Haruskah Nelayan Aceh Mendekam Dipenjara Pagoda?
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Berbagai macam cara manusia mencari makan. Ada yang mengitari udara meliuk liuk diantara awan. Ada yang menjelajahi hutan rimba menapaki dunia. Ada pula yang mengukur dalamnya samudra.
Pada dasarnya manusia tidak mau bermasalah dalam mendapatkan rejeki. Ingin hidup tenang, berkumpul dengan keluarga. Namun ada kalanya sikap dan pilihan, banyak mengantarkan manusia dihiasi persoalan, bahkan ada yang ke penjara.
Kabar terbaru, 33 nelayan Aceh yang harus mendekam dalam penjara di Phang Ngah, Thailand. Mereka dituduh melakukan pelanggaran, mencuri ikan di kawasan ZEE Thailand. Dampaknya, berbagai pihak dibuat susah.
Bukan hanya pihak keluarga dari nelayan, Pemerintah RI dan pihak Pemda Aceh harus berurusan atas kejadian ini. Berbagai upaya dilakukan untuk membantu ke 33 nelayan yang harus menjalani masa tahanan, sesuai dengan ketentuan hukum di negeri seribu pagoda ini.
Nelayan Aceh yang ditangkap 21 Januari 2020, oleh pihak Royal Thai Navy (RTN) terhadap dua kapal berbendera Indonesia, KM Perkasa dan KM Mahesa. Tiga diantara nelayan ini merupakan anak dibawah umur. 11 tersangka lainya setahun yang lalu juga sudah pernah ditangkap di negara gajah putih ini.
Mereka kini sedang menjalani proses hukum. Bukti yang ditemukan aparat hukum Thailan, terlihat memberatkan. bukan hanya soal ikan tangkapan, namun kapal dilengkapi alat pencarian ikan berupa trawl. Ada alat navigasi dan jumlah awak, serta ukuran kapal, bukan merupakan kapal untuk nelayan tradisional.
Ada tiga anak anak dibawah umur dalam kasus ini, membuat kita miris. Mengapa mereka dilibatkan dalam persoalanya mengarungi kedalaman samudra. Lebih miris lagi, ada 11 tersangka yang sebelumnya sudah merasakan penjaga negara setiga emas hitam ini.
Kesebelas tersangka yang sebelumnya sudah merasakan penjara di Thailand, harus kembali berurusan dengan hukum, kasusnya sama. Dituduh mencuri ikan. Kalau hanya sekedar tersesat, hingga sampai di perbatasan Andaman, mungkin pertimbanganya lain.
Namun ketika kasusnya berulang, apalagi dikuatkan dengan bukti kapal yang dilengkapi navigasi, pukat trawl dan jenis kapal bukan tradisionil, persoalanya akan lain. Pemerintah Thailand bisa saja menyebutkan sengaja melakukan pencurian.
Namun sebagai pemerintah yang mengurus rakyat, Pemda Aceh dan Pemerintah RI, tetap berupaya memberikan bantuan untuk meringankan beban para tersangka. Memantau kesehatan mereka, memfasilitasi agar para tersangka dapat berkomunikasi dengan keluarga.
“Kita punya kewajiban mengurus mereka. Berbagai upaya telah dilakukan. Namun kita juga harus menghargai hukum di negara Thailand. Kita ikuti aturan main sesuai dengan ketentuan yang berlaku, upaya upaya untuk membantu mereka tetap kita lakukan,” sebut Al- Hudri, Kadis Sosial Aceh, menjawab Dialeksis.com, Rabu (26/2/2020) ketika ditanyakan perkembangan nelayan yang ditahan di Phang Ngah.
Menurut Hudri, pihaknya akan tetap melakukan upaya upaya membantu nelayan Aceh yang ditangkap di Thailand dengan ketentuan tidak melakukan pelanggaran aturan yang berlaku. Bukan hanya menghormati hukum negara Pagoda ini, namun dalam membantu juga ada mekanismenya.
Ada aturan main. Demikian dalam mencari rejeki, ada ketentuan yang harus kita jaga. Beragam cara manusia mencari makan, ada yang menjadikan penjara sebagai singgahan. Ada yang berlindung di balik penjara untuk mendapatkan makan.
Ada yang mencari rejeki menyelami dalamnya samudra, terbang dalam balutan awan, menapaki hutan rimba. Namun nyamankah kita rasa, bila karena kita mencari rejeki ada pihak lain yang dirugikan. Ada pihak lain yang susah karena harus mengurus kita?
Beragam cara manusia mencari makan, ada yang mendapatkanya dengan cara terhormat, baik dan halal, namun ada yang remang remang. Banyak juga yang menapaki hidup ini dalam mendapatkan nafkah bergelimang persoalan, melanggar tatanan dan ada pihak yang dirugikan.
Banyak catatan sejarah yang sudah dibuat manusia dalam persoalan mencari nafkah. Kembali kepada kita, akan masuk dalam katagori yang mana? Semua pilihan itu ada dampaknya. (Bahtiar Gayo)