Kamis, 27 November 2025
Beranda / Gaya Hidup / Fenomena Warung Kopi Banda Aceh Diserbu Warga saat Listrik Padam

Fenomena Warung Kopi Banda Aceh Diserbu Warga saat Listrik Padam

Kamis, 27 November 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Dosen STAIN Tgk Chik Dirundeng, Dr. Muhajir Al-Fairusy, M.Si, menilai fenomena tersebut tidak sekadar reaksi spontan masyarakat terhadap pemadaman, tetapi berkaitan erat dengan struktur budaya Aceh yang telah mengakar lama. [Foto: for dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemadaman listrik berhari-hari di Banda Aceh akibat robohnya tower PLN setelah banjir memunculkan fenomena sosial yang unik. Hampir seluruh warung kopi yang menyediakan listrik dan jaringan internet dipadati warga hingga tengah malam bahkan menjelang subuh. 

Ruang-ruang ngopi di berbagai sudut kota berubah menjadi tempat pelarian sementara bagi masyarakat yang membutuhkan penerangan, koneksi, dan ruang berkumpul.

Dosen STAIN Tgk Chik Dirundeng, Dr. Muhajir Al-Fairusy, M.Si, menilai fenomena tersebut tidak sekadar reaksi spontan masyarakat terhadap pemadaman, tetapi berkaitan erat dengan struktur budaya Aceh yang telah mengakar lama.

“Dari perspektif antropologi, fenomena masyarakat Aceh yang beraktivitas di kedai kopi hingga tengah malam dan menjelang pagi saat padam listrik dapat dipahami melalui beberapa konsep,” ujar Muhajir kepada Dialeksis saat dihubungi, Kamis (27/11/2025).

Ia menjelaskan bahwa kopi dan kedai kopi dalam kultur Aceh memiliki posisi sebagai simbol sosial. Kedai kopi bukan hanya tempat menikmati minuman, tetapi menjadi ruang interaksi yang amat penting. Di sana masyarakat berkumpul, berdiskusi, memperbarui informasi, hingga membangun jejaring sosial.

Menurutnya, budaya ngopi juga semakin menguat seiring ketergantungan masyarakat pada media sosial dan internet. 

“Dorongan untuk tetap terhubung, baik secara sosial maupun digital, membuat kedai kopi menjadi tempat yang menstruktur dalam kehidupan masyarakat. Ini sudah menjadi budaya,” katanya.

Muhajir juga menyebut padatnya warung kopi saat listrik padam dapat dipahami sebagai mekanisme koping. Saat menghadapi kondisi sulit atau frustrasi akibat pemadaman, warga menjadikan kedai kopi sebagai tempat melarikan penat, mencari hiburan, serta mengalihkan stres.

Selain itu, fenomena ini menunjukkan adaptasi masyarakat Aceh terhadap kesulitan. Dengan berpindah ke warung kopi, aktivitas tetap berjalan, komunikasi tidak terputus, dan produktivitas dapat dipertahankan meski di rumah gelap gulita.

Tidak kalah penting, kedai kopi berperan sebagai ruang yang memperkuat solidaritas dan kebersamaan. “Saat padam listrik, kedai kopi menjadi tempat masyarakat berkumpul, saling membantu, berbagi informasi, dan memperkuat ikatan sosial,” ujar Muhajir.

Ia menegaskan, perilaku masyarakat yang memenuhi kedai kopi saat pemadaman bukanlah hal yang muncul tiba-tiba, tetapi merupakan refleksi mendalam dari budaya Aceh yang kuat, adaptif, dan komunal.

“Fenomena ini dapat kita pahami sebagai bagian dari kebudayaan dan tradisi Aceh yang menekankan kebersamaan. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat mampu beradaptasi dan mengembangkan mekanisme koping dalam menghadapi kesulitan. Itu saja yang dapat saya pahami,” tutupnya. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI