Beranda / Feature / Cinta dalam Segelas Memek, Warisan Kuliner Simeulue

Cinta dalam Segelas Memek, Warisan Kuliner Simeulue

Sabtu, 28 September 2024 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indri

Memek sajian tradisional daerah Simeulue. [Foto: Riza Azhari]


DIALEKSIS.COM | Feature - Di bawah langit biru Banda Aceh yang cerah, suasana Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) tampak semarak dengan pengunjung dari berbagai pelosok. Mereka datang, tertarik oleh gemuruh budaya yang menggema di Taman Saifatuddin. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian di tengah keramaian itu, sebuah kudapan unik dari Kabupaten Simeulue yang dijuluki memek.

Nama yang sekilas memancing senyum kecil, bukan sekadar makanan. Di balik namanya yang mengundang rasa ingin tahu, terdapat cerita panjang yang merentang dari masa lalu hingga kini, sebuah warisan budaya tak benda (WBTb) yang ditetapkan pada tahun 2019. Kudapan ini adalah penjaga tradisi, penyambung sejarah masyarakat Simeulue, dan cerminan kearifan lokal yang kaya.

Di Simeulue, sebuah pulau kecil di barat Aceh yang dikelilingi birunya lautan, nenek moyang dahulu hidup bersahaja. Mereka kerap membawa bekal makanan yang praktis, namun kaya rasa saat berlayar atau bepergian antar-pulau. Dari kebutuhan itu,  lahirlah Mamemek atau yang lebih familiar dengan sebutan Memek (huruf 'e' dibaca seperti menyebut kata 'senang'). Kata tersebut berasal dari bahasa daerah Simeulue yang berarti "mengunyah." Kudapan ini terbuat dari bahan sederhana: beras ketan, pisang, santan, gula, dan sedikit garam. Namun, kesederhanaannya menyimpan rasa yang memikat.

Dalam tradisi lisan masyarakat Simeulue, diceritakan bahwa dahulu kala para ibu menyiapkan memek untuk keluarga mereka sebagai bekal perjalanan. Pisang ditumbuk kasar, beras ketan disangrai hingga harum, lalu keduanya dicampur dengan santan hangat dan gula. Rasanya manis, gurih, dengan tekstur lembut namun berbutir. Aroma beras sangrai yang khas menguar dari setiap gigitan, mengingatkan pada rumah dan kehangatan keluarga.

Sebuah Kuliner yang Membawa Nostalgia

Di salah satu anjungan di PKA , Restika, penjaga stand kuliner Anjungan Simeulue, dengan senyum ramah memperkenalkan memek kepada pengunjung. “Ini makanan khas Simeulue, warisan leluhur,” katanya sambil menunjukkan piring kecil berisi memek. Banyak pengunjung yang penasaran mencicipinya, terpikat oleh namanya yang unik sekaligus ceritanya yang mendalam.

Azri, salah seorang pengunjung, tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. “Awalnya saya hanya penasaran karena namanya, tapi ternyata rasanya unik sekali. Manis, gurih, dengan aroma yang khas,” ujarnya. Wawan, pengunjung lainnya, menambahkan, “Teksturnya itu luar biasa, ada lembutnya, ada kriuk-kriuknya. Rasanya seperti perpaduan bubur dan camilan.”

Membuat memek membutuhkan kesabaran dan cinta, seperti kebanyakan makanan tradisional. Prosesnya memakan waktu hingga satu jam. Pisang ditumbuk kasar, beras ketan digongseng hingga harum, lalu semua bahan dicampur dengan santan yang dipanaskan, gula, dan garam. Hasil akhirnya adalah kudapan yang dapat dinikmati baik dalam keadaan hangat maupun dingin.

Seorang warga sedang meracik kuliner khas Simeulue, memek. [Foto: masakini.co/Alfath]

Dari Tradisi Lisan ke Warisan Budaya Tak Benda

Menurut catatan situs Warisan Budaya Kemdikbud, memek diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Hingga kini, masyarakat Simeulue mengenal kudapan ini sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. “Semua masyarakat Simeulue kenal akan makanan memek, bahkan bapak-bapak juga bisa membuatnya,” demikian tercatat dalam dokumen resmi.

Pada 2019, setelah melalui proses panjang, memek bersama tiga warisan budaya lain dari Aceh resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTb Indonesia). Penetapan ini menjadi pengakuan terhadap nilai sejarah, budaya, dan sosial yang terkandung dalam makanan sederhana tersebut.

Meski telah menjadi ikon budaya, memek bukanlah makanan yang dapat dijumpai setiap hari di Simeulue. Warga biasanya menghidangkannya pada momen-momen khusus, seperti bulan Ramadan, sebagai menu berbuka puasa. Pada masa itu, hampir semua rumah di Simeulue menghadirkan memek untuk disantap bersama keluarga. Selain itu, memek juga menjadi sajian wajib dalam festival budaya, seperti di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), sebagai upaya mengenalkan kuliner tradisional kepada wisatawan.

Memek adalah segelas memori, sebuah pengingat akan akar budaya yang dalam. Bagi Simeulue, makanan ini adalah bukti bahwa dalam kesederhanaan, terkadang terletak kekayaan yang paling berharga. Sebuah warisan yang tidak hanya terbuat dari bahan, tetapi juga dari cerita dan cinta yang tak lekang oleh waktu. [adv]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI