DIALEKSIS.COM | Feature - Dubai bukan sekadar destinasi wisata kelas dunia. Ia adalah simbol ambisi dan kemewahan Timur Tengah yang menjelma nyata. Namun bagi Aryos Nivada, pengalaman yang paling membekas justru dimulai dari titik pertama ia menginjakkan kaki di negeri gurun itu: Bandara Internasional Dubai (DXB).
Perjalanan Aryos dimulai dari Jakarta pada pukul 00.45 WIB menggunakan maskapai Emirates. Setelah menempuh penerbangan selama tujuh jam yang penuh kenyamanan, ia mendarat tepat pukul 05.45 waktu setempat di Bandara Dubai.
“Begitu pintu pesawat terbuka, rasanya seperti disambut oleh gerbang surga dunia,” tutur Aryos menggambarkan kesan pertamanya. “Bandaranya terang, luas, megah, dan penuh keramahan. Semua terasa seperti menyatu antara teknologi dan kemanusiaan.”
Bandara Dubai memang dikenal sebagai salah satu yang tersibuk di dunia, namun tidak kehilangan sentuhan personal. Menurut Aryos, arsitekturnya dirancang bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk menyuguhkan estetika dan kenyamanan maksimal.
“Imigrasi sangat lancar. Tidak ada antrean panjang, petugasnya senyum, dan prosesnya cepat. Rasanya seperti masuk ke sebuah kota masa depan, bukan sekadar terminal pesawat,” ucap Aryos.
Interior bandara pun tak kalah memukau. Pilar-pilar tinggi berlapis logam kilau berdiri anggun, memantulkan cahaya dari lampu gantung mewah di langit-langit tinggi. Lantai marmer bersih dan mengilap, seolah tidak pernah mengenal debu. Layar-layar informasi digital tersebar di setiap sudut, memudahkan navigasi penumpang dari berbagai negara.
“Semua serba jelas. Tidak perlu tanya orang. Bahkan arah kiblat pun tersedia di ruang tunggu. Ini menunjukkan bahwa kemodernan tidak menghapus identitas,” katanya.
Bagi Aryos, DXB bukan hanya bandara, tetapi juga destinasi wisata tersendiri. Duty-free-nya disebut-sebut sebagai yang terbesar dan termewah di dunia. Ia menjelajahi deretan toko eksklusif yang menjual berbagai barang branded seperti Dior, Chanel, Louis Vuitton, hingga jam tangan Rolex dan parfum khas Arab.
“Harganya lebih murah dibandingkan mal-mal besar di kota. Bahkan ada diskon khusus yang hanya tersedia di bandara ini,” ujar Aryos dengan antusias. “Belum lagi kurma kualitas premium, rempah-rempah langka, dan suvenir khas UEA yang sangat menarik untuk dibawa pulang.”
Pengalaman semakin lengkap ketika Aryos beristirahat di salah satu lounge eksekutif. Lounge tersebut menawarkan kenyamanan setara hotel bintang lima -- mulai dari sofa empuk, prasmanan makanan internasional, hingga ruang tidur untuk penumpang transit.
“Toiletnya bersih, harum, dan sangat modern. Tidak seperti kebanyakan fasilitas bandara yang seadanya. Ini benar-benar menyenangkan,” tambahnya sambil tersenyum.
Bahkan bagi penumpang reguler, Bandara Dubai menyuguhkan restoran dari berbagai negara. Mulai dari hidangan India, Jepang, Timur Tengah, hingga makanan cepat saji halal yang tersaji dengan kualitas prima.
“Semua ini bukan semata soal fasilitas, tapi mencerminkan filosofi Dubai: menyambut dunia dengan tangan terbuka,” kata Aryos.
Sebagai hub global, DXB melayani lebih dari 260 tujuan penerbangan ke 100 negara. Maskapai Emirates, yang menjadi kebanggaan UEA, menjadikan bandara ini sebagai pusat operasionalnya.
“Inilah strategi diplomasi global mereka. Dengan bandara sekelas ini, Dubai mengirimkan pesan bahwa mereka siap menjadi pusat peradaban dunia baru dari jantung padang pasir,” ungkap Aryos penuh makna.
Pengalaman itu memantik refleksi mendalam bagi Aryos tentang kondisi bandara-bandara di Indonesia. Ia menyebut, Indonesia memiliki kekayaan destinasi wisata kelas dunia seperti Bali, Mandalika, Danau Toba, hingga Sabang, namun sayangnya belum semua bandara mencerminkan kualitas pelayanan yang ramah dan berkelas.
“Sering kali wisatawan disambut dengan antrean panjang, fasilitas seadanya, dan informasi yang membingungkan. Padahal bandara adalah wajah pertama dari sebuah negara. Kalau wajahnya kusut, bagaimana orang bisa kagum?” tanya Aryos retoris.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah Indonesia menempatkan bandara sebagai bagian dari strategi pengembangan pariwisata nasional, bukan sekadar infrastruktur transportasi. Bandara harus menjadi tempat yang menyenangkan, menenteramkan, dan memperkenalkan budaya tuan rumah.
“Dubai mengajarkan kita bahwa bandara bukan hanya tempat pesawat mendarat. Ia adalah panggung penyambutan yang bisa membentuk imajinasi dan rasa hormat terhadap negeri yang dikunjungi,” pungkas Aryos. [ra]