Studi Terbaru, Stres Saat Kecil Sebabkan Kematangan Otak Melambat
Font: Ukuran: - +
Dialeksis.com - Stres dapat berpengaruh pada tubuh, bahkan jangka panjang. Sebuah penelitian dari Radboud University menyimpulkan bahwa stres yang dialami saat kecil dapat menyebabkan pematangan otak remaja yang lebih lambat.
Para peneliti menyelidiki dua jenis stressor dalam dua tahap kehidupan para partisipan, yaitu anak usia dini (0-5 tahun) dan remaja (14-17 tahun). Stressor adalah peristiwa kehidupan negatif dan pengaruh negatif dari lingkungan sosial.
Mereka mengaitkan tingkat stres ini dengan pematangan korteks prefrontal, amygdala dan hippocampus. Wilayah otak tersebut memainkan peran penting dalam berfungsi dalam situasi sosial dan emosional dan dikenal peka terhadap stres.
Stres karena pengalaman negatif selama masa kanak-kanak, seperti sakit atau perceraian, tampaknya terkait dengan pematangan lebih cepat dari korteks prefrontal dan amigdala pada masa remaja.
Namun, stres yang dihasilkan dari lingkungan sosial yang negatif selama masa remaja, seperti direndahkan oleh teman-teman di sekolah, terhubung ke pematangan yang lebih lambat dari area otak hippocampus dan bagian lain dari korteks prefrontal.
"Sayangnya, dalam penelitian ini kita tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa stres menyebabkan efek ini. Namun, berdasarkan penelitian pada hewan, kita dapat berhipotesis bahwa mekanisme ini memang kausal," kata Anna Tyborowska.
Ia menambahkan, fakta bahwa stres anak usia dini mempercepat proses pematangan selama masa remaja konsisten dengan teori evolusi biologi.
"Dari sudut pandang evolusi, akan berguna untuk lebih cepat dewasa jika Anda tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan. Namun, itu juga mencegah otak menyesuaikan diri dengan lingkungan saat ini dengan cara yang fleksibel. Dengan kata lain, otak menjadi 'dewasa' terlalu cepat."
Para peneliti juga menemukan, bahwa stres sosial saat remaja tampaknya menyebabkan pematangan lebih lambat pada masa yang sama.
"Apa yang membuat ini menarik adalah bahwa efek stres yang lebih kuat pada otak juga meningkatkan risiko kepribadian antisosial," simpul Tyborowska.
Studi tersebut telah diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports.