DIALEKSIS.COM | Feature - Air mata Pocut Khansa dan Raja tak mampu mereka sembunyikan. Dalam perjalanan kembali menuju Banda Aceh, deretan luka bencana tersaji di sepanjang jalan. Rumah-rumah terendam lumpur, bangunan rusak berat, bahkan sebagian lenyap terseret banjir dan longsor. Di sekitar jalan raya dan gedung perkantoran Kabupaten Pidie Jaya, anak-anak tampak duduk di tenda darurat, memeluk lutut, menunggu hari-hari yang tak pasti.
Sebagian warga terpaksa mengungsi setelah tempat tinggal mereka tak lagi layak dihuni. Sudah hampir 20 hari para korban, termasuk anak-anak, bertahan di posko dan tenda sementara. Di usia yang seharusnya dipenuhi tawa dan permainan, mereka justru harus belajar tentang kehilangan dan ketabahan lebih cepat dari waktunya.
Pemandangan itulah yang menggugah nurani Pocut Khansa dan Raja. Di tengah perjalanan, keduanya mendadak meminta kendaraan berhenti. Dengan mata berkaca-kaca, mereka memohon kepada sang ayah, Teuku Yusriadi, agar mengajak mereka masuk ke area camp pengungsian.
“Abi, stop… Kakak dan Raja mau lihat tenda. Kasihan sekali anak-anak di sana. Uang jajan bulanan kami dipotong saja, Abi belikan biskuit, susu, dan mainan untuk mereka,” ucap Raja pelan, namun penuh makna.
Permintaan sederhana itu menghentak kesadaran orang dewasa di sekitarnya. Tanpa diskusi panjang, Teuku Yusriadi segera membeli makanan ringan, susu, serta beberapa permainan anak. Ia tahu, yang dibutuhkan para pengungsi bukan hanya bantuan materi, tetapi juga kehadiran, perhatian, dan rasa bahwa mereka tidak dilupakan.
Ketika paket-paket kecil itu dibagikan, tenda-tenda pengungsian mendadak dipenuhi senyum dan tawa. Anak-anak yang sebelumnya murung kembali menemukan keceriaan, meski hanya untuk sesaat. Di mata mereka, Pocut dan Raja bukan sekadar pemberi bantuan, melainkan teman yang datang membawa harapan.
Kisah ini mengajarkan bahwa kemanusiaan tidak selalu lahir dari kelimpahan, melainkan dari keikhlasan. Di tengah bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah kabupaten/kota di Aceh, dampak sosial paling dalam justru dirasakan oleh anak-anak. Mereka kehilangan rumah, ruang bermain, bahkan ruang belajar akibat sekolah yang terendam lumpur.
Momentum libur sekolah yang seharusnya menjadi waktu bahagia berubah menjadi hari-hari penuh keterbatasan. Karena itu, kehadiran anak-anak lain untuk berbagi cerita, permainan, dan tawa di pengungsian menjadi terapi sosial yang tak ternilai.
Pocut Khansa dan Raja memberi teladan bahwa empati bisa ditanamkan sejak dini. Menyisihkan uang jajan bukan soal jumlah, melainkan tentang keberanian berbagi dan kepekaan melihat penderitaan orang lain. Semoga akan tumbuh lebih banyak anak-anak dengan hati seluas mereka, yang memilih peduli di saat banyak orang memilih berpaling.
Dan di atas segalanya, semoga musibah ini segera berlalu, ditangani secara menyeluruh oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Agar anak-anak pengungsian dapat kembali ke rumah, kembali ke sekolah, dan kembali menata masa depan”bukan dengan trauma, tetapi dengan harapan yang tetap menyala.