Rabu, 24 Desember 2025
Beranda / Feature / Ketika Semangat Hadir Dalam Bayang-Bayang Maut

Ketika Semangat Hadir Dalam Bayang-Bayang Maut

Rabu, 24 Desember 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Dengan susah payah membangun jembatan darurat. jembatan itu kini menjadi saksi sejarah pahitnya perjuangan hidup mereka yang terisolasi. Terlihat warga Kemukiman Linge, Aceh Tengah tidak pernah menyerah dengan keadaan (foto/Dok For Dialeksis.com)

DIALEKSIS.COM | Feature - Ikhlas mati menghadap Ilahi demi menyelamatkan anak dan istri, menyelamatkan kaum perempuan dan para orang tua di kem pengungsi.

Daripada mati hari ini lebih baik mati besok, menjadi pemicu semangat para korban banjir bandang di Aceh Tengah. Awal musibah, mengharapkan bantuan pemerintah mereka akan mati kelaparan.

Berdiam diri berarti mati. Para korban musibah banjir bandang, khususnya di Aceh Tengah, walau dalam lelah dan cemas, mereka bangkit. Menyatukan kekuatan untuk berbuat. Apa yang mampu mereka perbuat akan dilakukan.

Dalam perasaan takut dan cemas mereka menyiapkan tempat pengungsian, membuat jembatan gantung, jembatan darurat, memperbaiki jalan. Keluar dari amukan banjir untuk mendapat bantuan.

Mereka juga mengumpulkan sisa sisa amukan banjir yang masih dapat mereka gunakan. Mereka bersatu dan saling menguatkan. Mengirimkan utusan untuk keluar mencari makanan dan mengabarkan bahwa mereka masih hidup.

“Kalau kami berdiam diri, mengharapkan bantuan pemerintah kami akan mati satu persatu, karena kelaparan dan serangan penyakit,”sebut Sertalia, salah seorang korban banjir bandang yang kampungnya di kawasan Linge, hingga hari ini, Rabu (24/12/2025) masih terisolir.

Menurut mantan ketua KIP Aceh Tengah ini, sejak musibah banjir bandang yang menyapu kawasan Linge, masyarakat bersatu, saling menguatkan. Mereka yang selamat dari musibah, selain membantu saudara yang lain, sisa-sisa tenaga, mereka mendirikan tenda darurat ala kadarnya.

Mereka mulai kelaparan, namun tetap bertahan untuk hidup. Makanan ala kadarnya diutamakan untuk anak-anak. Para dewasa harus bertahan, lapar dan dinginya alam harus dilalui. Baju melekat di badan kering-kering basah.

Pengalaman warga di kemukiman Linge ini juga dirasakan hampir seluruh kawasan di Aceh Tengah, khususnya area yang hingga sebulan musibah ini masih terisolir. Awal awal musibah, mereka saling menguatkan, bersatu untuk bangkit.

Warga Karang Ampar, Bergang, Pantan Reduk, Kecamatan Ketol, misalnya, mereka harus berani keluar dari kampung walau diperjalanan masih sangat riskan. Longsor dimana mana, sungai melebar, berjalan kaki saja ancamanya maut.

jembatan Bergang, Karang Ampar, Pantan Reduk yang berhasil dibangun warga dengan susah payah


Demikian dengan para korban lainya, diberbagai kecamatan yang terkurung. Hingga saat ini masih ada 48 kampung terisolir. Pemda Aceh Tengah ahirnya memperpanjang masa penangangan darurat bencana hingga 29 Desember 2025.

Para musibah dari berbagai penjuru Aceh Tengah, saat mereka terkurung, tidak ada pihak yang membantunya, mereka berusaha keluar dari perkampungan untuk mendapatkan bantuan. Untuk mendapatkan beras demi keluarga yang ditinggalkan di kem pengungsian.

Melihat realita di lapangan, lambanya pemerintah menyalurkan bantuan masa darurat dan membebaskan kawasan mereka dari isolasi, masyarakat di sana ahirnya bersatu, bangkit. Melakukan apa yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup. Mereka tidak mau mati tanpa berbuat.

Selain mendirikan kem pengungsian ala kadarnya, mereka juga membersihkan puing-puing, mencari yang tersisa. Bersama-sama mengangkat kayu besar untuk dijadikan jembatan penghubung. Membangun jembatan sling, jembatan gantung. Slingnya mereka dapatkan dari kabel listrik PLN yang bertumbangan. Mencari chainsaw dan mengusakan minyaknya di saat kritis minyak.

Mereka setiap hari bersatu bergotong royong, lelah tidak terperikan. Energy yang mereka keluarkan tidak sebanding dengan makanan yang diasup. Mereka bekerja dalam menahan lapar demi keluarga, anak-anak dan para orang tua yang sudah diungsikan. Air mata dan keringat menyatu.

Hasil kerja keras itu membuat sedikit lega, walau masih tersiloir, mereka sudah mampu berhubungan dengan kawasan yang lain. Jembatan darurat sudah berfungsi. Jalan kaki satu satunya kekuatan untuk bebas dari penderitaan.

Mulailah dilakukan perjalanan panjang yang melelahkan diantara amukan banjir bandang ini. Mereka berjalan berjam-jam sambil menahan lapar. Mereka tidak akan kembali kalau tidak membawa beras. Anak anak, kaum perempuan dan orang tua di pengungsian sudah kelaparan.

Sementara mereka yang ditinggalkan dalam harap harap cemas, ada lantunan doa. Alam masih belum bersahabat. Semoga yang berjuang untuk mereka tidak hanya kembali nama.

Para pahlwan ini menerobos medan yang sangat berat dan riskan. Walau beras dan makanan yang mereka dapatkan ala kadarnya. Tidak cukup, bahkan untuk anak-anak dan kaum wanita saja beras yang mereka bawa tidak cukup untuk dua hari.

Para pahlawan yang terselamatkan banjir itu tidak pernah menyerah. Disisa sisa tenaga mereka bangkit bergotong royong. Melakukan apa yang bisa dilakukan untuk memudahkan transportasi, minimal dengan kampung sebelah bisa saling berbagi.

Jerih payah mereka dan bantuan pihak lain yang mau berbagi membuahkan hasil. Kampung mereka yang terisolasi akhirnya ada yang mengunjungi, walau dengan susah payah. Ketika ada manusia yang menjenguk mereka hidup dalam bayang-bayang maut, tangisan histeris menggema.

Siapapun itu akan ada air mata, pelukan persaudaraan, hadir dalam satu rasa. Secercah harapan untuk hidup terpancar dari raut wajah letih dan kepayahan. Sorot matanya seakan berkata “jangan biarkan kami mati dalam bencana ini”.

Semangat untuk hidup diantara bayang-bayang maut sudah ditunjukan para korban amukan banjir, banjir bandang di seluruh penjuru Sumatera ini. Mereka kuat, tidak menyerah dengan keadaan. Mereka berbuat semampunya.

Karena tanpa bantuan orang lain, mengandalkan kekuatan mereka sendiri, mereka tidak akan bangkit. Kehadiran negara untuk memapah mereka, sangat diharapkan. Negara harus menggengam tangan-tangan yang terluka, para korban yang selamat.

Para pahlawan, korban yang selamat dalam musibah ini sudah mengikhlaskan diri untuk menghadap Ilahi demi menyelamatkan anak dan istri. Menyelamatkan kaum perempuan dan para orang tua.

Berdiam diri berarti mati. Daripada mati hari ini lebih baik mati besok, apa yang mampu mereka kerjakan, sudah dibuktikan. Semangat mereka untuk hidup sudah teruji. Air mata dalam alunan doa, mereka jadikan sebagai kekuatan untuk bangkit. Kalian layak disebut pahlawan dalam bencana.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI