DIALEKSIS.COM | Aceh - Seorang perempuan berinisial H (43) ditemukan tewas di dalam kamar rumahnya di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, pada Jumat malam (30/5/2025). Diduga pelaku adalah suaminya sendiri, S (54), yang menenggelamkan korban dengan motif cemburu karena korban kerap melakukan siaran langsung (live) di aplikasi TikTok.
Kabar itu memantik keprihatinan berbagai kalangan, termasuk dari Psikodista Konsultan. Direktur Psikodista Konsultan, Dra Nur Janah Alsharafi, Psikolog MM, angkat bicara dan memberikan pandangan psikologis terkait kasus ini.
Menurut Dra Nur Janah Alsharafi, kecemburuan merupakan salah satu emosi negatif paling kuat yang dapat memicu tindak kekerasan di antara pasangan.
“Kecemburuan sejatinya adalah perasaan manusiawi, namun ketika tidak dikelola dengan baik, ia bisa bereskalasi menjadi destruktif,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Minggu, (1/06/2025)
Lebih lanjut, Nur Janah menerangkan bahwa pola komunikasi di era digital khususnya aktifitas live streaming di platform seperti TikTok dapat memperbesar ruang rasa cemburu apabila salah satu pihak merasa tidak aman atau terancam.
“Ketika seseorang menampilkan kehidupan pribadi secara terbuka, terutama interaksi dengan pengikut di media sosial, pasangan yang kurang percaya diri berisiko merasa tidak berdaya dan curiga berlebihan,” jelasnya.
Psikolog ternama ini menekankan bahwa media sosial sejatinya bukanlah akar masalah, melainkan sebuah medium yang dapat memicu atau memperkuat konflik yang sudah ada.
“TikTok atau platform live streaming lain hanyalah cermin; apa yang dipertontonkan bisa jadi memperlihatkan ketidakseimbangan dalam komunikasi antar-pasangan,” kata Dra Nur Janah.
Ia menambahkan, “Dalam kasus H dan S, kecemburuan ini kemungkinan sudah menumpuk sejak lama. Setiap kali H melakukan siaran langsung, S mungkin merasa terpinggirkan”perasaan yang terpendam tanpa ada saluran untuk didiskusikan.”
Berdasarkan pengamatan Dra Nur Janah, beberapa tanda kecemburuan yang dapat berpotensi berbahaya meliputi, kontrol terhadap aktivitas pasangannya,”misalnya, melarang pasangan untuk berteman atau berinteraksi dengan orang lain di media sosial,” jelasnya.
Hal lain menurutnya dipicu ketidakpercayaan berkepanjangan, sekalipun tidak ada bukti langsung perselingkuhan, rasa curiga terus-menerus muncul.
“Perubahan sikap drastis dimana menjadi lebih tertutup, mudah marah, atau agresif ketika mengetahui pasangannya sedang online atau mendapat perhatian netizen, belum ada lagi perilaku seseorang melakukan isolasi sosial terhadap pasangannya untuk bertemu keluarga atau teman, agar tidak “dipengaruhi” oleh lingkungan luar,” tegasnya.
“Jika sikap-sikap ini mulai tampak, pasangan perlu segera membuka komunikasi atau mencari bantuan profesional,” ujar Nur Janah. Tanpa upaya meredam, emosi cemburu bisa membesar menjadi kekerasan fisik seperti yang menimpa H.
Sebagai Direktur Psikodista Konsultan, Dra Nur Janah menggarisbawahi pentingnya konseling pranikah maupun konseling pasangan secara berkala, terlebih di zaman di mana kehidupan personal kerap terekspose di media digital.
“Banyak pasangan menganggap wajar jika ‘pamer’ kebersamaan atau interaksi di media sosial. Namun sesungguhnya, tanpa kesadaran diri dan komunikasi yang sehat, kebiasaan tersebut bisa memantik ketidakamanan pada salah satu pihak,” kata Nur Janah.
Ia menyarankan agar calon pengantin maupun pasangan suami istri aktif mengikuti sesi konseling untuk memetakan potensi konflik yang bisa muncul. “Di sana, kami memberikan teknik mengelola emosi, membangun kepercayaan, dan strategi untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi.”
Dalam kasus H dan S, desa Kuta Krueng sempat menjadi saksi bisu percekcokan pasangan suami istri tersebut. Beberapa tetangga mengaku pernah mendengar suara cekcok sebelum tragedi terjadi. Dra Nur Janah mengingatkan bahwa lingkungan keluarga besar maupun tetangga dekat memiliki peran penting untuk memberi ruang dialog.
“Kadang, persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan duduk bersama, malah menumpuk karena malu atau gengsi. Apabila keluarga besar maupun tetangga mengetahui ada ketegangan, sebaiknya mencoba memfasilitasi agar konflik tidak memuncak,” jelasnya.
Ketika ditanyakan langkah pencegahan dan edukasi masyarakat, Nur Janah menegaskan memandang kasus ini sebagai alarm, selanjutnya dirinya berpesan kepada masyarakat untuk; meningkatkan kesadaran literasi digital, memahami dampak positif dan negatif penggunaan media sosial, menjalin komunikasi terbuka, pastikan suami istri memiliki jadwal “digital detox” atau diskusi rutin tanpa gangguan gawai, dan melibatkan lembaga profesional, serta Bila ketegangan sudah tidak terkendali, segera cari bantuan psikolog atau konselor pernikahan.
“Di era di mana eksistensi di media sosial bisa menjadi ajang pencitraan, kita butuh kesadaran kolektif: bahaya iri hati dan cemburu dapat mengintai siapa saja,” tegas Nur Janah.
Tragedi yang menimpa H (43) di Pidie Jaya seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia untuk lebih peka terhadap tanda-tanda awal konflik rumah tangga yang dipicu kecemburuan. Menurut Dra Nur Janah, “Kunci utamanya adalah edukasi psikologis, baik melalui kampanye di media sosial, program konseling gratis di tingkat desa, maupun pendampingan keluarga.”
Saran psikolog Nur Janah pentingnya peran struktur kearifan lokal agar memberikan pemahaman kepada keluarga di lingkungan agar arif dan bijak menggunakan platform sosial media. Selain itu katanya harus ada kesadaran diri setiap orang untuk cerdas dan mampu mengetahui batasan fungsi penggunaan sosial media untuk mendukung hal positif, bukan malahan sebaliknya.
Dengan demikian, diharapkan kejadian serupa dapat diminimalisir. “Setiap konflik, termasuk kecemburuan, seharusnya tidak berakhir tragis jika kita cepat menyadari gejalanya dan membuka ruang diskusi,” pungkasnya.