Gajah, Dari Pomeurah Sampai Hama?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Sahlan
Gajah liar ditemukan mati di areal perkebunan masyarakat di Kecamatan Peunaron, Aceh Timur. Jumat, (14/10/2022) [Foto: dok Polres Aceh Timur]
DIALEKSIS.COM | Feature - Nasib tragis Bakhtiar, seorang pekebun di Paya Bakong yang diinjak gajah pada 12 Oktober 2023 tampaknya telah menjadi semacam berita mainstream di daerah ini. Tiap tahun, tajuk berita konflik gajah dengan manusia wara wiri di media lokal seolah-olah mustahil manusia dapat berbagi ruang dengan gajah. Lebih parahnya lagi, konflik gajah versus manusia terkadang juga dapat merembet ke konflik manusia-manusia seperti terjadi di Lampung 2017 silam.
Merujuk data Dokumen Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar tahun 2022, estimasi populasi gajah di Aceh berkisar 507-610 individu. Angka ini sebenarnya cukup memprihatinkan mengingat luas hutan di Aceh berkisar 3.5 juta hektar. Sekaligus, angka yang cukup menyayat hati jika kita menilik sejarah Aceh pada masa lampau dimana kehadiran gajah merupakan salah satu komponen penting dalam kegemilangan Kesultanan Aceh masa lalu.
Area kantong gajah di Aceh. [Credit. Forum Konservasi Gajah Indonesia]Dalam wawancara dengan Mongabay Indonesia, Iskandar Norman penulis sejarah Aceh bercerita tentang keberadaan dan posisi gajah dalam kehidupan istana. Sebegitu pentingnya eksistensi gajah dalam kehidupan sehari-hari istana, bahkan orang Aceh dulu memanggil gajah dengan sebutan-sebutan terhormat. Penabalan gelar Pomeurah sebagai panggilan untuk gajah menandakan sebuah penghormatan tersendiri untuk mamalia penghuni rimba Sumatra ini. Gelar tersebut merefleksikan betapa berharganya posisi gajah dalam masyarakat Aceh zaman dahulu. Dalam bahasa Aceh, tabalan Po sering dijumpai pada sesuatu entitas yang lebih tinggi. Misalnya Polem, sebutan untuk anak tertua dari sebuah keluarga sebagai pengganti seorang ayah jika telah tiada.
Kehadiran gajah di tengah-tengah masyarakat Aceh zaman silam dapat diketahui dari hikayat dan catatan penjelajah barat ke Aceh kala itu.
Dalam sebuah hikayat Aceh yang dikutip oleh Anthony Reid dalam bukunya "Elephants and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh, Sultan Aceh kala itu, Iskandar Muda berlatih menunggangi gajah pada senin dan kamis. Dirinya pun mewarisi kemahiran para sultan Aceh sebelumnya dalam mengendarai gajah. Disebutkan juga bahwa setelah Iskandar Muda menjadi seorang raja, dia telah memiliki kemampuan untuk menjinakkan dan mengendarai gajah. Gajah pun menjadi kendaraan kebanggaan sultan, dengan hiasan emas dan permata.
Augustin de Beaulieu, penjelajah Prancis menyebutkan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda memiliki 900 ekor gajah tempur. Hal ini membuat Kesultanan Aceh Darussalam tidak perlu membangun benteng di pinggir kota karena armada gajah itu dapat melindungi kota dari serangan musuh. Gajah ini dilatih untuk tidak takut dengan api, dan dilatih untuk memiliki kemampuan seperti prajurit biasanya seperti memberi salam di depan singgasana raja dengan cara menekuk lutut serta mengangkat belalai-belalai mereka.
Tak hanya Beaulie, John Davis seorang navigator Inggris menuliskan pengalamannya ketika mengunjungi istana sultan di Bandar Aceh pada tahun 1599. Dalam perjalanannya dari pelabuhan ke istana, Ia menunggangi seekor gajah jinak yang telah dihias dengan kain dan intan-intan berharga. Tak cukup sampai disitu, Sultan juga memberi nama untuk masing-masing gajah menurut keberanian dan kemampuannya. Bahkan saking menghormatinya, sultan memerintahkan prajurit kerajaan untuk memayungi gajahnya ketika berjalan di luar layaknya seperti memayungi dirinya sendiri.
Kembali ke catatan Beaulie yang pernah dimuat di Sumatra Tempo Doeloe, Beaulie menggambarkan bentuk penghormatan terhadap gajah sebagai berikut "hanya Raja seorang yang di payungi di depan maupun di sampingnya. Namun, Raja memerintahkan agar anak buahnya membawakan sepuluh payung di hadapan beberapa ekor gajahnya, empat payung di hadapan beberapa gajah yang lain, serta dua payung bagi gajah-gajah yang lain" catat Beaulie yang telah dialihbahasakan.
Ilustrasi armada gajah Kesultanan Aceh Darussalam. [Credit. Historia.com]
Dengan semua peninggalan catatan tersebut, secara lugas dapat disimpulkan bahwa gajah telah mendapat posisi yang cukup baik dalam masyarakat Aceh zaman dahulu. Catatan tersebut juga merupakan sebuah tamparan keras bagi kita yang hidup di tanah yang sama dari nenek moyang yang bisa berbagi ruang dengan ciptaan lainnya di alam. Harus diakui memang peradaban kita saat ini mundur dalam hal interaksi dengan alam dan segala ciptaan di dalamnya. Sifat tamak lebih kita dahulukan dalam bermaslahat dengan lingkungan tempat kita tinggal.
Akibatnya, bentuk keserakahan kita menjadi bumerang bagi kita sendiri di sewaktu-waktu seperti konflik dengan gajah atau harimau. Gajah dalam kehidupan di Aceh sekarang ini lebih sinonim dengan kata hama ketimbang sebuah khazanah biodiversitas yang patut kita jaga. Dari tahun ke tahun, tempat tinggalnya kian sempit, makanannya pun semakin sedikit, ruang geraknya telah berubah perkebunan, hanya menunggu waktu, dia memprotesnya dengan serangan.
Sebagai pengingat, peradaban Persia dan Babilonia turut menceritakan glamornya gajah ditengah kehidupan istana kala itu. Ironisnya, sekarang kita tidak dapat tidak menemukan lagi gajah hidup di Iran atau Irak kecuali gajah ekspor yang diperlihara di kebun binatang. Akankah Gajah di rimba Aceh kita akan bernasib sama?