Beranda / Feature / Wastra Aceh, Kain yang Menjaga Ingatan

Wastra Aceh, Kain yang Menjaga Ingatan

Sabtu, 10 Agustus 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia
Koleksi wastra yang dipamerkan di Museum Aceh hingga akhir tahun 2024. [Foto: dok. Disbudpar Aceh]

DIALEKSIS.COM | Feature - Dalam lorong-lorong sunyi Museum Aceh, waktu seolah berhenti. Udara beraroma nostalgia menguar dari kain-kain yang tergantung dengan anggun, memamerkan keindahan dan kebijaksanaan kain tradisional (wastra) yang mereka bawa sejak berabad-abad lalu.

Pameran “Serat-serat Indah Wastra Nusantara” yang digelar sejak pertengahan Juli hingga akhir tahun 2024 itu menjadi saksi perjalanan sejarah yang teranyam dalam tenun dan songket. Di setiap helaian benang, di setiap motif yang terpahat, ada warisan yang mengalir diam-diam, seperti bisikan lembut dari leluhur, lambang kebanggaan, dan ekspresi jiwa.

Songket bermotifkan Pinto Aceh pernah menjadi pintu yang membuka mata dunia ketika kain ini tampil di Paris Fashion Week pada 2022. Namun, lebih dari sekadar kemewahan di atas panggung mode, ia adalah lambang kebanggaan Aceh yang tak lekang oleh zaman.

"Motif wastra Aceh sangat menarik dan berkarakter kuat, seperti motif Pinto Aceh. Di daerah lain tidak ada motif Pinto Aceh, bahkan yang mirip pun tidak ada" kata Wignyo Rahadi, perancang mode kenamaan yang membawa kain tersebut ke kancah internasional.

Motif-motif pada wastra Aceh bukan sekadar gambar. Ada kisah tentang keteguhan, keindahan, dan rasa hormat yang tertanam. Seperti Kain 12 Hah, yang dahulu digunakan sebagai penutup kepala. Di atasnya terlukis kaligrafi indah dengan nama Allah, menandakan betapa masyarakat Aceh menjaga kehormatan dan kesucian diri.

“Dulu, menenun adalah bagian dari hidup kami,” tutur Novita, dosen Prodi PKK Universitas Syiah Kuala, dalam sebuah diskusi di pameran tersebut. “Dalam adat Aceh dahulu, gadis yang tak pandai menenun akan dianggap kurang cakap dalam kehidupan”.

Hal itu tercermin dalam hadih maja atau peribahasa Aceh yang berbunyi “tayue peu-ek ie beukah tayeuen, tayue pok teupeun keundo asoe”. Artinya, “disuruh mengangkat air pecah tempayan, disuruh menenun kendur kainnya”.

Namun, wastra Aceh bukan hanya tentang masa lalu. Hari ini, di tengah derasnya arus globalisasi, ada upaya untuk membangkitkan kejayaan ini. Melalui pameran di Gedung Temporer Museum Aceh, kain-kain yang dulu mengalahkan sutra India dan Tiongkok kembali bersinar. Pameran wastra ini menjadi seperti napas segar yang menghidupkan kembali benang-benang yang hampir putus.

Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal saat melihat ragam Wastra (kain tradisional) di Museum Aceh. [Foto: dok. Disbudpar Aceh]

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (Disbudpar Aceh), Almuniza Kamal, menegaskan pentingnya menjaga warisan ini. “Kami ingin generasi muda menyadari betapa berharganya warisan ini. Ini bukan hanya tentang kain, tetapi juga identitas dan potensi ekonomi yang luar biasa,” ujarnya.

Potensi itu, seperti yang dijelaskan Almuniza, bukan hanya sebatas cerita nostalgia. Wastra Aceh pernah menjadi barang dagangan yang mampu menyaingi sutra dari India dan Tiongkok. Bahkan, nilainya lebih tinggi di pasar internasional pada abad ke-16. Sutra Aceh menjadi alat diplomasi, membangun hubungan antara kerajaan Aceh, India, dan Tiongkok.

Di antara 58 koleksi wastra yang dipamerkan, ada kain tenun Tolaki dari Sulawesi Tenggara, songket Bali, hingga selendang Silungkang dari Palembang. Tetapi, tenun dan songket Aceh memiliki keunikan tersendiri. Motif-motifnya terinspirasi dari alam, bunga-bunga, daun, bahkan hewan yang hidup di sekitarnya. Ini adalah refleksi hubungan erat masyarakat Aceh dengan lingkungan mereka, sebuah harmoni yang teranyam dalam kain.

Namun lebih dari sekadar mode, wastra Aceh merupakan simbol keberlanjutan. “Kita tidak hanya bicara tentang kain, tapi ekosistemnya,” kata Wignyo. Dari hulu ke hilir, dari tangan penenun, desainer hingga ke panggung mode internasional, kolaborasi menjadi kunci untuk membawa wastra Aceh semakin mendunia.

Dan di situlah letak kekuatan wastra. Bukan hanya keindahan, tetapi cerita yang dibawa setiap helainya. Ketika kita mengenakannya, kita sedang merajut benang masa lalu, kini, dan masa depan menjadi satu. Wastra Aceh bukan hanya kain. Ia adalah napas budaya, suara leluhur, dan kebanggaan yang tak pernah pudar. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI