Jum`at, 26 September 2025
Beranda / Ekonomi / Rumah Kreatif Difabel Aceh Tamiang dalam Sentuhan Pertamina

Rumah Kreatif Difabel Aceh Tamiang dalam Sentuhan Pertamina

Kamis, 25 September 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

Nasip (47), seorang penyandang tuna daksa asal desa Tenggulun, saat bekerja di bengkel binaan rumah kreatif Tamiang oleh Pertamina EP Rantau Field. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tuhan sudah menakdirkan fisiknya tidak sempurna seperti manusia lazimnya. Ada kekurangan pada diri mereka. Namun kekurangan itu bukanlah penghalang untuk berkarya dan berusaha.

Mereka sama dengan manusia lainya dalam menghidupi diri. Namun karena kemampuan mereka ada kelemahan tentunya membutuhkan pihak lain untuk membantunnya. Mereka butuh dukungan untuk bangkit.

Pertamina melihatnya. Di sebuah sudut Kampung Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, hadir sebuah terobosan yang pelan-pelan mengubah wajah ekonomi lokal melalui Rumah Kreatif Tamiang.

Sejak dirintis pada akhir 2019, rumah kreatif ini menjadi ruang tumbuh bagi para penyandang disabilitas, membuka jalan agar mereka mandiri secara ekonomi dan percaya diri hadir di ruang publik.

Program ini lahir dari komitmen Pertamina EP Rantau Field melalui Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Tidak hanya sekadar memberi bantuan, Pertamina membangun ekosistem pemberdayaan yang nyata: pelatihan, pendampingan, hingga membuka akses usaha.

Aceh Tamiang sendiri tercatat sebagai kabupaten dengan jumlah penyandang disabilitas tertinggi kedua di Aceh, sehingga kebutuhan akan program inklusif sangat mendesak. 

“Rumah Kreatif Difabel ini diharapkan menjadi pintu masuk bagi kaum difabel dalam memperluas akses ekonomi, pendidikan, dan sosial,” ujar Manager Community Involvement & Development Pertamina Hulu Rokan Regional 1, Iwan Ridwan Faizal, saat diwawancarai Dialeksis, Kamis (25/09/2025).

Menurutnya, rumah kreatif difabel menaungi beragam aktivitas yang dirancang sesuai kebutuhan dan potensi difabel. 

Ada Bengkel dan Doorsmeer Difabel yang membuka lapangan kerja teknis; Inklusi Coffee, kafe yang sekaligus menjadi ruang interaksi sosial; Rumah Limbah Difabel, yang mengolah limbah menjadi produk bernilai ekonomi; hingga Galeri Ajang Ambe, pusat pemasaran produk UMKM binaan.

Bukan hanya itu, pendekatan ini tidak berhenti pada penyediaan fasilitas, tetapi menyertakan pendampingan berkelanjutan. 

“Mereka ditakdirkan Tuhan ada perbedaan dengan lazimnya manusia, sudah sewajarnya kita mendampingi mereka,” sebut Iwan.

Pertamina membantu manajemen usaha, pemasaran, hingga akses permodalan. Tujuannya sederhana namun strategis: menciptakan ekosistem usaha yang mandiri dan berkelanjutan, bukan sekadar proyek sementara. 

Dari Kerja Serabutan ke Usaha Mandiri

Cerita Nasip (47), seorang penyandang tuna daksa asal desa Tenggulun, menjadi bukti nyata dampak program ini. Sebelum bergabung ke rumah kreatif, ia hanya bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Kadang kala apa yang didapatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. 

Kini, berkat keterampilan yang diasah melalui bengkel binaan Pertamina, Nasip membuka usaha perbengkelan sendiri di depan rumahnya.

“Awalnya saya belajar di bengkel pusat yang disediakan Pertamina. Lama-lama saya sudah lumayan tuntas di urusan perbengkelan, lalu membuka bengkel motor sendiri di depan rumah. Sekarang alhamdulillah sudah ada penghasilan tetap,” ujarnya saat diwawancarai Dialeksis, Kamis. 

Kondisi bengkel yang dibuka Nasip di depan rumahnya. Foto: for Dialeksis

Bagi Nasip, dukungan Pertamina berbeda dari program lain yang biasanya hanya memberi bantuan uang tunai. Di rumah kreatif, ia merasa dibekali keterampilan, pendampingan, dan kepercayaan diri.

“Kami tidak lagi bergantung pada orang lain. Bisa bekerja, bisa menghidupi keluarga sendiri,” kata ayah tiga anak perempuan itu. 

Bukan hanya individu seperti Nasip, keluarga difabel pun ikut merasakan manfaat. 

Kehadiran rumah kreatif mengubah stigma, difabel kini dipandang sebagai bagian produktif masyarakat. Rasa percaya diri meningkat, jejaring sosial meluas, dan peluang usaha kian terbuka. 

Apa yang dilakukan Pertamina Rantau mendapat perhatian pihak lain. Pengamat Ekonomi Aceh, Rustam Effendi, menilai program ini punya efek ganda. 

“Para kaum difabel berkesempatan membuka lapangan kerja baru, membantu mengurangi pengangguran, dan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Pada akhirnya, dampaknya ikut mendorong ekonomi daerah,” sebut Rustam saat dihubungi Dialeksis, Kamis. 

Rustam menekankan pentingnya pendampingan jangka panjang agar hasilnya tidak berhenti pada pelatihan. Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi antara Pertamina dan pemerintah daerah.

“Jika Pemda terlibat lewat dinas terkait, jangkauannya akan lebih luas dan tepat sasaran,” tambahnya. 

Senada dengan Rustam, Guru Besar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Mukhlis Yunus turut memberikan apresiasi kepada Pertamina. 

Ia menilai, program Rumah Kreatif Difabel di Aceh Tamiang merupakan bukti nyata bagaimana perusahaan negara yang beroperasi di daerah mampu menunjukkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kelompok difabel.

“Menurut hemat kami, program ini telah sejalan dengan kebijakan induk PT Pertamina dalam menjalankan TJSL. Namun demikian, kolaborasi idealnya diperluas dengan berbagai lembaga dan asosiasi produktif agar program CSR ini semakin kuat dampaknya,” ujarnya.

Prof Mukhlis menambahkan, Rumah Kreatif Tamiang sekaligus menegaskan komitmen Pertamina EP Rantau Field dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah operasinya.

“Harapan kita, program ini terus berjalan secara konsisten sesuai urgensi dan kebutuhan masyarakat,” tuturnya kepada Dialeksis, Kamis.

Sementara itu, pihak Pertamina Rantau sendiri terus mengevaluasi program ini. Jika terbukti efektif dan berkelanjutan, model pemberdayaan rumah kreatif memungkinkan untuk direplikasi di daerah lain di Aceh, dengan menyesuaikan pada potensi dan kebutuhan lokal.

Program ini menjadi bagian dari pilar Pertamina Berdikari, yang fokus pada peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat. Lebih jauh, inisiatif ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin pengentasan kemiskinan, pekerjaan layak, pengurangan kesenjangan, dan pembangunan inklusif.

Kehadiran Rumah Kreatif Difabel di Aceh Tamiang memberi pesan kuat: bahwa industri hulu migas tidak hanya menyumbang angka pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tetapi juga menyentuh kehidupan mereka yang kerap dipinggirkan.

Di tangan difabel Tamiang, berkat dukungan Pertamina menjelma menjadi usaha bengkel, kafe, pengolahan limbah, hingga galeri UMKM. Dari ruang sederhana di Tanjung Karang, tumbuh harapan baru: bahwa ekonomi Aceh bisa inklusif, berkeadilan, dan memberi ruang bagi semua.

Para difabel bukan hanya memiliki semangat dan percaya diri, namun mereka mampu menghidupi diri dan keluarga. Tidak lagi pesimis menatap hidup, namun mereka sudah mampu menapaki hidup, setelah pihak lain memberikan mereka pancing, bukan ikan.[NR]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid