Jakarta dan Risiko Olahraga di Tengah Polusi Udara
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
dr. Hendra Kurniawan, M.Sc,Sp.P spesialis Paru terkenal. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Jakarta kembali menjadi sorotan setelah ajakan untuk membatalkan sebuah festival lari viral di media sosial. Banyak pihak mempertanyakan keselamatan olahraga di tengah kualitas udara yang buruk, yang dinilai berisiko bagi kesehatan paru dan sistem kardiovaskular.
"Iya, Sabtu kemarin dari pagi aktivitas golf di Jakarta. Gak enak banget udaranya. Napas susah, mata perih," tulis salah satu pengguna di media sosial X, seperti dikutip Dialeksis.com, Selasa (19/11/2024).
"Pantas tadi pagi bengek banget pas lari di GBK (Stadion Gelora Bung Karno), mana banyak event di GBK," ungkap pengguna lain.
"Dari kemarin Jakarta berkabut, yang diduga bukan mendung. Itu sebabnya saya selalu ragu ikut lari di Jakarta," ujar seorang pengguna lainnya.
Risiko Kesehatan di Tengah Polusi Udara
Menanggapi kekhawatiran tersebut, spesialis paru, dr. Hendra Kurniawan, M.Sc,Sp.P, memberikan penjelasan rinci mengenai bahaya olahraga di lingkungan dengan kualitas udara buruk. Menurutnya, aktivitas fisik, khususnya yang berintensitas tinggi, di tengah polusi udara dapat memicu masalah kesehatan serius.
"Paparan polutan dalam jangka pendek, baik beberapa menit atau jam, dengan kadar di atas ambang batas, bisa menimbulkan masalah akut seperti iritasi akibat partikel dan gas polutan," ujarnya kepada Dialeksis.com (19/11/2024).
Keluhan seperti hidung berair, bersin-bersin, sakit tenggorokan, dan batuk menjadi gejala umum yang sering muncul. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penderita asma atau penyakit paru-paru kronis berisiko tinggi mengalami serangan yang lebih parah.
Panduan Aktivitas Berdasarkan Kadar Polusi
Dr. Hendra juga menjelaskan kategori tingkat polusi udara:
- Tidak sehat pada kelompok sensitif
- Tidak sehat
- Sangat tidak sehat
- Berbahaya (beracun)
Pada level "berbahaya," ia menegaskan bahwa semua aktivitas luar ruangan harus dihentikan. Sedangkan pada level "tidak sehat," olahraga ringan hingga sedang masih diperbolehkan, namun dengan batas waktu maksimal 30–45 menit.
"Lebih dari waktu tersebut tidak dianjurkan lagi, terlebih bagi kelompok sensitif," tambahnya.
Ajakan untuk membatalkan kegiatan olahraga di tengah kualitas udara yang buruk ini menjadi pengingat bahwa kesehatan harus menjadi prioritas utama. Menurut dr Hendra masyarakat Jakarta diimbau untuk lebih memperhatikan kondisi lingkungan sebelum beraktivitas fisik. Penggunaan masker, aplikasi pengukur kualitas udara, hingga memilih waktu olahraga di pagi atau malam hari dengan polusi lebih rendah menjadi langkah preventif yang disarankan.
"Kesehatan jangka panjang, terutama di kota besar seperti Jakarta, sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dan kesadaran akan risiko lingkungan. Dengan informasi yang tepat, masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijak untuk tetap aktif sekaligus menjaga kesehatan,"tutupnya.