DIALEKSIS.COM | Langsa - Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang begitu cepat membawa manfaat besar bagi kehidupan manusia, namun juga menyimpan potensi risiko yang tidak bisa diabaikan. Menyikapi fenomena ini, Dosen Teknologi Informasi Universitas Sains Cut Nyak Dhien (USCND), Muttaqin, S.T., M.Cs, menekankan pentingnya mitigasi yang komprehensif agar teknologi AI tidak menimbulkan dampak buruk bagi penggunanya.
Menurut Muttaqin, AI saat ini bukan sekadar alat bantu otomatisasi, melainkan sistem yang mampu belajar, beradaptasi, dan membuat keputusan berdasarkan data. Kondisi ini, katanya, membuka peluang besar bagi efisiensi dan inovasi, namun di sisi lain juga berpotensi menciptakan ketergantungan, disinformasi, dan hilangnya kemampuan kritis manusia.
“AI adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi mitra yang memperkuat kapasitas manusia, tetapi juga bisa menjadi ancaman jika digunakan tanpa etika dan pemahaman yang memadai,” ujar Muttaqin saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (23/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa salah satu dampak buruk yang kerap muncul adalah kehilangan kontrol terhadap keputusan yang diambil oleh sistem otomatis, terutama ketika algoritma bekerja secara tertutup (black box). Dalam konteks ini, masyarakat sebagai pengguna harus memiliki literasi digital yang kuat agar mampu memahami bagaimana AI bekerja serta apa konsekuensi dari penggunaannya.
“Mitigasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau perusahaan teknologi. Pengguna pun perlu memahami bagaimana data mereka dikumpulkan, diproses, dan digunakan. Literasi digital adalah lapisan pertama dari pertahanan etis terhadap penyalahgunaan AI,” tambahnya.
Muttaqin menilai, selain literasi digital, kerangka regulasi dan etika penggunaan AI juga perlu dikembangkan secara serius di Indonesia. Menurutnya, pemerintah dan lembaga pendidikan harus berkolaborasi dalam menciptakan panduan etik serta kurikulum berbasis kesadaran teknologi yang humanis.
“Kita butuh tata kelola AI yang berorientasi pada kemanusiaan. Regulasi harus menempatkan keselamatan, privasi, dan martabat manusia sebagai pusat dari setiap inovasi,” jelasnya.
Dalam pandangan akademisi USCND ini, bahaya terbesar dari AI bukan semata pada kecerdasannya, tetapi pada cara manusia memanfaatkannya tanpa refleksi moral. Ia mencontohkan bagaimana teknologi deepfake atau chatbot otonom dapat disalahgunakan untuk manipulasi sosial, propaganda politik, hingga kejahatan siber.
“AI tidak punya niat jahat, tapi manusia yang mengendalikannya bisa salah arah jika tidak punya nilai moral dan tanggung jawab sosial. Karena itu, pendidikan etika digital harus menjadi bagian integral dalam pengembangan sumber daya manusia di era kecerdasan buatan,” tegas Muttaqin.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa langkah mitigasi tidak boleh hanya bersifat reaktif, melainkan proaktif dan berkelanjutan. Kesadaran kolektif masyarakat, lembaga pendidikan, serta industri harus terus dibangun agar transformasi digital yang sedang berlangsung tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.
“Teknologi akan terus berubah, tapi nilai-nilai kemanusiaan harus tetap menjadi fondasinya. Kita tidak boleh kalah cepat dari mesin, tetapi juga tidak boleh kehilangan arah sebagai manusia,” pungkas Pengamat Digital Society.`