DIALEKSIS.COM | Lhoksumawe - Budaya membaca dan menulis di kalangan generasi muda Aceh dinilai masih memprihatinkan. Hal ini diungkapkan oleh Kamaruzzaman Abdullah, seorang penjual buku online sekaligus penggiat literasi yang selama ini aktif mendorong minat baca masyarakat di Aceh melalui berbagai kegiatan lapangan, termasuk lapak buku keliling.
Menurutnya, budaya literasi belum menjadi kebiasaan yang melekat dalam keseharian anak muda Aceh. “Kita masih melihat rendahnya minat baca dan menulis di kalangan anak - anak muda Aceh. Banyak yang lebih akrab dengan media sosial ketimbang buku. Padahal, buku adalah jendela pengetahuan,” ujar Kamaruzzaman saat dihubungi Dialeksis, Jumat (25/7/2025).
Ia menyebutkan bahwa kondisi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah atau pemerintah, tetapi juga memerlukan peran aktif dari keluarga, komunitas, dan lingkungan sekitar.
"Anak-anak muda kita saat ini jarang sekali yang datang ke lapak buku untuk sekadar membaca atau berdiskusi. Sebagian besar lebih memilih menghabiskan waktu dengan gawai," tambahnya.
Kamaruzzaman yang dikenal sebagai penjaja buku online itu menyatakan bahwa literasi tidak cukup hanya dengan membaca buku, tetapi juga dengan menulis sebagai bentuk ekspresi dan pemahaman terhadap apa yang dibaca.
"Membaca itu penting, tapi menulis juga jauh lebih penting karena dari situlah daya nalar, daya kritis, dan kemampuan menuangkan ide bisa diasah," tegasnya.
Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap minimnya karya tulis yang dihasilkan anak-anak muda Aceh, baik dalam bentuk esai, puisi, maupun tulisan ilmiah. Menurutnya, generasi muda saat ini cenderung konsumtif terhadap informasi, namun minim dalam memproduksi gagasan.
“Kalau kita tanya hari ini, berapa banyak anak muda Aceh yang rutin menulis jurnal, opini, atau artikel? Hampir bisa dihitung dengan jari. Padahal, Aceh punya sejarah panjang dengan tokoh-tokoh pemikir dan penulis hebat,” ungkap pria yang telah lebih dari satu dekade bergelut dalam dunia literasi ini.
Ia juga menyoroti kurangnya ruang-ruang literasi yang inklusif dan menyenangkan di Aceh. “Ruang diskusi, pojok baca, komunitas menulis itu masih sangat terbatas. Pemerintah dan masyarakat seharusnya melihat literasi sebagai investasi jangka panjang,” katanya.
Sebagai langkah kecil, Kamaruzzaman berharap agar pemerintah daerah dan lembaga pendidikan serius membenahi kurikulum yang mendorong anak-anak untuk lebih gemar membaca dan menulis. Selain itu, ia juga mengajak para pemuda untuk aktif dalam komunitas literasi dan mulai membiasakan diri menulis apa pun yang mereka pikirkan dan alami.
“Saya selalu bilang, jangan takut menulis. Tulis saja dulu. Lama-lama akan menjadi kebiasaan yang membentuk karakter. Dunia ini tak hanya butuh orang pintar, tapi juga orang yang bisa menyampaikan pikirannya secara tertulis,” pungkasnya pria terkenal humble ini.