Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Membangun Ketahanan Pangan Lewat Inovasi Smart Farming di Aceh

Membangun Ketahanan Pangan Lewat Inovasi Smart Farming di Aceh

Jum`at, 24 Oktober 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Program studi D3 Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian USK mengadakan Seminar dan Pelatihan Kewirausahaan bertema “Smart Farming dan Agripreneur 5.0: Inovasi Teknologi untuk Ketahanan Pangan” digelar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, Jumat (24/10/2025). Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Program studi D3 Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian USK mengadakan Seminar dan Pelatihan Kewirausahaan bertema “Smart Farming dan Agripreneur 5.0: Inovasi Teknologi untuk Ketahanan Pangan” digelar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, Jumat (24/10/2025).

Kegiatan tersebut menghadirkan Brian Guntur, SE., M.Si, Founder C-Farm, yang menegaskan pentingnya integrasi antara sektor pertanian dan teknologi sebagai fondasi utama pembangunan ekonomi nasional.

“Ekonomi sebuah bangsa berdiri di atas dua pilar utama, yakni pertanian dan teknologi. Keduanya harus bersinergi agar lahir kemandirian pangan dan kedaulatan ekonomi,” ujar Brian Guntur dalam paparannya yang diikuti oleh media dialeksis.com. 

Brian menjelaskan, konsep smart farming atau pertanian cerdas merupakan inovasi yang menggabungkan teknologi digital seperti sensor, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan analisis data untuk meningkatkan efisiensi serta produktivitas lahan pertanian secara berkelanjutan.

Melalui penerapan sistem tersebut, petani dapat memantau kondisi tanah, suhu, kelembapan, serta kebutuhan pupuk dan air secara real-time. Data yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat, akurat, dan efisien.

“Smart farming bukan semata-mata penggunaan alat digital, melainkan cara berpikir baru dalam pengelolaan sumber daya pertanian. Ini merupakan upaya memadukan sains, data, dan kearifan lokal dalam satu sistem kerja yang produktif,” tuturnya.

C-Farm, perusahaan rintisan yang dipimpin oleh Brian, saat ini mengembangkan aplikasi pertanian pintar berbasis data cuaca dan kondisi tanah lokal. Aplikasi tersebut membantu petani menentukan pola tanam ideal di berbagai wilayah Indonesia untuk mendukung peningkatan produktivitas pangan nasional.

Dalam kesempatan tersebut, Brian juga menekankan pentingnya peran generasi muda dalam memperkuat konsep Agripreneur 5.0, yaitu generasi petani modern yang tidak hanya memahami teknik bertani, tetapi juga memiliki kemampuan berwirausaha, memanfaatkan teknologi, dan menciptakan nilai tambah ekonomi.

“Mahasiswa pertanian tidak boleh berhenti pada tataran teori. Harus ada keberanian menjadi agripreneur, yakni pelaku usaha di sektor pertanian yang mampu mengolah hasil bumi menjadi produk bernilai ekonomi. Dari sawah bisa lahir startup, dari lahan bisa lahir inovasi,” ujarnya.

Menurut Brian, transformasi paradigma tersebut sangat penting agar sektor pertanian tidak tertinggal di tengah arus digitalisasi dan perubahan iklim global yang semakin dinamis.

Dalam sesi paparan, Brian Guntur memaparkan sejumlah manfaat penerapan smart farming yang dapat dirasakan langsung oleh petani dan pemerintah, antara lain efisiensi produksi, dengan penghematan biaya operasional hingga 30 persen karena penggunaan pupuk, air, dan pestisida yang lebih terukur.

Peningkatan produktivitas melalui pemantauan kondisi lahan dan tanaman secara digital. Ketahanan pangan nasional yang lebih kuat karena tersedianya data pertanian berbasis wilayah. Daya tarik bagi generasi muda, sebab pertanian modern berbasis teknologi dinilai lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

“Dengan pertanian cerdas, kita tidak hanya menanam padi, tetapi juga menanam data, menanam peluang, dan menanam masa depan,” kata Brian.

Meski menjanjikan, Brian tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam penerapan smart farming di Indonesia, khususnya di Aceh. Beberapa di antaranya ialah rendahnya literasi digital di kalangan petani, keterbatasan infrastruktur internet di wilayah pedesaan, serta minimnya akses pendanaan bagi pelaku usaha rintisan di bidang pertanian.

“Sebagian besar petani masih belum terbiasa dengan penggunaan teknologi. Di sinilah peran perguruan tinggi seperti USK sangat strategis, yaitu menjadi jembatan antara inovasi dan masyarakat,” ujarnya.

Ia mendorong agar mahasiswa pertanian berperan aktif dalam membangun jejaring kerja sama dengan sektor swasta, pemerintah daerah, dan lembaga riset untuk memperkuat ekosistem pertanian digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Brian mengajak mahasiswa menjadikan sektor pertanian sebagai ruang ekspresi, kreativitas, dan kewirausahaan.

“Ketika banyak orang berlomba menjadi karyawan, jadilah pencipta lapangan kerja di bidang pertanian. Kita membutuhkan lebih banyak agripreneur muda Aceh untuk menjaga ketahanan pangan dan memperkuat kedaulatan ekonomi daerah,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI