Nasib Lahan Gambut Aceh dan Solusinya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Agussabti. [Foto: Tangkapan layar YouTube Podcast Jalan Ary Official]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki lahan gambut yang luas. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 22,5 juta hektare. Persebaran lahan gambut di Indonesia berkisar di pulau Sumatera, Kalimantan, Papua serta sebagian kecil di Sulawesi.
Beberapa lahan hektare gambut di Aceh terbakar dan ini terus menjadi permasalahan. Penyebab utama maraknya konflik ini berkaitan dengan formulasi kebijakan mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) terutama perkebunan kelapa sawit. Hutan gambut Rawa Tripa sebagian besar lahannya merupakan Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan kawasan strategis nasional, tapi pada saat ini telah dirambah untuk pembukaan perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahaan besar. Sebelum diterapkan kebijakan Otonomi Daerah, para aktor birokrat pusat (lokal) dan partai politik berkolaborasi dengan pemilik modal dalam mengeksploitasi sumber daya perkebunan kelapa sawit.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Agussabti mengatakan, ada banyak masyarakat yang masih tinggal di daerah gambut karena di sana mata pencaharian mereka, seperti mengumpulkan lele kecil dan dikeringkan dan berburu rotan untuk dijual kembali.
Prof. Agussabti juga menyampaikan, ekosistem di lahan gambut itu ada berbagai ragam hayati, seperti sumber air, lele atau ikan lainnya, rotan, kayu, atau mereka bisa menanam pohon tahunan, yakni durian, nangka, atau lainnya. Ekosistem tersebutlah yang memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sebelum ada rujukan masyarakat menanam pohon sawit, masyarakat di sana saling memberi dan tidak merusak tata hayati gambut.
Setelah perusahaan-perusahaan sawit mulai mendapatkan izin yang di dalamnya juga masuk wilayah gambut. Muncullah keresahan bagi masyarakat, mereka tidak mungkin membiarkan lahan-lahan di sekitar mereka itu dimanfaatkan dan digunakan oleh orang lain, sementara mereka hanya melihat saja. Akhirnya, mereka ikut serta merambah lahan-lahan gambut juga, sehingga eksploitasi lahan gambut akhirnya sulit dihentikan.
Sebenarnya, lahan gambut ini bertujuan untuk menampung air. Dulu ketika curah hujan tinggi, air hujan terserap di gambut, artinya tidak begitu terasa kering karena masih ada penguapan. Tapi sekarang, air hujan tidak lagi diserap oleh gambut disebabkan tanahnya sudah kering. Sekarang eksploitasinya sudah luar biasa sehingga begitu dia sudah diganggu maka ia akan sulit untuk dikembalikan ke semula.
"Masyarakat sangat menderita sekarang karena mudah banjir atau gagal panen, begitu musim kemarau, langsung kekeringan," ucapnya dalam podcast Jalan Ary Official yang dikutip Dialeksis.com, Senin (25/9/2024).
Lanjutnya, strategi pemberdayaan sekarang adalah bagaimana menanam kembali pohon-pohon yang ramah lingkungan dan adaptis terhadap gambut. Sebenarnya, pohon-pohon kayu itu bisa ditanam kembali, tapi kita bekerja sama dengan masyarakat. Di satu sisi, masyarakat juga bisa menerima manfaat dari macam hayati yang ada di lahan gambut.
Sering disebutkan kalau masyarakat seolah-olah yang merusak gambut. Padahal, kalau dilihat dari segi yang luas, masyarakat tidak lebih dari 5 hektare/KK yang mampu dikelolanya. Tetapi, yang ribuan hektar itu sudah pasti aktor pasar yang masuk ke lahan gambut. Kemudian, yang punya modal untuk mengeringkan lahan gambut sudah pasti bukan masyarakat biasa karena itu butuh modal yang besar. Dan 30 tahun ke depan baru lahan gambut itu adaptif dengan lahan sawit nantinya.
Sekarang adalah bagaimana aktor pasar bisa berkolaborasi dengan masyarakat dan ada aturan negara yang mengikat dan mengatur mereka. Karena kalau sudah dilepas sudah pasti aktor pasar lebih kuat daripada aktor masyarakat. Masyarakat akan jadi subordinat dari aktor pasar.
Kemudian, jika berbicara tentang konsep berkelanjutan sebenarnya ada tiga aspek penting, yakni ekonomi, artinya kita tidak hanya menyuruh mereka untuk menjaga gambut, namun kita dapat memperhatikan ekonomi masyarakat yang tinggal di lahan gambut tersebut.
Kedua, interaksi sosial, yakni masyarakat tumbuh dan diberdayakan seperti ada koperasi dan UMKM. Ketiga, lingkungan tetap terjaga, maka ketika tiga bidang yang dimaksud dapat menyatu akan menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang akan datang. Jika kita sebagai aktor maka harus kita pikirkan bagaimana membantu orang sehingga membantu dirinya sendiri. Kepentingan masyarakat itu harus ditempatkan di kepentingan yang paling utama, jadi jangan ke depannya kepentingan kita sendiri.
"Antara aktor negara, aktor pasar, dan aktor masyarakat harus ada hubungan yang baik agar lingkungan terjaga," pungkasnya. [AU]