DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Utama PT Pembangunan Aceh (PEMA), Mawardi Nur, membuka Aceh Economic Development Forum (AEDF) 2025 dengan penegasan bahwa Aceh membutuhkan ruang dialog yang tidak berhenti pada tataran wacana.
Forum bertema “Aceh’s Blueprint for Prosperity: Business Corridors and Strategic Synergies for Sustainable Economic Growth” itu digelar di The Pade Hotel, Kamis (27/11/2025), dan disebut Mawardi sebagai titik simpul untuk merumuskan langkah konkret pembangunan ekonomi Aceh yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Dalam sambutannya yang dihadiri Dialeksis.com secara langsung, Mawardi tidak sekadar menyodorkan optimisme. Ia menyampaikan bahwa AEDF harus menjadi mesin produksi gagasan bukan forum seremonial yang selesai bersama tepuk tangan.
“Forum ini menjadi ruang untuk menyusun langkah konkret yang akan menjadi gagasan dan rekomendasi bagi PEMA ke depan,” kata Mawardi. “Diskusi di sini bukan sebatas wacana. Ini aksi menuju peningkatan daya saing dan pembaruan ekonomi Aceh.”
Mawardi menyinggung roadmap pembangunan ekosistem berkelanjutan yang telah disusun PEMA. Dokumen itu menjadi pijakan untuk memperkuat proyek prioritas dan menggarap sektor potensial yang bertaut dengan visi dan misi Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Mualem. Prinsip keberlanjutan, ketangguhan, dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi fondasi dari setiap rencana tersebut.
PEMA, menurut Mawardi, tak hendak berpuas diri pada sektor tradisional yang selama ini berjalan pada pola lama. Ia menyebut komoditas Nilam Aceh sebagai contoh. Produk minyak atsiri itu telah menembus pasar Eropa, namun nilai tambahnya masih bisa diperluas.
“PEMA melalui Pusda hadir untuk mengembangkan bisnis Nilam Aceh yang kini sudah existing di pasar Eropa. Tetapi roadmap kami tidak berhenti di satu sektor,” ujarnya. “Kita memetakan berbagai peluang bisnis yang dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Aceh.”
Ia menekankan bahwa arah kebijakan PEMA tidak bertumpu pada capaian angka belaka, melainkan dampak yang dapat dirasakan masyarakat, terutama dalam menekan kemiskinan dan pengangguran.
“Pendekatan kami adaptif dan komprehensif. Tidak mengejar angka, tetapi memastikan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan akhirnya,” kata Mawardi.
Di bagian lain sambutannya, Mawardi mengungkap langkah strategis PEMA yang tengah menyiapkan Pusat Distribusi Pangan Aceh. Ia menilai rantai pasok pangan Aceh masih rapuh karena hasil produksi pertanian belum dikelola dengan sentuhan teknologi tinggi. Situasi ini membuat banyak komoditas lokal kehilangan nilai tambah dan daya saing.
“Selama ini, hasil pertanian belum dikelola dengan basis pengetahuan dan teknologi yang memadai,” ujar Mawardi. “Pusat distribusi pangan akan membantu memperbaiki rantai pasok dan meningkatkan nilai produk, sehingga pendapatan petani dapat terus bergerak naik.”
Gagasan ini, menurut Mawardi, menjadi bagian dari upaya memperkuat fondasi ekonomi Aceh yang terlalu lama bergantung pada siklus musiman dan ekonomi berbasis bahan mentah. Melalui pusat distribusi tersebut, PEMA ingin memastikan bahwa komoditas lokal bisa melintasi batas pasar yang lebih besar.
Di akhir sambutannya, Mawardi menegaskan pentingnya dukungan dari seluruh pemangku kebijakan. Tanpa sinergi, setiap rencana hanya akan berakhir sebagai dokumen tanpa daya dorong.
“Kami tidak bisa berjalan sendiri,” kata Mawardi. “PEMA membutuhkan dukungan semua pihak agar strategi pembangunan ekonomi Aceh dapat dijalankan secara efektif.”
Dengan pernyataan itu, Mawardi menutup pembukaan AEDF 2025 sebuah forum yang, jika konsisten dikelola, tidak hanya menjadi panggung diskusi, tetapi juga laboratorium gagasan bagi masa depan ekonomi Aceh. [arn]