Asa Laini, Gadis Singkil yang Berhasil Menaklukkan Kanker
Font: Ukuran: - +
Reporter : Im Dalisah
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - "Kriiiingggg...."
Dering telpon genggam ku menyala menandakan ada panggilan masuk yang harus segera kujawab.
"Baim dimana? Kakak udah didalam ini," tanya Ratna Eliza, Pendiri Children Cancer Care Community (C-Four), sebuah lembaga kemanusiaan yang aktif mendampingi anak-anak penderita kanker di Aceh.
Aku menoleh kiri, kanan, dan belakang. Di ujung sana seorang perempuan berjilbab hitam terlihat melambaikan tangan.
"Ah, itu kak Ratna," ujarku dalam hati.
Aku pun bergegas menuju tempat sembari menutup panggilan masuk yang masih menyala. Tak lupa, secangkir sanger hangat yang masih penuh turut kubawa menuju meja tempat kak Ratna duduk.
"Apa kabar kak?," sapaku.
"Alhamdulillah, sehat bang. Ini Laini yang kita bicarakan kemarin," jawab Ratna sembari memperkenalkan seorang gadis manis yang duduk dihadapannya.
Laini merupakan gadis penderita kanker tulang asal Aceh Singkil yang telah diberi 'remisi' oleh dokter. Dia dinyatakan telah bebas dari sel kanker yang menggerogoti dirinya sejak 4 tahun lalu. Namun sayang, 'kebebasan' itu harus ditebus dengan hilangnya satu kaki miliknya yang sebelah kanan.
"Laini bang," ucapnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan sembari tersenyum.
Mengenakan jilbab biru tua dan dipadu dengan setelan kemeja hitam, Laini terlihat cantik. Kepada Dialeksis.com, Laini bersedia membagikan kisahnya melawan penyakit kanker yang dideritanya.
Awal mula gejala kanker dirasakan ketika Laini mengalami kecelakaan kecil saat hendak mendaftar di SMU. Saat itu dia merasakan denyut disekitar lututnya.
Sempat disampaikan ke ibunya tentang denyut tersebut, namun dijawab ibunya gak apa apa nanti sembuh sendiri.
Ia pun tidak menghiraukan perihal denyut tersebut, hingga pada saat yang tidak terlalu lama berselang, Laini mengalami insiden jatuh dari motor. Dari sini, petaka itu dimulai.
"Tidak terlalu parah, jatuh sedikit saja. Tapi lama kelamaan bengkak dan membesar di sekitar lutut dan tidak bisa jalan lagi. Itu terjadi tahun 2016," tuturnya.
1 bulan berjalan, bengkaknya dibekas luka kian membesar dan diobati ke Medan. Disini dia divonis oleh dokter mengidap kanker dan harus segera di amputasi.
Namun orangtua nya tidak setuju dengan tindakan medis. Ketidakpahaman dan kurangnya edukasi tentang penyakit kanker membuat orangtua Laini mengambil keputusan untuk mencari pengobatan alternatif alias membawa ke dukun.
"Orangtua nya tidak rela kaki Laini diamputasi," timpal Ratna.
Sampai ke dukun, keadaan laini tidak lantas membaik, bahkan semakin buruk. Kaki kanan yang dulunya sudah membengkak hebat kian bertambah parah. Bahkan, saat itu telah membusuk dan mengeluarkan belatung.
"Oleh dukun dijelaskan bahwa Laini kena pelet. Saat itu dukun memotong ayam hitam bertanduk yang darahnya diolesi ke bagian luka yang membengkak. Kata dukun biar sembuh. Tapi yang saya rasakan gatal, dan akhirnya mengeluarkan belatung. Dukun juga meminta dibelikan HP untuk kelancaran pengobatan," ucap Laini.
Karena keadaan yang terus memburuk, Laini pun diboyong ke rumah sakit Zainal Abidin, Banda Aceh, karena RSUD Singkil tidak sanggup lagi menangani. Oleh dokter RSUZA dijelaskan bahwa kondisi Laini sudah parah. Kanker ganas yang menyerang tulang kaki kanan Laini membuat dokter mengambil kesimpulan bahwa kaki Laini harus segera di amputasi.
"Saat itu kondisi Laini sudah drop. HB nya pun tinggal 4. Waktu itu mama sempat tidak mengijinkan, namun akhirnya pasrah setelah dijelaskan oleh kak Ratna," kata Laini.
Sementara, orangtua laki-laki Laini masih belum merelakan dengan kenyataan yang harus dihadapi putrinya itu. Karena tidak mampu lagi menahan sakit yang tidak tertahankan, Laini pun menegaskan ke sang ayah bahwa kaki nya harus segera diamputasi. Dengan berat hati dan derai air mata sang ayah pun mengijinkan kaki kanan putrinya diamputasi.
"Potong kaki aku, karena aku sudah tidak tahan lagi. Ayah menangis saat itu," ucap Laini kepada ayahnya saat itu.
Laini mengira kanker ganas yang menyerang dirinya tidak menyebar lagi setelah kaki kanannya diamputasi. Luka akibat operasi yang belum kering kembali membusuk. Bahkan, sempat menimbulkan bau yang sangat menyengat.
"Laini sempat menaruh bubuk kopi disekitar kaki yang telah dipotong untuk menetralisir bau," jelas dia.
Dia pun kembali dibawa ke RS Zainal Abidin Banda Aceh. Diagnosa dokter menyebutkan sel kanker tersebut telah merambat ke bagian paha Laini. Untuk menyelamatkan hidup Laini, keputusan pun diambil. Kaki Laini yang hanya tersisa lutut hingga pangkal paha harus segera diambil alias diamputasi kembali.
"Ya Allah, cobaan apa yang hamba terima ini," ratap Laini saat ini.
Berbekal semangat untuk mengalahkan penyakit yang telah merampas indahnya masa remajanya itu, Laini pun mantap dengan keputusannya sekaligus pasrah dengan garis tuhan yang telah diatur untuk nya.
"Mungkin tuhan sedang berkehendak lain untuk Laini. Bismillah bang," ucapnya lirih.
Sejenak Laini terdiam. Tangannya bergerak mengambil gelas minuman dingin yang tinggal sebagian itu.
Gadis manis ini pun melanjutkan kisahnya. Pasca 'sisa' kaki kanannya diamputasi, dia berjuang keras untuk bisa survive (bertahan) melawan kecamuk psikologis yang dihadapinya. Pada awal-awalnya, ia mengaku sempat stres atas 'garis' hidup yang harus dijalani. Namun, semangat dan spirit dari lingkungan sosialnya, membuat Laini bangkit.
"Kala itu Laini dilatih untuk bisa berjalan dengan krouk (alat bantu sejenis tongkat untuk menopang tubuh). Awalnya dia sering gagal dan terjatuh. Dia sempat membanting krouk dan berteriak "aku gak mau belajar lagi". Tapi saya tidak menyerah. Saya terus menyemangatinya dan memberi contoh si Amin (pasien kanker anak yang telah meninggal dunia) yang telah berhasil berjalan dengan krouk," ucap Kak Ratna sembari melirik Laini yang tersipu malu. Terlintas, ada semburat merah muda di pipi Laini.
Saat disinggung faktor apa yang membuat dirinya berhasil bangkit dari keterpurukan, dengan lugas Laini menjawab ibunya. Baginya, ibu merupakan sosok yang berhasil menyadarkan dia bahwa hidup harus terus berjalan, meski hanya dengan satu kaki.
"Laini lihat mamak menangis. Laini gak mau membuat mamak menangis lagi," ucap Laini. Suaranya terdengar tergetar. Laini menarik napas panjang mengatur emosinya yang hendak meledak. Sejurus kemudian, dia meraih ujung jilbabnya menyeka bulir air mata yang telah pecah.
Sebagai remaja yang telah berubah status dari manusia normal menjadi penyandang disabilitas, Laini berharap pemerintah memiliki kepedulian kepada orang-orang sepertinya. Dia ingin memiliki kesempatan dan akses yang sama seperti masyarakat normal lainnya.
"Laini ingin belajar komputer bang. Dengan kemampuan itu, Laini berharap bisa bekerja. Laini ingin bantu mamak," tutur dia lirih.
Sebuah keinginan yang sangat sederhana, 'hanya ingin bantu mamak'. Asa yang tidak begitu muluk-muluk dari seorang anak manusia yang tak pernah bisa memilih dan menentukan bagaimana nasib, takdir dan status yang harus dijalani.
"Ingat Laini, hilangnya kaki kanan Laini bukanlah kiamat bagi kamu. Kamu harus terus 'survive' mengembangkan bakat yang kamu miliki. Insya Allah kakak akan mencarikan cara buat kamu agar kamu bisa belajar komputer," tegas Ratna memberi semangat.
Saat ini, Laini telah dinyatakan bebas oleh medis dari 'invasi' sel kanker yang menyerangnya. Perjuangan dan semangatnya yang tidak kenal menyerah membuat penyakit mematikan itu 'mengangkat bendera putih' alias menyerah kalah pada Laini.
"Alhamdulillah sekarang Laini sudah dinyatakan bebas dari sel kanker. Walau begitu setiap 6 bulan sekali Laini harus kontrol juga bang, untuk melihat perkembangannya," kata dia.
"Oh ya, ini waktu Laini di Sabang bang," ucap Laini sumringah sembari menunjukkan sebuah file di handphonenya yang menunjukkan dirinya sedang menyelam di laut Sabang.
Tetap semangat Laini, dan teruslah memberi inspirasi bagi 'Laini-Laini' lainnya, bahwa penyakit yang merampas indahnya masa remaja mu itu bisa dikalahkan.
Dan teruslah berdoalah, semoga tuhan memberi ilham kepada negara, melalui pemerintah daerah, hadir mewujudkan setiap mimpi dan harapan mu. Amin. (Im)