DIALEKSIS.COM | Pegasing - Bersisik bukan naga, bermahkota bukan raja. Teka teki yang sering diucapkan para orang tua menunjukan buah yang manis ada asamnya. Daunnya bagaikan pedang terhunus menjulang.
Di Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah, buah ini dikenal bukan hanya sebagai oleh oleh. Namun beberapa kedai di sana khusus menyediakan buah bersisik bukan naga ini lengkap dengan bumbunya sebagai penyedap.
Nanas Pegasing, Aceh Tengah sudah lama dikenal. Tidaklah heran di sepanjang jalan Takengon-Toa ini banyak berjejer kedai yang memajangkan nanas lokal dengan ciri khas. Nenas poles Pegasing.
Buah nanas. Foto: Nora/DialeksisSeiring dengan perkembangan zaman, kaum ibu di sana melihat ada peluang pundi-pundi rupiah dari pelepah nanas yang menjulang bagaikan pedang ini.
Berkat tangan-tangan terampil warga, khususnya para ibu rumah tangga, limbah pertanian ini diolah menjadi beragam kerajinan bernilai ekonomis. Inisiatif ini bukan hanya menciptakan produk unik, tetapi juga membuka peluang tambahan penghasilan bagi masyarakat setempat.
Biasanya, setelah buah nanas dipetik, pelepahnya langsung dibuang atau dibakar. Namun, kini pelepah nanas disulap menjadi gelang, bross, tatakan gelas, gantungan kunci, hingga lampion dan lukisan, semuanya berasal dari serat nanas.
Berbagai produk padat karya yang diolah dari serat nanas. Foto: Nora/DialeksisPelepah yang selama ini dianggap sampah, kini menghasilkan rupiah. Berawal dari pelatihan di kantor camat. Inayati Rahmatillah, bersama para ibu-ibu dari Kelompok Wanita Tani (KWT), datang tanpa bayangan besar.
Mereka hanya tahu nanas untuk dimakan. Tapi saat mengetahui bahwa serat nanas berasal dari pelepahnya, bukan dari buah, keterkejutan itu segera berubah jadi ketertarikan.
"Kami pikir awalnya serat itu dari buahnya. Ternyata dari pelepah yang biasa kami buang. Dari situ kami merasa, sayang kalau tidak dimanfaatkan," kenang Inayati, yang kini menjabat sebagai Ketua Kelompok Keriga dari Koperasi Perempuan Gayo Sejahtera.
Pegasing memang dikelilingi kebun nanas. Tiap halaman rumah bak hamparan hijau berduri. Tak heran, ketika ide untuk mengolah pelepah nanas itu muncul, bahan baku pun seperti tak ada habisnya.
Keriga, begitu nama kelompok mereka, bermitra dengan Katahati Institute. Sebuah lembaga sosial yang mendorong penguatan ekonomi lokal berbasis hasil hutan bukan kayu. Melalui unit usaha sosial ini, perempuan-perempuan desa diajak aktif dalam rantai produksi, dari pengumpulan bahan baku, penyediaan alat produksi, pengemasan hingga pemasaran.
Proses penyerutan pelepah nanas. Foto: Nora/Dialeksis Proses penjemuran serat nanas. Foto: Nora/Dialeksis"Kami bahkan tidak perlu beli pelepah. Ada pemilik kebun nanas yang mengizinkan kami mengambil kapan pun. Sambil ambil pelepah, kebunnya pun jadi bersih. Sama-sama untung," kata Ina sambil tersenyum.
Namun, bukan berarti perjalanan mereka tanpa tantangan. Salah satu yang paling terasa adalah tenaga kerja. Hingga kini, hanya lima orang yang aktif memproduksi. Itu pun harus berbagi waktu dengan urusan kebun kopi, yang secara langsung memberi hasil harian lebih cepat dibandingkan membuat kerajinan tangan.
"Kalau ke kebun kopi, sehari bisa dapat Rp200 ribu. Kalau di sini, kami baru dapat setelah barang jadi dan laku. Itu yang buat ibu-ibu masih ragu fokus penuh di sini," ujar Ina dengan nada jujur.
Meski terbatas, produk kerajinan dari pelepah nanas buatan Keriga sudah menembus pasar luar daerah. Banda Aceh, Jogja, hingga Bali menjadi tempat mereka unjuk gigi lewat pameran-pameran dan festival lokal.
Produk favoritnya? Tatakan gelas, gelang, dan gantungan kunci. Harganya ramah di kantong: mulai dari Rp10 ribu hingga Rp45 ribu. Bukan soal nominal semata, namun cerita di baliknya yang menjadikan setiap produk itu bernilai.
Produk-produk dari serat nanas. Foto: Nora/DialeksisDekranas (Dewan Kerajinan Nasional) Aceh Tengah bahkan sempat meminta stok dalam jumlah besar. Sayang, keterbatasan tenaga membuat mereka belum mampu memenuhi permintaan itu. "Kami belum bisa produksi banyak. Masih berdasarkan pesanan," ujar Inayati.
Setahun lebih sudah koperasi ini berdiri. Semangat masih menyala, namun mereka tahu bahwa perjalanan menuju kemandirian tidak sependek pelepah nanas yang mereka olah. Karenanya, mereka berharap pendampingan dari Katahati bisa terus dilanjutkan. Bukan lima tahun, tapi sampai mereka benar-benar bisa berdiri sendiri.
Mereka bahkan punya impian besar untuk mengolah serat nanas menjadi tenun khas Gayo, berkolaborasi dengan motif-motif kerawang tradisional yang sarat makna budaya.
"Target kami bisa menghasilkan tenun motif kas Gayo, kolaborasi dengan serat nenas," ujar Ina penuh semangat.
Dari tangan-tangan ibu-ibu di Pegasing, pelepah nanas menemukan takdir baru. Tak lagi dibakar. Tak lagi membusuk di kebun. Ia berubah menjadi gelang yang melingkar di tangan, tatakan yang menjaga kehangatan cangkir, dan lampion yang menerangi ruang.
Ini bukan sekadar kisah tentang kerajinan tangan. Tapi tentang bagaimana melihat limbah sebagai peluang, dan menjadikannya sumber pendapatan. Maka, kalau Anda melihat tatakan gelas dari serat nanas di etalase pameran nanti, ingatlah: ada pelepah yang bangkit dari tanah Pegasing, membawa harapan untuk masa depan yang lebih terang.
Pelepah nanas mungkin tak pernah bermimpi menjadi cuan. Tapi di tangan perempuan-perempuan hebat Gayo, ia kini jadi peluang bisnis baru.
Pelepah yang dikeliling duri tajam, berdiri tegak bagaikan pedang ini telah mengharumkan nama Pegasing, bukan karena rasanya yang khas. Namun Mahkota bukan raja ini menghadirkan nuansa baru ketika jemari lembut mengolahnya.
Bersisik bukan naga, bermahkota bukan raja, buahnya sudah lama menghasilkan rupiah. Namun bagi kaum ibu-ibu di Pegasing kini justru pelepahnya mendatangkan berkah.[nr]