Pendapat SBY Soal Cawe Cawe Presiden Jokowi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
DIALEKSIS.COM| Jakarta- Mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat sebuah tulisan yang lumanyan panjang, namun sangat menarik untuk disimak, karena tulisan itu menyangkut keadaan dan masa depan bangsa ini.
Tulisan tertanggal 18 Juni 2023 ini, Mantan Presiden SBY memberi judul “ Pilpres 2024 dan Cawe-Cawe Presiden Jokowi”. Tokoh Demokrat ini mengulasnya mendalam, santun dan penuh kehati-hatian. Sebagai seorang sahabat SBY mengingatkan Presiden Jokowi.
Redaksi Dialeksis.com juga mendapatkan tulisan SBY yang mengungkap kondisi pertiwi menjelang dilaksanakan Pemilu. Tulisanya bernas, berisi pencerahan, namun menggoda kita untuk menganalisa. Bagaimana ungkapan SBY dalam tulisnya, Dialeksis.com menayangkanya secara utuh. Inilah tulisan yang elegent dari seorang yang pernah mengendalikan pertiwi.
Saya ikut tertarik untuk bicara soal “cawe-cawenya Pak Jokowi” dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024 mendatang. Nampaknya masyarakat kita terbelah memaknai istilah cawe-cawe. Seperti biasanya. Meskipun, besaran belahannya belum tentu sama.
Mengartikan apa yang dimaksudkan dengan cawecawe juga beragam. Begitulah pemaknaan terhadap satu istilah. Karena ini berasal dari bahasa Jawa, barangkali saudara-saudara kita yang tidak bersuku Jawa mengalami kesulitan untuk menangkap apa yang Presiden Jokowi maksudkan dengan cawe-cawe itu.
Apa yang ingin saya ungkapkan dalam artikel ini sepenuhnya pandangan dan pendapat saya. Yang setuju dengan saya monggo, yang tidak setuju tentu saya hormati. Itulah indahnya konstitusi kita, UUD 1945, yang menjamin dan memproteksi kebebasan berbicara.
Kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat. Inilah salah satu nilai demokrasi yang kita anut. Tentu dengan catatan “freedom of speech” harus berdasar pada fakta dan kebenaran (bukan fitnah atau hoax), dan bukan sebuah ujaran kebencian (hate speech) yang bisa menimbulkan keonaran bahkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan publik.
Kebebasan berbicara juga mesti disampaikan dengan bahasa dan cara yang patut serta bukan sumpah serapah yang bisa merusak jiwa masyarakat kita. Bagi banyak orang, cawe-cawe dimaknai sebagai tindakan yang baik. Berkonotasi positif.
Ini contohnya. Di sebuah desa ada rumah yang kejatuhan pohon. Penghuninya nampak syok dan sangat bersedih. Tetangganya, Pak Budi, bilang sama istrinya. “Bu, kasihan tetangga kita. Kita harus membantu. Aku tak cawe-cawe, untuk meringankan bebannya”.
Contoh yang lain seperti ini. Seorang istri berkata kepada suaminya: “Pak, anak kita yang nomor dua ini, Kardi, malasnya bukan main. Bersihkan kamar malas, belajar malas. Saya lihat kawan kawannya juga nggak karu-karuan. Mbok jangan dibiarkan to Pak. Nanti jadi apa dia kalau sudah dewasa. Bapak mesti cawe-cawe. Saya yakin dia akan mendengarkan kata-kata ayahnya”.
Ini contoh cawe-cawe yang berkonotasi positif. Namun, ada pula yang mengartikan cawe-cawe itu tidak baik. Contohnya adalah, apa jawaban sang anak, Kardi, yang merasa tidak suka selalu didikte oleh orang tuanya.
Begini kata-kata Kardi: ”Kenapa sih Bapak sama Ibu selalu mencampuri urusan Kardi. Nggak usah cawecawe lah. Ini urusanku, aku yang menentukan”. Ini juga jelas, bagaimana Kardi memaknai kata cawe-cawe yang dianggapnya negatif.
Ada lagi yang ingin saya contohkan. Contoh yang satu ini saya alami sendiri ketika dulu saya mengemban amanah memimpin Indonesia yang kita cintai bersama. Masih ingat benturan keras antara KPK dengan Polri atau yang terkenal dengan istilah “Cicak Lawan Buaya”.
Sebagian pasti masih ingat. Kalau meminjam istilah cawe-cawenya Pak Jokowi, yang saya lakukan dulu mungkin juga termasuk cawe-cawe yang berkonotasi positif. Waktu itu, benturan antara kedua lembaga penegak hukum tersebut memang keras, sehingga menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan publik.
Di kalangan elit penyikapannya juga berbeda-beda. Ada yang mendesak, sambil menyalahkan saya, agar Presiden segera mengambil alih persengketaan itu dengan arah “membela KPK” dan “menyalahkan Polri”.
Ada juga yang tidak setuju kalau Presiden melakukan campur tangan karena penegakan hukum bukan kewenangan Presiden.
Di antara yang tidak setuju itu juga khawatir kalau saya menggunakan instrumen hukum untuk kepentingan politik. Apa yang saya lakukan? Saya memutuskan dan melakukan tindakan untuk menengahi sengketa itu agar segera selesai dan tidak makin menjadi-jadi.
Saya mengundang Ketua KPK dan Kapolri untuk secara intensif segera menyelesaikan kericuhan ini. Selama 2 hari 2 malam, secara maraton kita bikin langkah langkah konkret untuk “menormalisasi” hubungan baik kedua lembaga tersebut, yang alhamdulillah kedua pejabat penting tersebut sepakat dan melakukan langkah-langkah yang saya sampaikan.
Satu catatan kecil, ketika saya tengah menyelesaikan persengketaan tersebut secara maraton, di Jakarta ada unjuk rasa yang lumayan besar dengan membawa spanduk KPK (Ke Mana Presiden Kita). Tetapi saya tidak berang, karena lebih baik saya hemat bicara dulu agar kerja yang saya lakukan tidak gagal.
Singkat kata, benturan dapat diakhiri. Saya tak melampaui kewenangan yang saya miliki. Saya tidak masuk wilayah hukum yang menjadi kewenangan penegak hukum (penyelidik, penyidik, penuntut dan pemutus tuntutan).
Berarti saya tidak melakukan “abuse of power”. Juga tidak melanggar konstitusi dan undang-undang. Saya pikir... ini termasuk cawe-cawe yang positif. Positive intervention.
Saya lebih baik berhenti di sini dalam mengupas kata cawe-cawe, karena bukan istilah cawe-cawe ini yang menjadi pokok perbincangan publik. Bukan.
Yang diperdebatkan adalah apakah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam proses pemilihan presiden mendatang itu, yang oleh banyak kalangan dianggap ikut mengatur siapa-siapa yang diharapkan akan maju sebagai calon presiden dan siapa yang tidak diharapkan maju, ini baik atau tidak baik.
Boleh atau tidak boleh. Benar atau salah. Saya amati inilah yang menjadi inti silang pendapat di kalangan masyarakat kita. Soal salah-benar atau baik-buruk ini memang harus sungguh dimengerti jika kita kaitkan dengan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan.
Kalau ada yang berkomentar “Sebagai seorang Bupati, tak sepatutnya dia ngomong begitu. Pernyataan seperti itu tidak baik,” ini mengait kepada soal etika. Etika berkaitan dengan baik dan buruk.
Sedangkan kalau ada yang mengatakan bahwa “Menteri Perdagangan itu terbukti bersalah karena dia memenangkan perusahaan keluarganya dalam tender yang menyimpang dari ketentuan yang resmi”, berarti itu lebih berkonotasi pada urusan hukum. The Minister is guilty.
Sungguhpun demikian, ada juga baik-buruk atau salah-benar yang tidak serta merta mengarah ke urusan etika dan hukum. Misalnya ungkapan seperti ini “orang itu salah, nggak baik dia, mosok begitu cara memperlakukan temannya”.
Ucapan yang terakhir ini tidak harus dikaitkan dengan etika apalagi hukum. Dalam pembahasan berikut ini, saya lebih menyoroti soal etis atau tidak etisnya sebuah perbuatan, dan juga salah atau benar sebuah perbuatan jika ditinjau dari sisi hukum dan undang-undang.
Kita sering mendengar (di luar negeri), “What has been done by the President is both unethical and illegal”. Artinya perbuatan sang Presiden yang dimaksud sudah tidak etis, melanggar hukum pula.
Nah, dengan kata-kata pengantar tadi, kini saya akan menyampaikan pendapat saya menyangkut cawe-cawe Presiden Jokowi dalam proses Pemilihan Presiden Tahun 2024 mendatang.
Saya termasuk orang yang suka berbaik sangka, ketimbang mudah berburuk sangka. Artinya, saya tak gegabah mengatakan perbuatan seseorang itu buruk dan juga salah, sebelum yang bersangkutan ternyata memang buruk atau salah, atau bahkan keduanya. Apalagi terhadap Presiden kita, Pak Jokowi, saya harus hati-hati.
Dalam dunia pemerintahan, saya selalu memiliki kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dan melakukan tindakan. Kecuali dalam situasi krisis dan darurat, keputusan cepat dan tindakan di lapangan harus saya ambil.
Misalnya manajemen krisis yang saya jalankan dalam kegiatan tanggap darurat bencana tsunami 2004, menangani krisis ekonomi global 2008, menangani pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia 2011 dan emergency yang lain, tentu keputusan dan langkah cepat harus saya lakukan.
Hitungannya bukan hari, tapi jam. Hati-hati tidak berarti tidak berani, tidak tegas dan tidak punya sikap. Misalnya dalam pengambilan keputusan yang sangat fundamental dan strategis tak mungkin saya lakukan secara serampangan.
Mengapa? Saya tidak ingin keputusan yang sangat penting tersebut salah, atau kalau tidak kemudian berkali-kali saya ubah. Bukan begitu kepemimpinan dan manajemen yang saya anut dan jalankan.
Sikap seperti itulah, terutama soal kehati-hatian, yang hendak saya gunakan untuk membedah dan menelaah apakah cawe-cawe yang dilakukan Presiden kita, Pak Jokowi, itu benar atau salah, serta baik atau buruk.
Ada hal yang ingin saya tanggapi terhadap cawecawenya Presiden Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2024 mendatang. Pak Jokowi, ataupun pihak Istana, mengatakan bahwa beliau memang akan melakukan cawe-cawe dalam Pilpres 2024.
Tetapi, itu cawe-cawe yang baik dan demi kepentingan bangsa dan negara. Pendapat saya: Sah-sah saja Presiden Jokowi mengatakan atau berbuat begitu. Apalagi kalau cawe-cawe yang beliau lakukan adalah cawe-cawe yang baik, yang positif.
Saya pikir kita tidak boleh serta merta mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pak Jokowi itu tidak baik atau salah. Itu pendapat saya.
Meskipun saya memiliki pandangan yang secara fundamental berbeda dengan beliau, tak boleh saya mengatakan bahwa yang Pak Jokowi lakukan tidak baik, sebaliknya yang saya lakukan dulu yang lebih baik. Saya menghormati pilihan beliau.
Untuk diingat memang pada Pilpres 2014 dulu saya memilih bersikap netral, dan mempersilahkan baik pasangan Pak Jokowi bersama Pak Jusuf Kalla maupun pasangan Pak Prabowo bersama Pak Hatta Rajasa untuk berkompetisi secara sehat dan demokratis.
Nah, tentang kata-kata bahwa cawe-cawe yang akan dilakukan itu demi kepentingan bangsa dan negara, mungkin ini yang Pak Jokowi perlu berhati-hati. Dalam mengartikan kepentingan bangsa dan negara, khususnya jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 mendatang harus tepat dan tidak bias.
Kepentingan nasional (national interest), tidaklah sama dengan kepentingan politik seorang Presiden atau kepentingan politik sebuah parpol atau pihak manapun.
Banyak literatur yang mendefinisikan kepentingan negara dalam tingkatan mulai yang bersifat hidup matinya sebuah negara (survival interest), disusul dengan kepentingan negara yang vital (vital interests) dan kemudian disusul 9 dengan kepentingan besar (major interests) dan seterusnya.
Terjaminnya keselamatan, kedaulatan dan keutuhan NKRI misalnya itu adalah survival interests. Terlindunginya keamanan negara dan terjaganya ekonomi nasional sering diidentikkan dengan vital interest.
Jadi, kalau mengatakan bahwa cawe-cawe itu demi kepentingan bangsa dan negara perlulah rakyat Indonesia diyakinkan bahwa cawe-cawe Presiden Jokowi benar-benar demi kepentingan bangsa dan negara.
Mengapa rakyat perlu diyakinkan? Ya karena dalam Pilpres mendatang rakyatlah yang akan memilih presiden mereka untuk periode 5 tahun ke depan. Bukan Presiden, bukan MPR, bukan partai politik, bukan pula kalangan orang-orang kaya dalam iklim plutokrasi (money talks).
Sekali lagi yang memilih adalah rakyat Indonesia, pemegang kedaulatan yang sejati. Dari berbagai sumber yang kredibel didapat informasi bahwa Pak Jokowi hanya menghendaki dua pasangan capres-cawapres. Bukan tiga apalagi empat pasangan.
Pendapat saya: Terhadap hal ini menurut pikiran saya tidak ada yang salah dari Presiden Jokowi. Siapapun di negeri ini, termasuk Presiden, tidak dilarang untuk punya kehendak dan harapan. Nothing wrong with him.
Mungkin Pak Jokowi akan melakukan pekerjaan politik untuk mencapai tujuan dan sasaran ini. Politik itu banyak caranya. Yang penting tujuan tercapai, kata sebagian kalangan. Meskipun, sebagian kalangan yang lain berpendapat bahwa cara-cara yang digunakan itu janganlah dengan “menghalalkan segala cara”. Tetapi, dalam politik, soal halal dan tidak halal itu juga subyektif. Tergantung dari mana memandangnya.
Jikalah Pak Jokowi melakukan kerja politik dengan meminta para pimpinan parpol yang tergabung dalam Kabinet Kerja dewasa ini, dan para Ketua Umum Parpol yang mayoritas adalah Menteri dan sepenuhnya mengikuti yang disampaikan presidennya, menurut pendapat saya tidak boleh Pak Jokowi divonis sebagai melakukan tindakan yang salah atau buruk.
Yang bisa membuat cawe-cawe Pak Jokowi menjadi bermasalah adalah apabila beliau melakukan tindakan (bersama dengan pembantu-pembantunya) yang dinilai melanggar hukum dan atau menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) guna mencegah terjadinya pasangan capres-cawapres yang ketiga.
Apabila Pak Jokowi bersama pembantunya-pembantunya bekerja secara “all out” agar para pemimpin parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi tidak membentuk pasangan ketiga disertai semacam ancaman, ya inilah yang bisa menjadi masalah.
Misalnya, sejumlah pemimpin parpol “diancam”, baik langsung maupun tidak langsung, akan diperkarakan secara hukum dan akan masuk ke ranah pengadilan jika mereka tidak menuruti keinginan Pak Jokowi.
Bahasa yang mudah dimengerti oleh publik adalah dia akan dijadikan tersangka dalam proses penuntutan hukum. Konon, Pak Jokowi dan pembantu-pembantunya merasa mengantongi kasus-kasus pelanggaran hukum dari para pemimpin parpol tersebut. Kalau hal ini benar-benar terjadi, atau ya memang begitu yang terjadi, ini akan menjadi kasus yang serius.
Begini pendapat saya mengapa hal ini serius. Jika semuanya ini benar, maka Presiden Jokowi pertama-tama melakukan “politik tebang pilih”. Kalau mengikuti keinginan beliau, meskipun dia punya kasus hukum akan aman.
Sebaliknya, kalau dia mbalelo akan segera dijadikan tersangka dan masuk proses hukum. Ini tidak bisa mencegah tuduhan kepada Presiden Jokowi sebagai tidak etis dan tidak adil.
Pak Jokowi akan dinilai telah mengingkari sumpah yang beliau sampaikan pada tanggal 20 Oktober 2014 dan tanggal 20 Oktober 2019, yang antara lain berbunyi, “... akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.”
Para pencinta keadilan akan mengatakan bahwa apabila para pembantunya memang terlibat dalam pelanggaran hukum yang serius, hukum mesti ditegakkan sebagaimana yang berlaku kepada warga negara Indonesia manapun.
Ingat prinsip-prinsip penegakan hukum yang berlaku secara internasional, yang berbunyi no one is above the law atau juga the law is applied equally and fairly. Yang lebih serius adalah jika seorang Presiden menghalang-halangi sebuah penegakan hukum, itu masuk dalam definisi “obstruction of justice”. Obstruction of justice ini sebuah tindak pidana (crime).
Di negara manapun ada sanksi hukumannya. Dalam UU tentang Tipikor di Indonesia misalnya, perbuatan menghalang-halangi proses hukum yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, diancam dengan hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun.
Kalau hal ini terjadi di negara yang sama-sama kita cintai ini, pantaslah kalau ada kata-kata sumbang bahwa hukum bisa dipermainkan. Negara seperti ini sering dicap bahwa yang menjadi panglima bukan kebenaran dan keadilan, tetapi politik dan kekuasaan.
Secara pribadi saya tidak setuju kalau ada upaya politik untuk membatasi jumlah pasangan Capres-Cawapres. Apa alasannya? Apa kepentingannya? Apanya yang salah kalau lebih dari dua pasang?
Pilpres Tahun 2004, di era pemerintahan Presiden Megawati, tak ada pembatasan semacam itu. Ada lima pasangan Capres-Cawapres yang berkompetisi secara demokratis. Tak ada masalah apapun dengan pasangan sebanyak itu.
Sekarang ini, saya mempercayai bahwa rakyat kita “terbelah” antara yang pro-keberlanjutan dan yang properubahan. Menurut saya kedua aspirasi dan keinginan itu sah. Akan menjadi persoalan besar jika tidak ada pasangan satupun yang dianggap mewakili rakyat yang pro-perubahan.
Separuh rakyat kita bisa marah karena tak ada yang mewakili mereka. Mereka juga sangat kecewa karena tak ada pasangan Capres-Cawapres yang mereka bisa titipkan harapan dan aspirasinya. Kalau separuh rakyat kita marah bagaimanapun akan berakibat pada adil dan damainya Pilpres 2024 mendatang.
Juga diketahui oleh banyak pihak bahwa Pak Jokowi tidak suka dengan Anies Baswedan, dan tidak ingin pula yang bersangkutan jadi Capres. Pendapat saya: Tidak menjadi soal kalau Pak Jokowi tidak suka dengan Pak Anies Baswedan. Itu hak beliau.
Tidak ada yang boleh melarang dan tidak boleh pula Presiden kita disalahkan. Jikalau Presiden Jokowi juga bekerja secara politik agar Pak Anies tidak bisa menjadi capres dalam Pilpres 2024 mendatang itupun tidak melanggar hukum.
Karenanya, tidak salah kalau pihak beliau mengatakan bahwa langkah langkah itu tidak melanggar undang-undang. Ya … politik memang begitu. Nah, yang menjadi persoalan adalah apabila cara yang dipilih oleh pihak Pak Jokowi untuk mencegah Anies menjadi capres itu bertentangan dengan etika seorang Presiden dan apalagi kalau masuk ke wilayah penyalahgunaan kekuasaan.
Bagaimana kira-kira cara yang bisa dilakukan? Misalnya, dicari-cari kesalahan Anies Baswedan secara hukum, dan akhirnya dijadikan tersangka atas pelanggaran hukum tertentu. Kalau memang secara hukum Anies terbukti bersalah, rakyat bagaimanapun mesti menerimanya.
Tetapi, kalau sebenarnya tidak bisa dibuktikan secara hukum bahwa ia bersalah, maka hal ini akan menjadi kasus yang serius. Saya tidak akan membahas dampak seperti apa secara sosial, politik dan keamanan kalau hal itu terjadi.
Saya hanya ingin menyoroti dari sisi etika dan hukum. Kalau memaksakan seseorang untuk menjadi tersangka pelanggaran hukum, padahal tidak bisa dibuktikan secara mengesankan (no strong evidence), ini sebuah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), utamanya kalau memang ada tangan-tangan kekuasaan yang bermain.
Masalah akan menjadi sangat serius kalau secara pribadi Presiden Jokowi memang terlibat dalam hal ini (personally involved). Sebagai seorang sahabat, saya sungguh berharap beliau tidak melakukannya.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk menggagalkan niat dan rencana Anies untuk menjadi capres adalah dengan “mengamputasi” salah satu dari parpol-parpol yang hendak mencalonkannya sebagai capres. Kalau salah satu dari parpol yang bakal mengusung Anies Baswedan sebagai capres tidak lagi memberikan dukungannya, bakal bubarlah koalisi yang tengah “in the making” ini.
Cara seperti apa yang bisa ditempuh sehingga Anies tak bisa maju lantaran koalisinya tak bisa berlayar? Macam-macam. Pertama, melalui kerja politik agar salah satu partai atau lebih membatalkan pencalonannya terhadap Anies.
Atau yang kedua, sebuah partai “dikerjain” sehingga tak lagi bisa mencalonkan seseorang menjadi capres. Kalau menggagalkan koalisi pengusung Anies ini karena hasil kerja politik, saya tidak punya komentar.
Tetapi, kalau sebuah partai sengaja dikerjain agar tak lagi bisa mencalonkan Anies, seperti dugaan banyak kalangan atas PK Moeldoko (Kepala Staf Presiden Jokowi) yang masih berstatus aktif, maka ini juga sebuah masalah yang serius yang dampaknya sangat besar. Dampak yang besar itu bukan hanya bagi Partai Demokrat, tetapi dugaan saya juga terhadap pihak yang tengah berkuasa.
Kalau yang ingin menggagalkan Demokrat untuk mendukung Anies ini memang “nekat, gelap mata dan ingin memamerkan kekuasaan yang dimilikinya”, saya duga akan menjadi perhatian yang luar biasa dari masyarakat luas.
Selebihnya, soal kemungkinan apa yang bisa terjadi silahkan mempelajari sejarah politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia sendiri. Sejarah selalu mengabadikan berbagai cerita tentang solidaritas dan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang dinilai sangat tidak adil dan menindas.
Saya pribadi harus menyampaikan pandangan saya tentang PK KSP Moeldoko, yang mayoritas rakyat kita sangat menentangnya. Dari akal sehat, dari sisi proses hukum yang telah berjalan selama ini, dan dari keabsahan serta caracara Moeldoko ingin mengambil alih Partai Demokrat dari kepemimpinan yang sah, termasuk sangat tidak dipenuhinya syarat untuk sebuah KLB... tidak ada jalan bagi Moeldoko untuk dibenarkan dan dimenangkan dalam pengadilan yang benar dan adil.
Saya masih percaya Mahkamah Agung sebagai simbol benteng kebenaran dan keadilan di negara kita akan tetap amanah, memiliki hati nurani dan akal sehat, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan memberikan putusan yang benar dan adil.
Rasa percaya saya kepada MA dan jajaran pengadilan dalam naungannya juga dilatarbelakangi oleh keseluruhan proses pengadilan yang digelar selama ini yang saya nilai kredibel dan adil. Saya ingin menyampaikan kepada Mahkamah Agung, rakyat Indonesia bahkan masyarakat internasional, akan mengikuti proses pengambilan putusan yang dilakukan oleh MA.
Mengapa dunia peduli, karena perlakuan pihak yang tengah berkuasa terhadap seorang mantan Presiden selalu menarik perhatian dunia. Memang tidak sedikit informasi yang saya dapatkan, dan saya belum bisa melakukan konfirmasi terhadap kebenaran informasi itu, bahwa katanya ada tekanan terhadap MA untuk memenangkan KSP Moeldoko.
Jika benar memang ada tekanan dari “pihak-pihak tertentu atau dari orang kuat” saya berharap MA tidak serta merta mempercayainya. Saya sangat ingat apa yang disampaikan Presiden Jokowi kepada Ketua Umum Partai Demokrat di Istana Bogor, tanggal 9 Maret 2021 sekitar pukul 20.00 WIB.
Waktu itu Ketua Umum Partai Demokrat AHY diundang oleh Pak Jokowi ke Istana Bogor. Dengan didampingi oleh Mensesneg Pratikno, Pak Jokowi menjelaskan secara panjang lebar bahwa intinya beliau “tidak tahu menahu” atas apa yang dilakukan oleh Moeldoko.
Memang ini berbeda dari apa yang dibangun oleh Moeldoko dan para pelaku KLB, bahwa rencana pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah itu mendapatkan “blessing” dari beliau. Sama halnya dengan komentar berbagai kalangan di dalam dan di luar negeri yang menyangsikan jika Pak Jokowi benar-benar tidak tahu. Tetapi, posisi Partai Demokrat, termasuk saya, tetap memercayai dan memegang apa yang disampaikan Pak Jokowi tersebut sebagai kebenaran (truth).
Mengapa cerita ini saya angkat, saya berharap MA tidak begitu saja percaya kalau ada yang memberikan tekanan kepada MA agar memenangkan Moeldoko dan mengalahkan Partai Demokrat yang resmi dan sah, dengan mengatakan bahwa Presiden Jokowi juga merestuinya. Kita tentu tidak ingin Presiden Jokowi difitnah atau dicatut namanya oleh pihak manapun. Dulu, ketika masih memimpin Indonesia, saya juga tidak “happy” kalau difitnah.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa di luar Partai Demokrat yang sepertinya tengah diganggu agar tak lagi bisa mencalonkan Anies menjadi Capres, sangat mungkin tekanan dan kerja politik dilakukan untuk membuat Nasdem dan PKS mengurungkan niatnya untuk mencalonkan Anies.
Sebenarnya, masyarakat luas tidak sulit untuk mengetahui apa yang bakal terjadi ke depan ini. Di era “digital society” ini, sepertinya tak ada yang tidak diketahui oleh masyarakat. Lihat itu percakapan di media sosial, meskipun sering “offside” karena bercampur aduk antara fakta dengan hoax.
Kalau negara merasa apa yang dilakukan itu masyarakat tidak tahu... negara bisa salah. Lebih terang lagi jika kita dengarkan percakapan masyarakat di “warung-warung kopi”. Sekali lagi, rakyat tahu. Jangan under estimate. Masyarakat banyak tahu, meskipun mereka memilih diam. Saya juga tahu dan mendengar, meskipun sama dengan masyarakat luas saya memilih untuk diam dan hemat bicara.
Didapatkan berbagai informasi bahwa Pak Jokowi akan memberikan “endorsement” kepada sejumlah tokoh untuk menjadi Capres atau Cawapres. Pendapat saya: Adalah hak Presiden Jokowi untuk memberikan endorsement kepada siapapun untuk menjadi Capres dan atau Cawapres. Tidak boleh endorsement yang berarti dukungan dan “keberpihakan” itu dianggap keliru.
Tak ada yang boleh melarang dan menghalanginya. Jika untuk menyukseskan “jago” yang didukungnya Presiden Jokowi melakukan kerja politik, menurut pendapat saya itu juga tidak keliru. Tentu dengan catatan beliau tidak menggunakan sumber daya negara untuk menyukseskan kandidat yang dijagokannya itu.
Jika kemudian perangkat negara, termasuk fasilitas dan uang negara digunakan untuk itu, di samping tidak etis juga melanggar undang-undang. Sebagai contoh jika lembaga intelijen (BIN), Polri, TNI, Penegak Hukum, BUMN dan perangkat negara yang lain itu digunakan, jelas merupakan pelanggaran undang-undang yang serius karena bakal membuat Pilpres mendatang tidak lagi jujur dan adil.
Siapapun di negeri ini, tentu termasuk Presiden, jika melakukan perbuatan sehingga sebuah pemilihan umum, termasuk Pilpres, benar-benar tidak bebas, tidak jujur dan tidak adil (istilah lain yang sering kita dengar Pilpres tidak lagi “free and fair”) ini sudah berkategori melanggar konstitusi. Ingat, amanah UUD 1945, “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil …”
Menarik pergunjingan beberapa saat yang lalu ketika putra dan putra menantu Presiden Jokowi maju sebagai calon walikota Solo dan walikota Medan. Sebagian kalangan menganggap itu tidak etis, karena beliau sedang menjabat sebagai Presiden (incumbent).
Menurut pendapat saya tidak bisa serta merta kita mengatakan Pak Jokowi melanggar etika, karena itu tergantung cara memandangnya. Ingat, siapapun di negeri ini memiliki hak dan kebebasan untuk menjadi siapa.
Dalam pemilihan umum, termasuk Pilpres, setiap warga negara (kecuali dilakukan pembatasan oleh putusan pengadilan) memiliki “hak untuk memilih” dan “hak untuk dipilih”, sehingga putra-putra Pak Jokowi juga memiliki hak yang sama.
Yang penting, seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, jangan sampai sumber daya dan perangkat negara digunakan untuk memenangkan putra-putra beliau itu. Kalau itu terjadi, di samping melanggar undang- undang juga membuat Pilkadanya tidak adil. Tidak adil bagi kandidat yang lain beserta para pemilihnya.
Pendapat saya berkaitan dengan tidak boleh dihalanghalanginya putra-putra Presiden Jokowi untuk maju sebagai kandidat apapun (walikota, gubernur, presiden misalnya), mesti berlaku sama bagi warga negara yang lain. Artinya, siapapun yang ingin menjadi capres atau cawapres dalam Pilpres 2024 tidak boleh dihalang-halangi, apalagi jika dilakukan dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut pengakuan dan pernyataan sejumlah pimpinan partai politik, baik secara terbuka maupun tertutup, Pak Jokowilah yang akan menentukan dan memberikan kata akhir siapa pasangan caprescawapres yang mesti diusung oleh partai-partai politik itu.
Pendapat saya: Dalam hal ini, saya berpendapat Pak Jokowi tidak bisa dipersalahkan. Mungkin ada yang bilang beliau melanggar etika karena mengambil alih kedaulatan sejumlah partai politik. Yang menentukan capres dan cawapres seharusnya partai politik yang bersangkutan, bukan Presiden... demikian kata mereka.
Kalau benar-benar yang menentukan siapa capres dan cawapres adalah Pak Jokowi, dan bukan parpol-parpol yang bersangkutan, justru yang mesti dikritisi adalah para pemimpin parpol-parpol itu. Mengapa mau diperlakukan begitu.
Tetapi, kalau para pemimpin beserta seluruh kader parpol tidak menolak peran Presiden Jokowi dalam penentuan capres dan cawapres yang mesti diusung dan didukung, menurut saya ... “urusan selesai”. Kita tidak boleh menyalahkan baik Pak Jokowi maupun para pemimpin Parpol, karena hal itu terjadi atas dasar “mau sama mau”.
Jadi, jika hubungan antara Presiden Jokowi dengan para pemimpin parpol itu, khususnya dalam penetapan capres atau cawapres yang mesti didukung berdasarkan “mau sama mau”, yang juga tidak bertentangan dengan undang-undang, sepenuhnya hak mereka. Sah dan tidak boleh dipersalahkan. Ini pendapat saya, meskipun ketika saya menjadi Presiden dulu jalan yang saya pilih berbeda dengan yang Pak Jokowi pilih.
Sebagai penutup artikel yang saya beri judul “Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi” ini, saya ingin menyampaikan 3 hal.
Pertama, narasi yang saya bangun dalam artikel ini berdasarkan percakapan di ruang publik (berbagai wahana) dan juga informasi dari berbagai sumber terpercaya yang saya peroleh. Karena saya punya karakter “berhati-hati”, terhadap informasi yang sangat penting dan sensitif saya lakukan “cross check”, agar klasifikasi informasi dan intelijen itu menjadi lebih kuat.
Saya tidak ingin salah. Tanpa saya minta, sumber-sumber terpercaya tersebut menyampaikan berbagai informasi ini kepada saya, langsung atau tidak langsung. Memang mereka meminta agar identitasnya “sementara” tidak dibuka. Saya mesti memenuhi permintaan itu, karena saya paham mengapanya.
Kedua, sebagai salah satu “orang tua” di negeri ini, saya harus mengatakan bahwa tindakan yang jelas sangat mengganggu dan berbahaya dalam rangkaian Pemilu 2024 ini sebaiknya dihentikan. Rencana-rencana ke depan yang juga berkategori melanggar hukum dan keadilan sebaiknya diurungkan.
Jangan sampai karena kealpaan dan kesalahan di antara kita, apalagi di pihak yang tengah mengemban amanah (kekuasaan), pemilihan umum yang menjadi milik rakyat Indonesia ini tercoreng. Kalau musibah ini terjadi, sejarah akan mencatat dan rakyat akan mengingat selamanya bahwa pemilu ke 5 di era demokrasi ini tidak bebas, tidak jujur dan tidak adil. Juga bisa tidak damai akhirnya. Kalau ini sungguh terjadi, Ibu Pertiwi akan menangis dan bangsa Indonesia akan kembali berkabung.
Ketiga, apa yang saya sampaikan di artikel ini berangkat dari niat dan tujuan yang baik. Jika banyak yang mengait kepada Presiden kita, Pak Jokowi, ini semata-semata agar beliau tidak melakukan kesalahan yang serius.
Ingat katakata orang bijak “The President Can Do No Wrong”. Artinya “Presiden tidak boleh berbuat salah”. Bukan diartikan “seorang presiden tidak boleh disalahkan, dia selalu benar”. Bukan begitu artinya. Bagi mereka yang membantu dan mengawal Pak Jokowi, bantu dan kawallah secara benar.
Setelah tanggal 20 Oktober 2024 nanti Pak Jokowi akan mengakhiri dharma bhaktinya sebagai pemimpin bangsa. Beliau akan menjadi orang seperti saya. Beliau akan menjadi sahabat saya, sahabat kita semua. Tentu beliau ingin mengakhiri pengabdiannya dengan baik.
Tak ada di dunia ini, Presiden yang tidak ingin mengakhiri pengabdiannya secara soft, happy landing, dan tentunya bukan hard landing, apalagi crash. Beliau juga ingin punya “legacy” dan diingat dengan baik oleh rakyat. Sejatinya kita semua harus “mengawal” dan “mengamankan” beliau agar mimpi-mimpi indah beliau dikabulkan oleh Allah SWT.