Cerita di Balik Secangkir Kopi Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
DIALEKSIS.COM | Feature - Aceh, tanah yang tak hanya kaya akan sejarah dan budaya, menyimpan rahasia di balik secangkir kopi yang menggoda selera. Bagi masyarakat Aceh, kopi bukan sekadar minuman, melainkan bagian dari budaya dan gaya hidup.
Namun, keindahan kopi Aceh tak hanya terletak pada rasa dan aromanya. Di setiap desa, dari Takengon hingga Ulee Kareng, tradisi meminum kopi menjadi ritus sosial yang tak lekang oleh waktu.
Kedai-kedai kopi sederhana dan modern, yang tersebar di sudut-sudut kota dan desa, menjadi ruang pertemuan di mana cerita-cerita lama dan baru bertemu dalam harmoni. Suara cangkir yang beradu dengan meja kayu menjadi simfoni sehari-hari yang menghangatkan jiwa.
Harumnya kopi Aceh membuat wisatawan asal negeri jiran Malaysia ingin langsung menyeruputnya langsung dari warung kopi (warkop) di Bumi Serambi Mekkah.
"Nak merasakan kopi langsung yang kita dengar dari luar kopi Aceh ini berkualitas tinggi," kata wisatawan Malaysia Jauhari Abdullah saat di Warkop Budi, Banda Aceh.
Dia mengungkapkan, memang kopi Aceh juga ada di Malaysia, tetapi rasanya berbeda karena memang sudah dalam kemasan. Kemudian, untuk yang sudah disajikan juga kurang nikmat, sebab telah dicampur dengan bahan lainnya. Karena itu, mereka ingin menikmati kopi Aceh langsung di warkop Aceh, dan mereka mengaku puas merasakan kopi di warung seperti ini.
"Ini minum di warung kopi langsung seperti ini, enak sekali, terbaiklah, dan sangat padu," katanya pula.
Ketika PON XXI digelar di Aceh dan Sumatera Utara, hiruk-pikuk pertandingan tidak hanya memeriahkan stadion, tetapi juga membuka pintu bagi para tamu untuk menyelami keunikan budaya lokal.
Salah satu bintang yang bersinar di tengah kemeriahan ini tentu saja kopi Aceh, yang mampu memikat siapa saja yang mencicipinya, termasuk Seno, pelatih soft tenis dari Kalimantan Utara.
Di sebuah warkop sederhana, Seno menemukan sesuatu yang tak terduga, kopi Aceh yang dimasak dengan tungku kayu. Aroma semerbak yang keluar dari kopi tersebut langsung memikat indra penciumannya.
"Saya sudah sering mendengar tentang kopi Aceh, tapi baru kali ini saya benar-benar merasakannya. Wangi kopinya sangat khas dan kuat, apalagi dengan cara memasaknya yang tradisional menggunakan tungku kayu. Itu memberi cita rasa yang berbeda dari kopi yang biasa saya minum di tempat lain," ujar Seno.
Bukan hanya aroma dan rasanya yang membuat kopi ini istimewa bagi Seno, tetapi juga suasana khas Aceh yang terasa di warkop tersebut.
Seno, pelatih soft tenis dari Kalimantan Utara dan Miswardi, Driver asal Aceh Besar sedang menikmati kopi Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]"Saya suka suasananya. Sederhana, ramah, dan ada semacam kehangatan di sini. Kopi ini benar-benar menyatu dengan atmosfer Aceh yang sangat berbeda dari daerah lain," tambahnya.
Seno percaya bahwa kopi Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu daya tarik wisata utama di Indonesia, bahkan mancanegara.
Bagi para wisatawan, Aceh menawarkan lebih dari sekadar panorama alam yang memukau. Wisata kopi kini menjadi daya tarik tersendiri, membawa para pecinta kopi menyesap setiap tegukan kopi Aceh dengan segala variannya.
Di Takengon, kota yang terletak di ketinggian, wisatawan bisa menikmati pemandangan Danau Lut Tawar sembari menyeruput kopi Gayo yang nikmat. Sementara itu, di Banda Aceh, warkop legendaris seperti Solong Coffee menyambut pengunjung dengan cita rasa kopi robusta khas Ulee Kareng.
Kopi Aceh mengajarkan tentang kehangatan dan kerendahan hati. Ia mengundang siapa saja untuk berhenti sejenak, menikmati hidup dalam setiap tegukan, dan merasakan bagaimana alam dan budaya berpadu dalam harmoni.
Maka, tak heran jika para wisatawan yang datang ke Aceh sering kali pulang dengan hati yang penuh. Secangkir kopi Aceh adalah pengalaman; ia adalah cerita yang terus hidup, membawa harum Serambi Mekah ke seluruh penjuru dunia.
Aceh memiliki potensi besar untuk menjadikan kopi sebagai ikon pariwisata. Dengan memadukan keunikan rasa, tradisi penyajian, dan keramahan masyarakatnya, kopi Aceh telah menjadi pintu masuk pariwisata. Wisatawan dari berbagai belahan dunia akan datang, bukan hanya untuk mencicipi kopi, tetapi juga untuk menyaksikan bagaimana kehidupan di Aceh yang sebenarnya.
Dengan secangkir kopi di tangan, Aceh memanggil dunia untuk datang, melihat, dan merasakan keajaiban yang tersimpan di tanahnya.[adv]
Kadisbudpar Aceh, Almunizal Kamal, saat ikut melakukan panen kopi pada Festival Panen Kopi Gayo, di Desa Atu Lintang, Pegasing, Aceh Tengah, pada 2022 lalu. [Foto: Disbudpar Aceh]