Selasa, 21 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Ketua Pertuni Aceh: Usaha Refleksi Komersial Geser Ruang Ekonomi Penyandang Disabilitas Netra

Ketua Pertuni Aceh: Usaha Refleksi Komersial Geser Ruang Ekonomi Penyandang Disabilitas Netra

Senin, 20 Oktober 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Aceh, Ery Wati. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Aceh, Ery Wati, menilai fenomena menjamurnya tempat refleksi telah mengancam ruang ekonomi bagi penyandang disabilitas netra

Ia mendesak Pemerintah Aceh untuk segera melakukan penertiban dan memastikan hak ekonomi penyandang disabilitas tetap terlindungi.

“Saya berharap Pemerintah Aceh dapat menertibkan usaha-usaha refleksi yang kini menjamur di berbagai sudut kota. Dulu, lahan ini merupakan tempat bagi penyandang disabilitas netra mencari rezeki melalui panti pijat, namun kini justru tergeser oleh usaha-usaha refleksi milik para cukong,” ujar Ery Wati kepada media dialeksis.com di Banda Aceh, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, kondisi ini merupakan ironi di tengah semangat pembangunan inklusif yang kerap digaungkan pemerintah. Sementara di satu sisi pemerintah berbicara tentang kesetaraan dan perlindungan terhadap kelompok rentan, di sisi lain justru membiarkan praktik ekonomi yang menggerus sumber penghidupan kelompok disabilitas netra.

Ery Wati menjelaskan bahwa banyak penyandang disabilitas netra kini kehilangan mata pencaharian karena tidak mampu bersaing dengan usaha refleksi komersial yang dikelola pihak bermodal besar. 

Usaha refleksi yang tumbuh cepat, katanya, kerap menggunakan strategi promosi modern dan fasilitas mewah yang tidak bisa dijangkau oleh pelaku usaha pijat tradisional dari kalangan disabilitas netra.

“Para penyandang disabilitas netra sudah memiliki keterampilan pijat yang diakui dan telah menjadi bagian dari identitas ekonomi mereka. Maka sangat penting bagi pemerintah untuk melindungi ruang ekonomi ini, bukan justru membiarkan mereka tergeser,” tegasnya.

Lebih jauh, Ketua Pertuni Aceh itu juga menyoroti belum optimalnya sosialisasi Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. 

Menurutnya, regulasi tersebut merupakan tonggak penting yang seharusnya menjadi pedoman bagi setiap instansi dalam melaksanakan kebijakan yang ramah disabilitas.

Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, belum merasakan dampak nyata dari regulasi tersebut.

“Qanun ini tidak boleh hanya menjadi dokumen di atas kertas. Pemerintah Aceh harus segera mensosialisasikannya hingga ke kabupaten/kota agar pelaksanaannya benar-benar memberikan manfaat nyata bagi para penyandang disabilitas,” kata Ery Wati.

Ia mengingatkan bahwa tanpa sosialisasi dan implementasi yang jelas, berbagai hak dasar penyandang disabilitas seperti akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan publik yang inklusif akan terus terabaikan. Pemerintah, kata Ery, tidak bisa berhenti pada seremoni atau perayaan simbolik semata.

“Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan disabilitas jangan berhenti pada seremoni. Harus menjadi ajang refleksi bagi seluruh pemangku kebijakan untuk meninjau sejauh mana komitmen mereka terhadap inklusi sosial di Aceh,” ujarnya.

Ery Wati juga menekankan pentingnya memperluas kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas di Aceh. 

Ia menilai bahwa pembangunan ekonomi inklusif bukan sekadar memberi bantuan sosial, melainkan menciptakan ruang kompetisi yang adil dan akses yang setara bagi setiap warga, termasuk disabilitas.

Pertuni Aceh, lanjutnya, siap bekerja sama dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan lembaga sosial untuk memperkuat pelatihan keterampilan pijat bagi disabilitas netra serta membantu pengembangan usaha mandiri mereka.

“Salah satu fokus utama kami adalah memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Mereka tidak ingin dikasihani, mereka hanya ingin diberikan kesempatan yang sama,” tegasnya.

Menurutnya, perlindungan terhadap pelaku pijat tradisional dari kalangan disabilitas bukan semata soal ekonomi, tetapi juga soal martabat dan keberlanjutan hidup yang layak.

Pertuni Aceh berharap Pemerintah Aceh segera menindaklanjuti persoalan ini dengan langkah konkret baik melalui penertiban usaha refleksi ilegal, pemberdayaan ekonomi disabilitas, maupun pelaksanaan Qanun Disabilitas yang menyeluruh dan berkeadilan.

Karena, seperti ditegaskan Ery Wati, inklusi bukanlah sekadar jargon kebijakan. Ia adalah cerminan sejauh mana pemerintah menghargai setiap warga, tanpa terkecuali.

“Ketika ruang ekonomi penyandang disabilitas dijaga, maka Aceh bukan hanya adil tetapi juga manusiawi,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI