumbar Andalkan UMKM, Bank Aceh Andalkan di Surat Berharga

BPD Sumbar Andalkan UMKM, Bank Aceh Andalkan di Surat Berharga

Senin, 22 September 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Tabel indikator kinerja Bank Aceh Syariah dan Bank Nagari Sumbar Tahun 2024. [Foto: Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perdebatan publik soal arah kebijakan PT Bank Aceh Syariah (BAS) kembali mengemuka. Setelah sempat viral terkait Investasi Triliunan Dana ke Luar Aceh, kini analisis terbaru memperlihatkan betapa berbeda jalan yang ditempuh Bank Aceh dibanding Bank Pembangunan Daerah (BPD) lain, khususnya Bank Nagari di Sumatera Barat.

Kajian terbaru Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) yang dirilis pada 10 September 2025 menyoroti kinerja keuangan Bank Aceh Syariah dibandingkan Bank Nagari. Menurut Direktur IDeAS, Munzami HS, dua BPD tersebut dipilih karena total asetnya hampir setara, sehingga perbandingan bisa lebih objektif.

“Kalau kita lihat, Bank Nagari memilih fokus pada pembiayaan UMKM, sementara Bank Aceh masih nyaman bermain di surat berharga. Padahal, sebagai bank daerah, mandat utamanya adalah menggerakkan ekonomi lokal,” ujar Munzami kepada dialeksis.com, Senin (22/9/2025).

Berdasarkan laporan tahunan 2024, total aset Bank Aceh Syariah mencapai Rp 31,94 triliun, hampir seimbang dengan Bank Nagari Rp 32,95 triliun. Begitu juga Dana Pihak Ketiga (DPK), BAS Rp 26,21 triliun dan Bank Nagari Rp 26,68 triliun.

Namun, perbedaan mencolok terlihat dalam beberapa indikator kunci Investasi Surat Berharga: BAS Rp 7 triliun, Bank Nagari Rp 4 triliun. Pembiayaan Nasabah: BAS Rp 20,40 triliun, Bank Nagari Rp 25,04 triliun.

Dalam Pembiayaan UMKM: BAS Rp 2,47 triliun (12%), Bank Nagari Rp 6,49 triliun (26%). Laba Bersih: BAS Rp 443 miliar, Bank Nagari Rp 538 miliar.

“Artinya, Bank Nagari yang lebih agresif mendanai UMKM justru mampu meraih laba bersih lebih besar. Jadi bukan alasan bahwa fokus pada UMKM akan menurunkan profitabilitas,” jelas Munzami.

IDeAS juga menyinggung aspek regulasi yang melekat pada Bank Aceh. Pasal 14 Qanun LKS No.11 Tahun 2018 dengan tegas mewajibkan pembiayaan UMKM minimal 40 persen. Bahkan, Peraturan BI No.14/22/PBI/2012 mewajibkan minimal 20 persen.

“Yang jadi masalah, sampai hari ini Bank Aceh tidak pernah menjelaskan ke publik mengapa kewajiban ini tidak dipenuhi. Mereka hanya sibuk membela diri soal investasi Rp 7 triliun di surat berharga,” kata Munzami.

Pada 18 September lalu, manajemen BAS menyampaikan klarifikasi bahwa investasi di surat berharga adalah bagian dari strategi menjaga likuiditas serta stabilitas fiskal dan moneter pemerintah.

"Stabilitas fiskal itu domain Kementerian Keuangan, moneter itu domain Bank Indonesia. Tugas Bank Aceh itu membiayai sektor riil, bukan mengklaim ranah kementerian dan bank sentral. Jadi jangan keluarkan statement yang seakan-akan masyarakat Aceh tidak paham. Itu namanya pembodohan publik,” tegas Munzami.

IDeAS meminta DPR Aceh agar memanggil manajemen BAS untuk memberikan penjelasan terbuka kepada masyarakat, khususnya soal aliran dana ke surat berharga di luar Aceh dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan pembiayaan UMKM.

“Kita juga mengingatkan para pemegang saham, Gubernur Aceh dan seluruh bupati/walikota. Jangan hanya sibuk hadir di RUPS untuk bagi dividen, tapi abai terhadap evaluasi kinerja. Bank Aceh ini dibentuk sebagai lokomotif ekonomi rakyat, bukan sekadar mesin pencetak keuntungan instan,” ungkap Munzami.

Munzami juga mengingatkan bahwa arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto justru sejalan dengan fokus penguatan UMKM dan sektor produktif. OJK RI bahkan baru saja menerbitkan POJK No.19/2025 tentang kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM.

“Kalau pusat saja mendorong UMKM, masa Bank Aceh malah sibuk main aman di surat berharga. Itu sama saja mengkhianati kepercayaan masyarakat,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid