DIALEKSIS.COM | Feature - Seorang ayah akan memberikan punggungnya untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman maut. Dia rela tubuhnya tertusuk belati, dihujani panah. Dia rela kembali ke Ilahi demi menyelamatkan anak-anaknya. Itulah ayah yang sejati.
Pertiwi kini sedang berduka. Sumatera luluh lantak diterjang bencana. Aroma kematian mengitari mereka yang selamat dari maut. Antara hidup dan mati setipis kulit bawang. Penanganan darurat bencana lamban.
Sampai hari ke 24 bencana, masih ada ratusan kampung yang terisolasi. Masyarakat menahan lapar diantara serangan penyakit. Bendera putih sudah dikibarkan. Namun pemimpin negeri masih menunjukan gengsi.
Dengan lantang dan tegas, pejabat di negeri ini menyebutkan mampu menangani bencana yang melanda Sumatera. Tidak perlu bantuan asing. Kalau soal membusungkan dada harus kita akui.
Namun kenyataannya, ketika negara menyatakan mampu, justru rakyat yang terbelenggu. Bahkan ada pejabat, ketika rakyat minta tolong dalam gempuran prahara, dengan santainya menjelaskan “di media sosial terlihat lebih seram daripada kenyataan”.
Negara, para petinggi di bumi Pertiwi bagaikan membiarkan rakyatnya mati bergelimpangan, harus berjuang sendiri dalam amukan banjir bandang. Demi gengsi dan harga diri, pekikan ketakutan, deraian air mata dalam bayang bayang maut, hilang ditelan bumi.
Sampai saat ini status bencana nasional belum ditetapkan. Pemerintah daerah kelimpungan menghadapi musibah. Sarana dan prasarana terbatas, ditambah lagi dana yang dipangkas pusat. Lengkap sudah derita di atas derita.
Hingga hari ke 24 bencana, penanganan bencana masih lamban. Walau pemerintah sudah bergerak, mengerahkan segala kekuatan, namun kenyataannya di lapangan sangat jauh dari harapan.
Pemerintah pusat yang enggan menetapkan status darurat nasional dan cenderung menolak bantuan luar, dinilai banyak pihak sebagai bentuk kelalaian negara dalam bencana. Akhirnya rakyat yang menderita mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah dan meminta pertolongan manusia yang berhati nurani.
Mari kita simak sekilas bagaimana petinggi negeri ini menyikapi bencana yang meluluhlantakan provinsi bagian barat Sumatera ini. Pernyataan para pejabat ini bukan hanya menggaduhkan Pertiwi, namun menjadi pembahasan dunia, berbagai media asing meramaikanya.
Misalnya, Pejabat BNPB, Suharyanto, yang sempat menyepelekan skala bencana dengan mengatakan “di media sosial terlihat lebih seram daripada kenyataan”. Komentar pejabat ini menuai kecaman luas, akhirnya dia minta maaf setelah melihat langsung kondisi di lapangan.
Komentar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal bantuan medis senilai US$60 ribu dari Malaysia. Tito menilai “tidak seberapa” dibanding sumber daya Indonesia. Pernyataan ini arogan, menggambarkan bahwa pemerintah Indonesia enggan berterima kasih dan terkesan menolak uluran tangan asing.
Teriakan minta tolong rakyat yang diamuk bencana didengar oleh sejumlah pihak di luar negeri. Sejumlah pemimpin dunia telah menawarkan bantuan, namun Presiden Prabowo Subianto menolak dengan halus, menyatakan situasi masih terkendali.
“Saya bilang, terima kasih atas perhatiannya tapi kami bisa tangani sendiri,” ujar Prabowo pada 11 Desember 2025. Pernyataan Presiden ini mendapat sorotan, karena tidak sejalan dengan realita di lapangan yang kekurangan tenaga, logistik, dan infrastruktur.
Presiden Prabowo sudah tiga kali mengunjungi lokasi banjir, kunjungan tersebut belum berbuah koordinasi penanganan yang efektif. Justru, kunjungan itu menyoroti absennya perencanaan yang matang dan lemahnya koordinasi institusi di lapangan.
Ada juga yang mempersoalkan masalah lingkungan. Deforestasi masif dan pemberian izin tambang oleh pemerintah turut memperparah banjir dan longsor. Langkah pemerintah yang menyalahkan perusahaan justru dianggap “munafik” karena pemerintah sendiri menerbitkan ratusan izin penebangan dan pertambangan di Sumatera.
Warga kelaparan, menggambarkan lamban dan minimnya distribusi pangan. Berbeda dengan tsunami Aceh 2004. Indonesia membuka diri terhadap bantuan internasional dan terjadi solidaritas global, sehingga penanganan bisa lebih cepat.
Penetapan status ini diyakini akan membuka jalan bagi koordinasi lebih luas dan penerimaan bantuan internasional. Selama status tersebut belum ada, beban respon bencana sepenuhnya ditanggung pemerintah daerah dan relawan yang kewalahan.
Banyak relawan dan kelompok masyarakat yang ingin mengirim bantuan dari luar Aceh terhambat logistik. Banyak daerah yang belum terjangkau akses darat. Maskapai nasional memprioritaskan kargo bantuan pemerintah, sehingga donasi publik sulit diterbangkan. Bantuan swadaya masyarakat menumpuk di bandara.
Kerugian ekonomi nasional diperkirakan mencapai Rp68,6 triliun (±US$5,3 miliar). BNPB memperkirakan butuh sedikitnya Rp 51 triliun (±US$4 miliar) untuk rekonstruksi. Sementara BNPB awalnya hanya punya dana Rp 500 miliar, kemudian dinaikkan menjadi Rp 768 miliar, setelah adanya tekanan publik. Jumlah ini jauh sangat kecil dibanding kebutuhan.
Data sementara, bencana Sumatera telah merenggut 1.068 nyawa. 456 hilang. Puluhan ribu rumah penduduk rata dengan bumi, perkampungan banyak yang hilang dari peta. Kerusakan bencana ini dahsyat.
Bendera Putih
Diantara pemimpin daerah di negeri yang tertimpa musibah Sumatera, Muzakir Manaf, Gubernur Aceh menunjukan sikap tegas dalam linangan air mata untuk rakyatnya. Mualem panggilan akrabnya lebih berharap kepada sang Khaliq daripada berharap kepada manusia yang berbuah kecewa.
Air mata tulus Mualem disaksikan dunia. Mualem mengakui keterbatasan Aceh dalam menangani bencana, akhirnya Mualem mempersilakan bantuan asing untuk membantu Serambi Mekkah. Bendera putih dikibarkan.
“Mereka menolong kita, masak kita persulit, kan bodoh,”sebut Mualem. Sebuah kalimat yang keluar dari relung hati mendalam dari seorang pemimpin yang negerinya kita porak poranda.
Akhirnya Mualem meminta bantuan asing. Sikap ini membuat pemerintah pusat ketar-ketir yang masih membusungkan dada dengan keyakinan kemampuanya. Status bencana nasional, hanya dalam angan-angan.
Ketika mulai gaduh soal bantuan asing, Pemerintah Aceh meluruskan informasi terkait isu pengiriman surat Gubernur Aceh ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, menegaskan bahwa tidak ada permintaan bantuan langsung ke PBB.
“Itu salah pemahaman. Surat tersebut bukan ditujukan ke PBB, melainkan kepada lembaga-lembaga internasional yang memang sudah ada dan beroperasi di Indonesia,” kata Muhammad MTA kepada awak media, Selasa (16/12/2025).
Ia menjelaskan, lembaga seperti UNDP, UNICEF, dan IOM merupakan mitra resmi pemerintah Indonesia yang selama ini memiliki program dan pengalaman panjang di Aceh, termasuk saat penanganan tsunami 2004.
MTA memastikan komunikasi antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat berjalan dengan baik. Bahkan, Badan Komunikasi Presiden telah menerima penjelasan dan menyambut positif langkah-langkah yang diambil Pemerintah Aceh.
Kini bantuan luar mengalir ke Aceh, memang rakyat yang ditimpa bencana ini sangat membutuhkanya. Mereka ingin hidup, Daripada mati hari ini akibat bencana, mereka berjuang agar tidak mati hari ini.
Ibu sejati akan melakukan apapun demi anaknya. Foto: dok DialeksisRakyat membutuhkan sosok seorang ayah, sosok seorang ibu yang rela berkorban nyawa demi anak anaknya. Seorang ayah akan memberikan punggungnya untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman maut.
Dia rela tubuhnya tertusuk belati,dihujani panah. Dia rela kembali ke Ilahi demi menyelamatkan anak-anaknya. Seorang ibu akan berkorban nyawa demi sibuah hati. Dia rela menderita asalkan anaknya tidak sengsara.
Itulah sosok orang tua sejati, yang rela berkorban segala-galanya demi sibuah hati. Rakyat di negeri ini merindukan ayah dan ibu yang mengerti derita diatas derita yang mereka alami. (BG)
