DIALEKSIS.COM | Jakarta - Belakangan, publik dikejutkan oleh praktik pemakaian minyak babi (lard) di sejumlah rumah makan yang mengklaim sukses menarik banyak pelanggan. Minyak babi, yang diperoleh dari lemak perut, bokong, dan bahu babi, memang dikenal memiliki titik asap tinggi dan dipercaya mampu menambah kerenyahan serta kelezatan makanan.
Sorotan tertuju pada kasus ayam goreng “Widuran” di Solo, Jawa Tengah. Meski populer, ayam kremes di warung tersebut ternyata digoreng menggunakan minyak babi sehingga menu yang disajikan tidak memenuhi standar halal bagi konsumen muslim. Fenomena ini menuai reaksi beragam: sebagian pelanggan merasa tekstur makanan jadi lebih garing dan gurih, sementara yang lain mempertanyakan aspek kehalalan dan kesehatannya.
Menurut laporan DetikFood, minyak babi berbentuk padat dengan warna putih krem yang berubah cair saat dipanaskan. Proses penyulingan lemak babi menentukan aroma dan rasa akhir ada yang netral dan ada pula yang sedikit beraroma khas daging babi. Sementara itu, The Spruce Eats menjelaskan bahwa kelenturan minyak lard pada suhu tinggi membuatnya ideal untuk menggoreng, menghasilkan lapisan krispi yang sulit ditandingi minyak nabati biasa.
Ciri-ciri makanan yang kemungkinan besar menggunakan minyak babi sebagai berikut:
Meski kerap dipuji tekstur dan rasanya, penggunaan minyak babi menimbulkan kekhawatiran dari segi keagamaan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah makan, tren ini menawarkan nilai jual unik, namun bagi konsumen muslim dan mereka yang peduli asupan lemak jenuh, langkah transparansi serta literasi pangan menjadi sangat penting.
Publik diimbau untuk lebih jeli membaca label dan informasi bahan baku, serta menanyakan langsung ke pengelola warung sebelum memutuskan mencoba hidangan yang “terlarang” tersebut. Dengan begitu, selera dan kepatuhan konsumsi dapat berjalan seimbang, tanpa mengorbankan salah satu pihak.