Rabu, 21 Mei 2025
Beranda / Gaya Hidup / Tren Kasus HIV di Lhokseumawe Meningkat, Pakar Kesehatan Soroti Peran Edukasi dan Stigma

Tren Kasus HIV di Lhokseumawe Meningkat, Pakar Kesehatan Soroti Peran Edukasi dan Stigma

Selasa, 20 Mei 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Dr. dr. Ichsan, M.Sc., SpKKLP., Subsp. FOMC. IDI Banda Aceh sekaligus Dosen FK USK. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kota Lhokseumawe menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat mencatat, sejak 2006 hingga 14 Mei 2025, terdapat 96 kasus HIV, dengan kelompok laki-laki suka laki - laki (LSL) menjadi salah satu faktor penyumbang utama.

Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Riset dan Kebijakan Strategis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Banda Aceh, Dr. dr. Ichsan, M.Sc., SpKKLP., Subsp. FOMC, menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pencegahan dan penanganan HIV/AIDS.

Kepala Dinkes Kota Lhokseumawe, Safwaliza, mengungkapkan, peningkatan kasus HIV terjadi secara konsisten. Pada 2023 tercatat 12 kasus, 2024 sebanyak 17 kasus, dan hingga pertengahan Mei 2025 sudah ditemukan 12 kasus baru. Sementara untuk AIDS, total kasus sejak 2006 mencapai 60, dengan 10 kasus di 2024 dan 3 kasus pada 2025.

“Penyebaran utamanya berasal dari perilaku berisiko seperti hubungan sesama jenis, pergaulan bebas, serta minimnya kesadaran skrining kesehatan,” ujar Safwaliza, Senin (19/5/2025).

Mayoritas penderita HIV di wilayah tersebut adalah laki-laki dewasa. Safwaliza menambahkan, temuan kasus lebih banyak teridentifikasi melalui layanan kesehatan seperti puskesmas, bukan berdasarkan domisili. Hal ini, menurutnya, menunjukkan pentingnya skrining aktif, termasuk layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) bergerak yang digencarkan pemerintah setempat. Pasien yang terdiagnosis juga diberikan obat Antiretroviral (ARV) untuk menekan perkembangan virus.

Dr. dr. Ichsan, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala yang juga ahli dalam bidang penyakit menular, menyoroti kompleksitas tantangan penanganan HIV di Lhokseumawe.

“Peningkatan kasus ini tidak hanya soal penularan, tetapi juga erat kaitannya dengan stigma sosial yang masih tinggi. Banyak kelompok berisiko enggan memeriksakan diri karena takut dikucilkan,” jelasnya kepada Dialeksis.

Menurut Ichsan, upaya pencegahan harus melibatkan tiga aspek: edukasi komprehensif tentang seks aman, perluasan akses layanan kesehatan inklusif, serta kampanye penghapusan stigma terhadap pengidap HIV.

“Kelompok LSL dan populasi kunci lain perlu dijangkau dengan pendekatan yang manusiawi, bukan menghakimi. Edukasi harus dilakukan sejak dini, termasuk di lingkungan pendidikan,” tegasnya.

Ia juga mengapresiasi langkah Dinkes Lhokseumawe yang aktif melakukan skrining melalui layanan mobile VCT. Namun, Ichsan mengingatkan, pemberian ARV saja tidak cukup. “Dukungan psikologis dan pemantauan rutin diperlukan agar pasien disiplin minum obat. Jika tidak, risiko resistensi ARV bisa meningkat,” tambahnya.

Baik Safwaliza maupun Dr. Ichsan sepakat bahwa penanganan HIV/AIDS memerlukan kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas. “Kami mendorong peran aktif tokoh agama dan masyarakat dalam menyebarkan informasi akurat. Ini bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga kemanusiaan,” pungkas Ichsan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
hardiknas