Senin, 29 September 2025
Beranda / Ekonomi / Pasar Tak Stabil, Penampung Alpukat Gayo Kritik Minimnya Perhatian Pemerintah Aceh

Pasar Tak Stabil, Penampung Alpukat Gayo Kritik Minimnya Perhatian Pemerintah Aceh

Minggu, 28 September 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Gisran, seorang penampung alpukat di Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Bener Meriah - Di tengah melimpahnya produksi alpukat di Dataran Tinggi Gayo, para petani dan penampung justru dihadapkan pada ketidakstabilan harga yang kian meresahkan. 

Gisran, seorang penampung alpukat di Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, menuturkan bahwa kondisi ini sudah berlangsung lama tanpa ada solusi nyata dari pemerintah.

“Kalau bukaannya (harga) sebenarnya nggak stabil. Kenapa nggak stabil? Karena pemerintah nggak mendukung aktivitas pertanian,” kata Gisran ketika ditemui media dialeksis.com di gudang penampungan alpukat miliknya, Sabtu (27/9/2025).

Menurutnya, program-program pemerintah yang ada selama ini tidak menyentuh kebutuhan langsung masyarakat. “Cuma membuat sekelompok, itu sekelompoknya sama dengan sekelompok, tapi nggak menyambung dengan masyarakat. Pertanian itu bukan cuma cerita kelompok. Masyarakat butuh pembinaan langsung,” tegasnya.

Ia menilai, kebijakan yang bersifat parsial justru lebih banyak menguntungkan pihak tertentu yang disebutnya mirip dengan praktik mafia. 

“Kalau pemerintah benar-benar menjalankan program, harusnya bisa membangkitkan ekonomi rakyat. Tapi sekarang malah hanya menguntungkan pihak tertentu,” ujarnya.

Ia memberikan solusi terhadap persoalan klasik ini agar emerintah daerah bersama dinas terkait perlu menetapkan harga dasar alpukat di tingkat petani, sebagaimana yang diterapkan untuk komoditas lain seperti beras atau kopi. Kebijakan ini bisa menjaga petani dari kerugian ketika harga di pasar anjlok drastis.

Selain itu, kata Gisran, Pemerintah Aceh bersama eksportir perlu membuka akses pasar baru ke luar negeri, misalnya ke Singapura, Malaysia, atau Timur Tengah, yang permintaan alpukatnya tinggi.

Dukungan berupa sertifikasi produk dan standar kualitas juga harus disiapkan agar alpukat Gayo bisa diterima di pasar internasional.

Harga alpukat yang dibeli langsung dari petani di Bener Meriah kini berada di kisaran Rp2.000 hingga Rp7.000 per kilogram, jauh dari harga normal yang menurut Gisran seharusnya bisa mencapai Rp20.000 di musim panen tertentu.

“Sekarang kalau beli di pasaran di sini Rp6.000, langsung dari petani. Tapi itu pun sering nggak menentu, ada yang Rp3.000, Rp6.000, bahkan Rp2.000 per kilo,” jelasnya.

Setelah sampai di penampung, alpukat harus disortir dan dipilah agar layak jual. “Petani biasanya asal barang. Kita harus sortir, buang yang pecah, baru bisa dipasarkan. Kalau sudah disortir, harga bisa sampai Rp20.000. Tapi tetap saja nggak stabil, apalagi sejak Covid sampai sekarang, harganya anjlok habis,” kata Gisran.

Ia menuturkan, pasar terjauh yang biasa ia suplai adalah Medan. Sementara sebagian kolega penampung lain menjual sampai ke Bali. 

"Kalau ke Bali bisa, tapi harganya nggak stabil. Dulu sebelum 2020, di bulan ini harga bisa Rp11.000 sampai Rp20.000 langsung dari petani. Sekarang jauh sekali turunnya,” keluhnya.

Bagi Gisran, akar persoalan ini terletak pada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak sepenuhnya kepada petani. 

“Kalau pusat ekonomi itu kan pemerintah. Tapi kebijakan yang dijalankan nggak sepenuh hati. Program-programnya jalan, tapi nggak unggul, karena hanya menguntungkan kelompok tertentu,” katanya.

Ia berharap pemerintah benar-benar turun tangan memberikan perhatian langsung, bukan sekadar menyalurkan program lewat kelompok atau organisasi tertentu. 

"Kalau memang kita ini pemimpin, buktikan langsung ke masyarakat. Jangan cuma omongan kosong. Masyarakat itu butuh perhatian, seperti seorang ayah kepada anaknya,” tutup Gisran.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid