Museum Ali Hasjmy: Warisan Intelektual yang Terlupakan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Museum dan Perpustakaan Profesor Ali Hasjmy. [Foto: Facebook]
DIALEKSIS.COM | Feature - Derak air hujan membasahi lantai museum. Tetesan air merembes melalui atap bocor, menggenangi ruangan bersejarah tempat ribuan buku tersimpan. Di balik genangan air dan cat mengelupas, tersembunyi kisah seorang cendekiawan Aceh yang tak boleh dilupakan.
"Kondisi Museum dan Perpustakaan Profesor Ali Hasjmy saat ini memprihatinkan," ujar Yopi Ilhamsyah, dosen Universitas Syiah Kuala. "Ini bukan sekadar museum, melainkan jantung intelektual sejarah Aceh yang nyaris terkubur."
Terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 28, Banda Aceh, Museum PMPAH menyimpan warisan Prof. Ali Hasjmy, seorang tokoh multitalenta kelahiran Montasik tahun 1914. Koleksi museum mencakup ribuan buku, manuskrip kuno, hingga benda bersejarah seperti rencong, senjata tradisional, dan mushaf Alquran berusia 400 tahun.
"Setiap buku, setiap benda di sini adalah fragmen memori kolektif masyarakat Aceh," tambah Yopi. "Prof. Ali bukan sekadar penulis atau akademisi, ia adalah arsiparis hidup peradaban Aceh."
Yopi menyoroti kondisi memprihatinkan museum. Atap bocor, lantai tergenang air, dan koleksi buku terancam rusak.
"Ini bukan sekadar masalah infrastruktur," tegasnya. "Ini adalah pengkhianatan terhadap warisan intelektual."
Menurut catatan, museum yang didirikan tahun 1991 ini sempat mendapat dana rutin pada masa pemerintahan Gubernur Irwandi. Namun, sejak itu, museum seolah diabaikan. Buku-buku karya Prof. Ali, yang pernah menerbitkan lebih dari 40 karya sastra, kini nyaris terlupakan.
"Kita tidak bisa membiarkan warisan ini punah," kata Yopi. "Setiap manuskrip, setiap foto, setiap benda di sini adalah saksi bisu perjalanan sejarah Aceh."
Museum Ali Hasjmy Jl. Jenderal Sudirman no.20 Banda Aceh. [Foto: HO/kliktimes]Yopi mengajak generasi muda untuk peduli. "Museum ini bukan sekadar tempat penyimpanan benda. Ia adalah ruang dialog antargenerasi, tempat kita mengingat jati diri."
Saat ini, museum hanya dibuka setiap Rabu, dengan perpustakaan buka terbatas. Catatan pengunjung minim - hanya dua orang dalam dua pekan terakhir.
"Ini panggilan bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat Aceh," tegas Yopi. "Kita harus menyelamatkan museum ini, bukan sekadar sebagai bangunan, tapi sebagai benteng ingatan kolektif."
Dari ruang kerja Prof. Ali yang kini tergenang air, hingga koleksi pakaian tradisional di lemari kaca, Museum PMPAH menunggu untuk didengar. Menunggu untuk dihidupkan kembali. [adv]