Cara Warga Simeulue Hadapi Corona
Font: Ukuran: - +
Reporter : Indra Wijaya
DIALEKSIS.COM | Simeulue - Saat pandemi virus corona seperti ini, banyak dari mahasiswa yang kuliah dari luar daerah lebih memilih pulang kampung. Bukan tanpa alasan. Selain karena takut akan wabah virus corona terkena, mereka juga berpikir akan apa yang mereka kerjakan diperantauan. Sistem perekonomian tidak stabil, lockdown parsial terjadi dibeberapa daerah, dan juga memikirkan nasib perut saat lockdown terjadi.
Karena hal itu, banyak dari teman saya lebih memilih pulang kampung. Bukan tanpa resiko. Saat balik kampung juga, banyak dari teman saya dihantui akan rasa takut membawa wabah virus corona di badan mereka. Persoalannya cukup sulit. Karena virus tersebut gejalanya baru terlihat selama ‘9-14 hari menempel ditubuh. Kita tidak tahu apa yang dibawa ke kampung halaman. Rindu akan wajah orang tua, malah menjadi petaka untuk orang tua dan warga sekitar.
Sayapun merasa demikian. Semenjak wabah virus corona ini muncul, dan terbaca sebuah berita bahwa di Banda Aceh sudah ditemukan pasien positif terinfeksi virus corona (Covid-19). Saat membaca berita tersebut, hati saya cukup gelisah. Takut saya mungkin terpapar virus tersebut. Saya diantara dilema ingin pulang kampung atau tetap menetap di kosan saya.
Saya tinggal sendiri di kosan. Rata-rata teman saya sudah balik ke kampung halaman. Karena merasa rindu melihat wajah orang tua saya, sayapun memilih untuk pulang kampung halaman.
Hal pelik menimpa saya diperjalanan. Saat hendak tiba di pelabuhan Kota Batu, Kabupaten Simeulue, barisan baju loreng, petugas dari Dinas Perhubungan, dan para relawan yang memakai seragam ala astronot. Tertenteng dibelakang mereka tangki semprot yang biasa dipakai untuk menyemprot tanaman.
Satu mobil pemadam kebakaran menunggu di tepi pelabuhan yang penuh akan cairan disinfektan. Motor saya dan beberapa mobil angkutan disiram bak seperti datang ke tempat doorsmer. Berjeje pula para relawan yang memakai baju astronot tadi samping saya. Mereka bersiap kiri dan kanan.
Saya melihat wajah teman saya yang sangat dongkol saat disemprot oleh petugas dengan cairan disinfektan. Tak hanya tas dan barangnya saja yang disemprot tubuhnya pun tak liput disemprot oleh petugas. Baunya-pun sungguh menyengat karena terbuat dari campuran wipol dan backlin.
Jika begini, lebih baik saya memakai pakaian serbah putih saja. Toh lumayan dapat cairan pemutih juga di baju saya. Noda yang membandel selama ini menempel dibaju saya sudah otomatis kinclong seperti baru lagi.
Yah, sedikit membanggakan juga sih. Sehabis dari pelabuhan saya mendapat gelar dimana pada waktu kuliah gelas sarjana saya belum tercapai. Semenjak ada wabah virus corona, saya mendapat gelar ODP (Orang Dalam Pemantauan).
Tak henti sampai disitu saja. Sesampai saya dirumah saya sudah disambut dengan sebuah hand sanitiner ditangah sebelah kiri adik saya. Baju dan barang-barang saya diasingkan. Saya tak langsung bisa masuk ke rumah. Saya dihadang oleh orang tua saya. Yang dulunya saat saya pulang suasana haru menyeliputi, namun semenjak wabah virus corona muncul tatapan takut dan rasa was-was oleh mereka yang saya terima.
Ah meski lelah. Terkena angin diperjalanan dari pelabuhan menuju kerumah, saya meski harus mandi dengan air hangat yang telah disiapkan oleh orang tua dengan beraneka rempah yang saya tidak tahu semua apa isinya. Mulai dari Jahe, Daun Kunyit, Daun Jariangao (bahasa daerah Simeulue) dan beberapa lainnya. Saya harus mandi dengan air tersebut. Kata mama saya bahwa ramuan tersebut berkhasiat untuk menghilangkan virus yang lengket ditubuh saya.
Saya tidak itu benar atau tidaknbya. Yang pastinya saya tidak bisa melawan apa yang sudah diperintahkan oleh mama saya. Terpaksa saya mandi dengan bau alah rempah-rempah menempel dibadan saya.
Apa yang saya rasakan masih lebih mendingan ketimbang yang dialami oleh teman saya Momon yang tinggal di Desa Labuhan Bajau. Kami masih satu kecamatan. Saya iseng-iseng bertanya seperti apa perlakuan saat ia tiba dirumah.
Dengan nada gelik dan tawa, ia menceritakan sesaat tiba dirumah ia tak bisa menginjakkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia disuruh oleh oleh tuanya untuk menceburkan diri langsung dalam laut yang tak jauh dari depan rumahnya. Saat itu, ia tiba dirumah pukul 06.00 WIB. Bayangkan saja pukul enam pagi disuruh mandi laut. Dinginnya tak karuan. Ditambah dengan hawa dingin diperjalanan dari pelabuhan hingga tiba dirumahnya.
Saya tidak tahu apa khasiat dari air laut, apa memang benar dapat membunuh virus atau tidak. Namun, menurut kepercayaan orang kampung disini dijamin ampuh. Sering terlontar dari menurut emak-emak dan orang tua disini Simeulue muafen mai araya singa dia ha ia. Aifak afel deponmo (ikut aja apa yang dibilang. Jangan banyak cerita).
Yah, sebagai mahasiswa yang baik, patuh akan perintah orang tua, kami hanay mengikuti saja apa yang dikatakan. Meskipun secara logika agak rancu sih.
Selain mandi kembang alah rempah-rempah, mandi air laut, kami juga dilarang untuk mengikuti olahraga, seperti sepak bola dan bola voli. Pernah sekali teman saya, Heriwanda, orang satu kampung dengan saya, ia disuruh keluar dari lapangan sepak bola. Karena masyarakat disana takut akan tertular virus corona.
Meski begitu, mereka melakukan semua tindakan tersebut hanya semata-mata untuk pencegahan penyebaran Covid-19. Saya salut dengan rasa waspada masyarakat Simeulue. Sama seperti kejadian Smong (Tsunami) 2004 silam. Dapat dilihat rata-rata warga disini saat gempa terjadi, mereka sudah berlarian keatas gunung. Baik itu gempar yang berpotensi tsunami ataupun tidak.
Sama halnya dengan virus ini. Dari saling bahu-membahu mengingatkan setiap mahasiswa yang baru saja kembali dari daratan. Yah, meskipun caranya agak apa sih. (Ind)