Jum`at, 06 Juni 2025
Beranda / Ekonomi / Pengangguran Lulusan Universitas di Aceh Tinggi, ABA Sorot Kesenjangan Kampus dan Dunia Kerja

Pengangguran Lulusan Universitas di Aceh Tinggi, ABA Sorot Kesenjangan Kampus dan Dunia Kerja

Senin, 02 Juni 2025 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muntazir

Ketua Umum Aliansi Buruh Aceh (ABA), Syaiful Mar. Foto: Muntazir/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh Besar - Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan Pendidikan Tinggi di Aceh (Diploma IV, S1, S2, dan S3) mengalami kenaikan selama beberapa tahun terakhir.

Dalam laporan yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, per Februari 2025 ini, persentase pengangguran lulusan universitas di  Aceh kini berada di angka 7,05 persen.

Pada Februari 2023, TPT Pendidikan Tinggi tercatat sebesar 5,68 persen, kemudian naik 0,58 persen poin pada Februari 2024 menjadi 6,26 persen. Tren kenaikan ini berlanjut hingga Februari 2025 dimana terjadi peningkatan sebesar 0,79 persen poin.




Menanggapi tren kenaikan ini, Ketua Umum Aliansi Buruh Aceh (ABA), Syaiful Mar, menyebut salah satu faktor utamanya adalah belum selarasnya kurikulum pendidikan tinggi di Aceh dengan kebutuhan dunia kerja. Ia menyebutnya dengan istilah Link and Match. 

“Pengangguran tingkat sarjana dan diploma meningkat salah satunya karena belum optimalnya Link and Match antara perguruan tinggi dengan dunia kerja,” ujar Syaiful saat ditemui Dialeksis pada Sabtu (31/5/2025) di Gampong Cot Paya, Baitussalam, Aceh Besar.

Lemahnya keberpihakan perusahaan terhadap tenaga kerja lokal turut menjadi faktor penyebab lainnya. Banyak perusahaan di Aceh, ungkap Syaiful, cenderung menggaet tenaga kerja dari luar daerah alih-alih mengutamakan putra-putri Aceh.

“Saya sudah ke lapangan, sudah keliling Aceh setiap bulan November. Hasil monitoring dan evaluasi kami, banyak yang di support [rekrut] dari luar. Ini sebenarnya tidak boleh,” tegas Syaiful.

Hal ini, dinilainya tidak sesuai dengan Pasal 18 (1) dan pasal 20 (2) dalam Qanun Aceh No.7/2014 Tentang Ketenagakerjaan. “Merujuk ke situ, bahwa ketika ada penerimaan, rekrutmen pekerja itu harus mengutamakan putra-putri daerah,” ucapnya yang juga Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPW ASPEK) Aceh itu.

Persoalan ini, menurut Syaiful, harus dilihat secara menyeluruh. Kampus, lulusan, dan dunia kerja, kata dia, sama-sama berperan penting dalam situasi ini. Keterhubungan antara kurikulum pendidikan tinggi, kesiapan lulusan, dan kebutuhan dunia usaha, perlu dicermati secara lebih serius.

Menurutnya, perguruan tinggi saat ini banyak yang tidak menjalin hubungan baik dengan dunia industri. Kurangnya kerjasama atau program magang membuat lulusan sulit untuk menghadapi realita kerja yang sesungguhnya.

Sementara itu, dari sisi lulusan, Syaiful menyoroti sikap egosentris atau keengganan untuk bersikap adaptif dan fleksibel terhadap kondisi pasar kerja yang kini semakin dinamis.

Sedangkan, tutur Syaiful, banyak perusahaan yang justru takut menerima lulusan baru lantaran dianggap belum siap dan butuh banyak pelatihan. Alih-alih membina, perusahaan lebih suka mencari pekerja yang telah siap kerja.

“Perusahaan itu juga ada rasa takut menerima orang-orang yang belum siap kerja. Mereka lebih mau terima yang ada pengalaman,” jelas Syaiful.

Untuk mengatasi persoalan ini, Syaiful menekankan perlunya solusi menyeluruh yang melibatkan peran aktif perguruan tinggi, pemerintah, dan dunia industri.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar pemerintah dapat memfasilitasi kerjasama rutin antara kampus dan perusahaan, khususnya dalam bentuk program magang, pelatihan, dan kontrak kerja yang mengutamakan putra-putri daerah.

Hal ini, menurutnya, penting agar lulusan tidak hanya berteori, tetapi juga menguasai keterampilan praktis yang dibutuhkan industri.

“Misalkan, per tiga bulan, pemerintah memanggil semua PT ke suatu tempat. Di situ dia memberikan masukan, ‘Kalau Anda bekerja di sini, boleh. Dengan catatan, Anda harus memakai tenaga putra-putri Aceh’ misalnya begitu,” ungkapnya.

Disisi lain, ia juga mendorong pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap perusahaan agar benar-benar berpihak pada pekerja. Pengawasan yang lemah, terang Syaiful, justru memberi ruang bagi praktik ketidakadilan dalam dunia kerja.

Selain itu, Syaiful dengan tegas menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dinilainya merugikan pekerja dalam jangka panjang. Ia menyoroti maraknya pekerja yang sudah belasan tahun bekerja namun tetap berstatus kontrak.

“Yang kita tuntut kepada Presiden kemarin itu, di hari MayDay itu, adalah bahwa tidak ada lagi di Indonesia ini pekerja outsourcing, pekerja kontrak,” tegasnya.

Menurutnya, penghapusan sistem ini adalah langkah penting menuju kepastian kerja, kesejahteraan buruh, serta para pencari kerja.

“Kalau mendapatkan kerja layak, upah layak, hidup layak, maka akan terjadi kemakmuran di seluruh pelosok negeri,” pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI