Apakah Perang Dengan Senjata Mainan “Tradisi” Lebaran Anak Aceh?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Bagi anak lelaki di Aceh, lebaran identik dengan peperangan. Kedengaranya sangar, namun bagi anak usia sekolah dasar dan sebagian SLTP di Aceh, peperangan dengan senjata mainan bagaikan sudah menjadi tradisi lebaran.
Perang satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak terhindarkan. Bagi satu kelompok melihat kelompok anak lelaki lain yang menenteng senjata mainan, sudah dianggap sebagai lawan. Mereka tidak peduli dengan keramaian, dimanapun perang itu tercipta.
Bahkan ada diantara mereka yang menyewa mobil pick up (bak terbuka), atau beca untuk melangsungkan peperangan. Mobil bak terbuka atau beca yang membawa anak anak dengan senjata mainan akan dihujani peluru.
Kelompok lainya yang menunggu di pingir jalan, senantiasa melepaskan peluru ketika ada mobil bak terbuka dari kelompok anak anak yang membawa senjata. Bahkan tidak asing lagi peperangan antar mobil bak terbuka juga terjadi.
Ada yang korban, harus dilarikan ke RSU, ketika indra penglihatanya terlecut peluru mainan. Kalau bagian tubuh yang memar kena peluru plastik bulat ini sudah menjadi “resam” bagi remaja tanggung ini.
Namun lebaran 1442 H, aksi peperangan dengan senjata mainan yang sudah menjadi tradisi lebaran, intensitasnya menurun bila dibandingkan tahun lalu. Para pedagang senjata mainan mengakui omzet mereka tahun ini menurun.
"Biasanya kami setiap harinya mengantongi Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Namun lebaran tahun ini omzet kami menurun, hanya Rp 200 ribu hingga Rp 500," kata Subhan, seorang pedagang warga Sungai Paoh, Kecamatan Langsa Barat kepada Dialkesis.com di Langsa.
Pedagang ini menjual senjata mainan dengan harga bervariasi. Untuk senjata jenis pistol misalnya, ia menjualnya seharga Rp25 ribu perpucuk. Untuk jenis senjata berukuran sedang Rp40 ribu dan Rp50 ribu. Untuk ukuran besar antara Rp75 ribu hingga Rp100 ribu perpucuk senjata.
Para pedagang ini memberli senjata mainan dari Medan, Sumatera Utara. Biasanya dari penjualan senjata mainan ini, para pedagang mendapatkan keuntungan musiman. Namun tahun ini, penurunanya drastis.
Demikian dengan pedagang senjata mainan di Bireun. Menurut Khadafi, pedagang mainan di jalan Kampus Universitas Almuslim di Kota Matang Glp Dua, kepada Dialeksis.com, omset penjualan senjata mainan menurun dratis.
"Biasa kalau hari raya sebelumnya, lebaran kedua saya sudah dapat 12 Juta. Dalam satu hari laku Rp 6 juta. Namun lebaran kali ini dalam dua hari baru dapat Rp 4 juta,” sebut Khadafi yang memiliki beberapa lapak penjualan senjata mainan.
Pedagang ini tidak mengetahui pasti penyebab menurunnya daya beli anak-anak terhadap senjata mainan. Dia setiap tahun rutin menjual senjata mainan. Apa penurunanya karena pandemi Covid-19, atau memang masyarakat tidak ada uang, sebut Khadafi.
Namun omzet penjualan senjata mainan untuk wilayah Kuala Simpang masih membuat pedagang di sana menebarkan senyum. Salah satunya seperti diakui pedagang senjata di Upah Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang.
"Biasanya kami hanya mampu mendapatkan penjualan sebesar Rp200 ribu hingga Rp400 ribu per hari, tapi selama dua hari ini, omzet kami meningkat menjadi Rp1,2 juta hingga Rp 1,7 juta per hari," kata Wahyu, seorang pedagang warga Upah Kecamatan Bendahara kepada Dialeksis.com.
Hal senada juga diungkapkan Rasyid, pedagang senjata mainan di Kuala Simpang, dia mengaku gembira dengan pendapatan dari menjual senjata mainan Rp 600 sampai Rp 700 ribu dalam sehari.
Senjata mainan ini dibeli pedagang Kota Medan, Sumatera Utara secara patungan, kemudian dijual bersama sama dengan pedagang lainya. "Alhamdulillah, pendapatan dari menjual mainan ini benar-benar sangat membantu ekonomi keluarga," kata Wahyu yang sudah 2 tahun memeriahkan lebaran dengan senjata mainan.
Walau lebaran tahun ini “ riuhnya” peperangan yang dilakukan remaja tanggung tidak seganas tahun lalu, aksi perang perangan yang bagaikan sudah mentradisi itu masih tetap berlangsung.
Mobil bak terbuka masih ada yang membawa anak lelaki Aceh menenteng senjata mainan yang disambut serangan oleh kelompok lainya yang berdiri di pinggir jalan. Atau peperangan terjadi antar sesama mobil bak terbuka, di dalamnya ada kelompok anak anak membidik senjata.
Aksi peperangan anak anak Aceh dengan senjata mainan pada saat lebaran mulai menjamur, paska perdamaian Aceh. Sejak itu aksi peperangan di jalan oleh sekelompok anak remaja tanggung di Aceh bagaikan menjadi pemandangan biasa dalam suasana lebaran.
Apakah aksi perang-perangan remaja lelaki tanggung di Aceh ini menunjukan karakter mereka yang ditempa untuk keras? Dibiarkan menghambur-hamburkan peluru mainan, dimana ada juga yang menjadi korban.
Satu yang pasti, aksi perang-perangan dengan senjata mainan ini saat lebaran, ada di Aceh. (Bahtiar Gayo)