DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Patah Hati yang Mengukir Jalan adalah sebuah anomali. Sebuah novel mini, tak sampai seratus halaman, karya Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc., M.A.
Sebagian besar penulis akan kesulitan membangun karakter dan alur yang solid dalam ruang sesempit itu. Namun, di tangan seorang ulama yang akrab dikenal sebagai pemimpin Dayah Mini, format mini ini justru menjadi pernyataan artistik yang brilian. Ia adalah sebuah manifesto, sebuah autobiografi batin yang tidak hanya mengukir jalan, tetapi juga mengukir ulang definisi "ulama."
Pada umumnya, kita mengenal ulama fikih sebagai sosok yang teguh pada teks, literal, dan dogmatis. Mereka adalah arsitek yang membangun struktur hukum dengan ketelitian, bukan seniman yang melukis dengan metafora. Namun, di tangan Umar Rafsanjani, pena seorang ulama fikih tidak lagi hanya menulis fatwa, melainkan merangkai kisah yang mendalam. Ini adalah ironi yang paling indah dari novel ini, sebuah pengakuan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan dalam kitab-kitab tebal, tetapi juga dalam narasi hidup yang penuh liku.
Novel ini adalah sebuah kontra-narasi terhadap stereotip yang ada. Ia membuktikan bahwa di balik sosok pendakwah yang kritis dan berani -- seperti yang kita kenal dari pemberitaan -- ada seorang laki-laki yang berjuang dengan patah hati, keraguan, dan keterbatasan. Dia tidak menyembunyikan sisi kemanusiaannya; ia justru menggunakan medium sastra para penempuh jalan sufi untuk menyampaikan kebenaran yang lebih dalam dari sekadar hukum.
Patah Hati yang Menjadi Jalan Baru
Novel ini adalah bukti bahwa "patah hati" adalah sebuah keniscayaan, bukan sebuah kecacatan.
Dari Bab 5, kita melihat ketidakberdayaan yang mengakar dari ketidakmampuan. Patah hati Umar bukanlah karena ditolak, melainkan karena dibatasi oleh realitas -- sebuah jurang antara cinta yang ia dambakan dengan kenyataan pahit yang ia jalani. Namun, alih-alih menyerah pada keadaan, ia memilih jalan yang ditunjukkan oleh imannya. Ia mengalihkan seluruh energinya, dari hasrat duniawi menuju ilmu dan pengabdian, mencari "cahaya yang bersumber dari patah hati."
Di Bab 10, kita melihat bagaimana ia tidak menemukan "kemudahan" di "pelabuhan emas," melainkan di "tepian hati seorang yang tahu, bahwa hidup paling mulia adalah hidup yang dibagi." Ini adalah sebuah narasi yang jujur, yang berani menolak akhir yang klise. Umar menunjukkan kepada kita bahwa 'kesulitan' dalam hidupnya bukanlah akhir dari segalanya. Justru di dalam kesulitan itulah, ia menemukan 'kemudahan' yang hakiki, yang terwujud dalam kedewasaan, kedamaian, dan tujuan hidup yang jauh lebih mulia.
Autobiografi Universal dari Sang Ulama Dayah Mini
Semua ini, terkonfirmasi di kata pengantar. Tgk. Mustafa Husen Woyla menyebut novel ini sebagai "cermin bagi banyak jiwa muda." Ini menegaskan bahwa novel ini bukan hanya tentang kisah pribadi Umar, melainkan sebuah kisah universal. Sebuah kisah tentang perjuangan anak-anak pinggiran, tentang mereka yang harus "menyusuri batas negeri demi sesuap harapan."
Umar yang akrab dikenali sebagai pemimpin Dayah Mini menulis dengan "darah dan air mata," dan yang tersisa bukanlah "keluh," melainkan "cahaya." Patah hati itu bukan hanya "mengukir jalan," tetapi juga menjadi sebuah "pelita" yang menerangi jalan bagi orang lain. Ini adalah sebuah mahakarya yang menunjukkan bahwa kebenaran sejati tidak hanya ada di teks, tetapi juga di hati yang patah dan di jalan yang terukir dari luka. [rr]