Rumoh Geudong dan Baharuddin Lopa
Font: Ukuran: - +
Tragedi Rumah Geudong (Museum HAM Lorong Ingata/LAN)
DIALEKSIS.COM | Setiap disinggung tentang Rumoh Geudong saya selalu teringat sosok mendiang Baharuddin Lopa, salah satu pejabat yang tegas dan bersahaja yang pernah dipunyai Indonesia.
Pada Agustus 1998 Baharuddin Lopa memimpin tim Komnas HAM untuk melakukan investigasi di Rumoh Geudong sebuah Pos Sattis aparat non organik di Pidie yang kemudian jadi icon kekerasan konflik di Aceh. Meski hanya beberapa hari ikut mendampingi tim Komnas HAM kala itu saya sempat juga merasakan aura ketegasan dan kesederhanaan pria yang pernah menjadi Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman tersebut.
Saat nginap di hotel kelas melati di Sigli dengan santai Lopa nongrong bersarung dan juga minta tikar untuk tidur di lantai: lebih nyaman katanya. Dan saat momen yang memerlukan nyali yang kuat ia tidak surut.
Ketika tim tiba di area Rumah Geudong beberapa prajurit masih disana dengan wajah tak bersahabat, beberapa anggota tim mulai was-was karena saat itu masih konflik apa saja bisa terjadi. Namun Pak Baharuddin Lopa menemui para tentara dan minta bicara dengan komandan mereka. Tak lama satu per satu tentara tersebut menghilang dari lokasi dan agenda investigasi dilanjutkan.
Saat tim tiba area Rumoh Geudong, kawasan tersebut terlihat sudah dibersihkan sebelum tim datang, namun tidak semua bukti-bukti kekerasan bisa disembunyikan. Beberapa tulang jemari, tulang kaki, rambut manusia dan bercak darah masih ditemukan di pekarangan dan dalam rumah yang dibangun ulee balang Raja Lamkuta tahun 1818 tersebut.
Saat obeservasi lokasi dan wawancara saksi dilakukan warga terus berdatangan. Yel-yel kemarahan disuarakan lantaran mereka paham kekejaman yang telah terjadi ditempat tersebut. Setelah dirasa cukup tim bergerak ke Sigli, namun lima belas menit kemudian saya di telpon penghubung lapangan menginformasikan Rumah Geudong sudah dibakar. Saat kami kembali api masih marak di lokasi dan bangunan Rumah Geudong tinggal puing. Headline Serambi Indonesia hari ini mengabarkan lokasi tersebut sedang dibersihkan untuk kunjungan Jokowi dalam Rangka kick off Penyelesaian Pelanggaran HAM.
Kembali ke Baharuddin Lopa. Gus Dur saat menjadi Presiden menyebutnya sebagai Tiang Langit Bumi Indonesia. Sejak usia muda ia telah menjadi jaksa yang berani. Saat menjadi Kajati di Kalbar ia menangkap para penimbun beras sehingga terjadi gesekan dengan Bustanil Arifin yang saat itu menjadi Kepala Bulog.
Bustanil meminta Ismail Saleh sebagai Jaksa Agung menggeser Lopa dari Kalbar. Bustanil pernah menulis "Saya lihat, manusia yang namanya Baharuddin Lopa ini, orangnya sangat keras sekali. Saya mendengar Baharuddin Lopa memeriksa, menginterogasi para penyalur beras, karena harga beras naik di Kalbar. Mereka ada yang ditahan.
Sebagai Kabulog, saya risau waktu itu. Saya tanya teman-teman perihal Baharuddin Lopa. Katanya, Lopa itu memang orang yang keras dan jujur. Rumahnya sederhana. Karena kejujurannya, dia tidak mau kompromi, dan tidak ada toleransi atas penyelewengan yang terjadi. Sebagai Kabulog saya minta Ismail Saleh untuk memindahkan Pak Lopa dari Kalbar," tulis Bustanil yang pada Orde Baru dianggap representasi Aceh di kabinet Soeharto. Kemudian Baharuddin Lopa dipindahkan ke Sulawesi Selatan.
"Di Sulsel, ternyata Lopa masih keras juga” lanjut Bustanil dalam tulisannya “Dolog dan Puskud mengeluh. Saya berusaha mengenalnya. Kepada Pak Ismail Saleh, saya bilang ingin mengenalnya. Pak Ismail bersedia memperkenalkannya. Nah, pada suatu kesempatan saat makan siang, Rapat Jaksa Tinggi Se-Indonesia, saya dikenalkan kepada Lopa.
Astaga…., ternyata, Lopa itu orangnya halus, tidak segalak tindakannya. Kulitnya bersih dan rapih,” kenang Bustanil. Kesan Pak Bustanil ini juga saya rasakan saat pertama bertemu Lopa, saat berkomunikasi biasa ia sangat lembut, dan dari penampilan yang kita lihat pertama adalah kulitnya yang putih halus.
Baharuddin Lopa pernah juga menjadi Kajati di Aceh tahun 1971. Di Aceh ia sempat juga membuat heboh para penguasaha yang saat itu banyak melakukan penyeludupan dari Pelabuhan Sabang. Baharuddin Lopa memerintahkan agar semua barang di atas truk, diperiksa termasuk truk bahan bakar. Sebab, sering terjadi kamuflase, ada penyelundupan, dan barang yang tidak jelas atau yang diselundupkan, harus disita.
Demikian juga kapal-kapal yang tidak dilengkapi dokumen atau ketahuan menyelundupkan barang juga langsung disita, diproses hukum, dirampas untuk negara, dilelang dan hasilnya disetor ke kas negara. Termasuk koperasi-koperasi milik tentara. Panglima Kodam Iskandar Muda, Brigjen Teuku Hamzah setelah menerima laporan beberapa dandim, langsung memerintahkan Perwira Kehakiman Kodam Kolonel Mohammad Haji, agar menemui Kajati Lopa untuk berunding mencari jalan tengah.
Namun bagi Lopa yang ada hanya hitam dan putih. Pada akhirnya Kolonel Muhammad Haji yang juga menantu Abu Beureueh itu setuju dengan tindakan Lopa yang tak kenal kompromi.
Saat menjabat sebagai Jaksa Agung Lopa membuat ketar ketir penguasa kelas kakap, saat baru menjabat ia langsung menggebrak, ia membuka kembali kasus korupsi Soeharto, mencekal Marimutu Sinivasan ke luar negeri; mengancam Sjamsul Nursalim yang berada di Jepang; meminta Prayogo Pangestu di Singapura yang sedang berobat untuk segera pulang; memproses kasus Ketua DPR Akbar Tandjung dan kasus Nurdin Halid. Ia juga yang mengantarkan Bob Hasan ke Nusakambangan.
Namun sayang hanya sebulan setengah menjabat sebagai Jaksa Agung satria hukum itu meninggal dunia. Beliau wafat setelah muntah-muntah saat melaksanakan umrah di tanah suci. Tekadnya menghidupkan lembaga kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum yang sesungguhnya pudar seiring kepergiannya.
The Associated Press di Amerika Serikat lewat edisi 4 Juli 2001 memberitakan: ‘Indonesia’s Anti-corruption Crusader has Died' “Crusader adalah pendekar yang teguh dalam perjuangan, dan Baharudin Lopa pantas untuk disebut sebagai pejuang nomor wahid yang menentang korupsi,” tulis Rosihan Anwar dalam Petite Histoire Indonesia.
Lopa juga dikenal sangat bersahaja dan tidak mau menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Rumahnya sederhana untuk ukuran pejabat, di depannya ada warnet untuk tambahan pemasukannya.
Pernah sekali seorang pengusaha mengantarkan parcel ke rumahnya, saat Lopa pulang melihat parcel itu sudah sedikit terbuka dan ada sekeping coklat yang diambil dia meminta anaknya segera mencari coklat yang sama dan mengembalikan parcel tersebut.
Dia larang Istrinya naik mobil dinas “hanya” untuk pergi ke pasar. Dia menolak pemberian 10 ribu dollar AS dari teman masa kecilnya. Dia juga sering pinjam sepatu ajudannya. Dia juga pernah ke acara pernikahan menjadi saksi nikah naik angkutan umum. Orang-orang heran kenapa dia dia tidak bawa mobil dinasnya, ternyata karena hari itu hari minggu, Lopa tidak mau menggunakan mobil dinas di hari libur.
Jika mau ditelusuri banyak kisah kejujuran juga kelurusan lain dari sosok Baharuddin Lopa yang di Indonesia mungkin dianggap sebagai pejabat ekstrim.
Penulis
Lukman Age